Yesus Dalam Kotbah di Bukit

Oleh: Raymond Laia, Münster, Germany


Injil Matius secara umum

Ekseget Carlo M. Martini melukiskan ciri khas injil ini sebagai Katekismus Kerjaan Allah (lih. bukunya, Gli esercizi ignaziani alla luce del vangelo di san Mateo, terj. Jerman, Ich bin bei euch). Mengapa? Secara redaksional ia dituliskan untuk para katekis, dan ditujukan bagi mereka yang telah melewati tahap pembaptisan, artinya yang kini ingin mempraktekkan hidup dalam Kerajaan Allah. Karena itu dalam injil ini terdapat banyak bahan pengajaran, yang disusun secara sistematis dalam lima bagian atau lebih tepat lima langkah atau moment. Kelima bagian itu adalah: 1) Kotbah di bukit (bab 5-7), di mana dipaparkan "bagaimana" hidup dalam Kerajaan Allah itu, dkl. di sini disodorkan program dasar hidup secara kristiani; menyusul 2) sabda mengenai pengutusan para murid (bab 10), lalu 3) perumpamaan-perumpamaan (bab 13), kemudian 4) ajaran mengenai sikap dalam hidup menggereja (bab 18) dan akhirnya 5) mengenai masa akhir (bab 24-25).

Martini juga menyebut injil ini sebagai injil gerejani, karena secara keseluruhan kelima bagian di atas sebenarnya merupakan lima momen pengajaran dalam hidup menggereja. Sementara Lukas berusaha mencocokkan sejarah keselamatan dalam injil dengan konteks sejarah dunia, Matius berusaha menyodorkan program untuk membentuk hidup kristiani dalam haribaan Gereja. Karena itu pula kisah mengenai mengenai Petrus yang diundang Yesus berjalan di atas air atau janji akan perananannya kelak dalam kepala gereja, dan kuasa untuk mengikat dan melepaskan dosa, hanya terdapat dalam Matius.

Kotbah di Bukit Secara Umum

Kotbah di bukit yang merupakan rangkuman dari pelbagai kotbah Yesus. Demikian Matius menampilkan keseluruhan ajaran Yesus secara singkat dan menyeluruh, tetapi dengan tepat menunjukkan ciri khas ajaran "baru" dari Yesus. Ajaran "baru" itu merupakan "jalan hidup yang baru" pula (orang kristen perdana menyebut diri pengikut Jalan Tuhan, bdk. a.l. KisR 9,2; 19,23; 22,4). Mereka yang mengikuti Yesus memulai satu era baru hubungan manusia dengan Allah, mereka masuk ke dalam suatu cara hidup yang baru (baca: dalam Kerajaan Allah), yang dapat dibandingkan dengan permulaan hidup baru Israel di kala menerima aturan hidup baru di gunung Sinai (bdk. metafora "Yesus naik ke bukit", yang bagi telinga Yahudi berbunyi seperti "Musa naik ke bukit Sinai").

Kotbah di bukit dibuka dengan kedelapan Sabda Bahagia, yang bagi hidup kristiani sangat menentukan, sama seperti kesepuluh perintah Allah bagi orang Yahudi.

Tapi yang menarik dari "perintah baru" ini adalah: ia tidak mengatakan "apa yang harus dilakukan oleh Kristen", melainkan "apa yang akan terjadi bila mereka hidup dalam Kerajaan Allah". Mereka akan miskin, berhati murni, berbelaskasih, cinta akan damai dan kebenaran, dan karenanya akan dibenci dan dikejar orang. Kendati demikian "cara hidup" seperti ini mereka sebut "hidup yang berbahagia", sebab mereka hidup dalam Kerajaan Allah, memiliki hubungan yang khusus dengan-Nya, menjadi anak-anak-Nya, dan seluruh dunia adalah milik mereka. Itulah jalan baru, horizon atau suatu pandangan hidup yang baru!

Perhatikan horizon baru hubungan manusia dengan Allah ini! Dan implikasinya? Dan bagaimana orang Kristen menghidupi imannya dewasa ini? Cobalah deteksi sedikit apa yang mereka mengerti dengan perintah Allah. Mereka akan langsung menyebut kesepuluh perintah Allah, dkl. mereka langsung berpikir secara moral. Tapi itu adalah degradasi. Hubungan Allah manusia seperti diwartakan KS bukanlah terutama hubungan moral seperti di(salah)mengerti oleh banyak orang Kristen dewasa ini, melainkan hubungan eksistensial, perjanjian, martabat, panggilan. Harap kenyataan ini cukup jelas bagi peserta, sebab itulah salah satu "malapetaka" hidup religius orang Katolik dewasa ini. Lihat saja bagaimana orang memandang gereja, paus, teologi, liturgi, dlsb. Tidak lebih dari institusi moral!

Dalam bagian ini dicoba dipaparkan secara gamblang "cara hidup baru" dalam Kerajaan Allah sesuai dengan Kotbah di Bukit versi Matius. Terutama diusahakan menampilkan "alam berpikir" jemaat perdana, ideal mereka testang hidup secara Kristiani. Peserta harus "membebaskan diri" dari pandangan umum yang "salah", yang melihat "hidup kristen" dari segi moral dengan norma-normanya. Dalam alam berpikir tsb KS dipandang lebih sebagai kumpulan peraturan, dan umat (dengan institusi) sebagai pejabat sipil. Hidup dalam Kerajaan Allah seperti diwartakan Yesus adalah sesuatu yang lain. Pandangan sekilas ke dalam Kotbah di Bukit dapat menolong untuk "meraba" hal itu.

Kotbah di Bukit Lebih Dekat

Seperti telah dikatakan di atas Injil Matius merupakan injil gerejani. Ia mencoba melukiskan kepada kita bagaimana "hidup" dalam KA, tertutama ia merangkumkan hal itu secara padat dalam Kotbah di Bukit. Dengan membaca Kotbah di bukit kita bisa mengerti dan memahami "semangat" yang menjiwai para pengikut Yesus, mengenal gaya hidup mereka, menangkap "roh" apa yang menghidupi mereka Singkat kata: menyelami spiritualitas mereka (spiritus=roh).

Dengan mengamati paralelitas yang dibuat Matius dalam Kotbah di bukit kita bisa melihat, bahwa di sini ditampilkan sesuatu yang "lain", sesuatu yang "baru". Kerangka yang ditampilkan Matius dalam kotbah di bukit adalah: Yesus naik ke atas bukit. Bagi pendengar yang berada dalam alam pikiran Yahudi ungkapan tsb membangkitkan asosiasi akan saat-saat awal pembentukan umat Israel di kala Musa "naik ke atas gunung Sinai". Jadi dalam Kotbah di Bukit Matius mewartakan pembentukan atau "kelahiran" satu umat baru dalam Kristus.

Menarik mengamati awal sejarah pembentukan umat Israel. Bertahun-tahun mereka harus hidup dalam perbudakan di tanah Mesir sampai akhirnya Allah sendiri datang "dengan tangan kuat" menggiring mereka ke alam kebebasan, tanah terjanji. Perhatikan: kata pembebasan adalah kosakata asli peristiwa penyelamatan ini. Barangsiapa tidak menyelami makna kata ini tidak akan bisa memahami Kitab Deuteronomium yang bagi orang modern bagai KUHP. Tetapi prasangka orang modern tidak boleh diterapkan pada teks kuno, bukan? Yang benar adalah: berusaha menangkap bagaimana orang di zaman itu teks kuno ini mengerti (eks-egese!). Tidaklah masuk akal bahwa umat Israel "dibebaskan" dari Mesir untuk "diikat" dan "dibebani" dengan aturan-aturan di tanah terjanji. Seolah lepas dari mulut buaya masuk mulut harimau, bukan? Nah, justru karena mereka telah mengenal apa itu "hidup dalam perbudakan" umat Israel kini mencoba menghidupi "aturan-aturan" yang menjamin kebebasan itu. Singkat kata: aturan-aturan yang "nampaknya" bagi kita juridis dan membebankan itu justru merupakan sarana untuk hidup secara merdeka! Satu contoh saja betapa "modern" hal ini bagi orang Israel adalah peraturan tentang orang asing, janda dan yatim piatu, dan tahun pembebasan utang. Kalau mengingat "darah" Yahudi yang melihat bangsa sendiri terpilih dan yang lain hanyalah "orang kafir" belaka, maka menjadi jelas betapa "progresif" aturan-aturan ini. Dan itu pulalah yang diulang-ulang oleh kitab Deuteronomium: ingatlah bahwa engkau dahulu budak di Mesir. Jadi jangan kini mengulangi perlakuan orang Mesir terhadap orang (asing) di daerahmu. Dalam arti ini pulalah ke-10 perintah Allah harus dimengerti. Ia bukan terutama "perintah", melainkan merupakan jalang kepada hidup yang baru dalam kebebasan anak-anak Allah.

Hal ini menjadi lebih eksplisit lagi dalam jemaat baru pengikut Yesus. Karena itu dalam Kotbah di bukit tidak pernah dikatakan bahwa PL itu kini tidak berlaku. Tidak! Justru "perintah-perintah" Allah (hukum Taurat) dari PL merupakan otoritas yang tidak boleh diganggu gugat (perhatikan a.l. Mt 5,18). Hanya kini jemaat Yesus berusaha "memurnikan" hukum-hukum itu, membersihkannya dari "lumut" zaman, yang memandang hukum-hukum ini hanya sekedar aturan-aturan yang membatasi ruang lingkup gerak manusia.

Usaha "mengembalikan" pengertian yang benar mengenai "hukum" Allah ini ditampilkan dalam ungkapan kontras ini: Kamu telah mendengar..., tetapi Aku berkata kepadamu... Dalam Ungkapan Bahagia ini (tidak terbatas pada perikope ke-8 Sabda Bahagia!) diwartakan kembali (tapi kini secara baru dan dengan kualitas baru pula) apa yang yang dulu dalam dekalog disampaikan, yi. suatu hubungan khas dengan Allah. Dekalog menuntut hormat terhadap Allah, orang tua; melarang membunuh, menipu, mencuri, dan meng-iri. Kotbah di bukit mewartakan satu kualitas yang melampaui (baca: lebih mendalam lagi!) dari hukum-hukum ini. Ia mengandung satu wahyu, yi satu gaya hidup yang bertolak atas "pengungkapan diri" "pemenuhan diri", dan bukan sekedar "melaksanakan" atau "berpegang teguh" pada peraturan. Kamu telah mendengar "jangan membunuh", tetapi aku berkata "setiap orang yang marah..." Kamu telah mendengar "peganglah pada sumpah", tetapi aku berakata kepadamu "hiduplah dengan jujur dan kamu tidak perlu bersumpah. Ya adalah Ya!" Daftar ini masih bisa dilanjutkan: tentang mengasihi, sikap dalam mengumpulkan harta, berdoa, dan hubungan dengan Allah (sebagai Abba!).

Jadi ini merupakan kritik atas sikap manusia yang melihat Sabda Allah atau hubungan dengan Allah sebagai "beban" atau "ikatan". Itu sama sekali bukan mentalitas PB! Mengikuti Yesus berarti hidup dalam suatu "alam" baru, suatu "realitas" baru, suatu hidup yang lebih mendalam, integral, mencakup. Ia berarti meninggalkan satu stadium hidup beriman tertentu dan maju ke stadium baru yang lebih matang, di mana Allah bukan lagi "pemberi aturan", melainkan "pemberi hidup". Allah bukan "penjajah" melainkan "pembebas", "penyelamat". Hidup di dalam Dia berarti hidup dalam alam kebebasan, hidup dalam terang; kedua kata ini sering muncul dalam PB! Itulah kualitas hidup dalam Kerajaan Allah!

Sesuatu yang ideal? Ya! Tidak semua bisa "melihat" dan "mengerti" cara hidup baru ini. Tidak heran bila kelak Yesus "terpaksa" mengatakan "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja" (Mt 19,11), dan di banyak kesempatan menekankan antifon berikut "siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti".

Kalaupun hidup yang baru ini atraktif kelihatan manusia lebih suka mengikuti arus umum, apa yang telah biasa. Orang malu untuk hidup secara jujur dan saleh di hadapan Allah, malu memperlihatkan diri sebagai pengikut Yesus. Beriman kelihatan seperti ketinggalan zaman. Modern berarti apa yang di-prasangka oleh kebanyakan orang (koran, majalah, tv) haruslah diikuti. Seolah-olah Yesus "tahu" hal ini dan mengucapkan kata-kata berikut yang bagi telinga orang modern kedengaran tidak mengenakan, "Masuklah melalui pintu yang sesak itu!" (Mt 7,13). Itu suatu kritik terhadap "ikut arus", ikut masuk ke pintu yang lebar di mana kebanyakan orang masuk. Itulah justru penyakit orang modern. Kalaupun sering didengung-dengungkan sikap kritis, ternyata umumnya manusia modern tidak kritis. Itu berlaku terhadap orang-orang yang suka merendahkah warta Injil, sikap beriman, hidup gerejani. Tapi itu sering muncul karena mereka "tidak" melihat "hakekat", hanya melihat "kulitnya" saja. Mereka membaca KS bagaikan membaca koran sensansi, menyamakan perayaan liturgi dengan pertunjukkan, dll. Karena itu KS tidak lagi menarik (Yang itu lagi! Aku sudah jutaan kali mendengar hal itu!) untuk dibaca, perayaan ekaristi terasa menjemukan, salib terasa aneh (ingatlah kasus yang dimenangkan di pengadilan baru-baru ini, Kreuzurteil, karena: Aku tidak tahan belajar di bawah patung seorang mati yang telanjang itu!).

Diharapkan bahwa kualitas hidup baru di dalam Kerajaan Allah ini telah dipahami, ditangkap. Jadi ia bukanlah sekedar membaca KS (untuk mencoba menggali kebijaksanaan hidup), atau berlatih mengucapkan "Yesus adalah Tuhan, Penyelamatku" tanpa hubungan dengan satu cara hidup berasama sebagai umat (aspek bersama). Hidup dalam KA adalah hidup dalam persekutuan kaum beriman (karena itu doa Tuhan berbunyi "bapa kami"), menjadi "pengikut" Yesus berarti menjadi "murid". Bukan dalam pengertian Yunani-modern, yi seolah, mencakup satu masa belajar tertentu, tetapi dalam arti biblis "belajar hidup", hidup yang terorientasi pada mendengar pada Allah, membiarkan Allah berkarya dalam hidupku. Suatu belajar seumur hidup.

Refleksi Pribadi

Setiap orang dari kita memiliki gambaran masing-masing tentang Allah, Kristus, Gereja, dll. Pengalaman hidup kita sendiri sangat berperan penting mewarnai gambaran-gambaran tsb. Orang memiliki ayah yang keras dan tak mengenal kompromi kadang menerapkan sifat kebapaan semacam itu kepada Allah. Juga gambaran kita dipengaruhi dan dibentuk (sadar atau tidak sadar) oleh pendidikan, bacaan, tontonan, diskusi-diskusi kita. Hanya saja ada saatnya kita menguji dan bahkan kalau perlu membersihkan gambaran kita tsb, bagaikan membersihkan cermin. Banyak orang merasa "malas" untuk melakukan hal itu. Namun sekurang-kurangnya pada saat retret kita menguji kembali gambaran kita tentang Allah, atau lebih umum tentang iman kita.

1. Heninglah sejenak, tarik nafas secara teratur, dan sadarilah bahwa Allah hadir bersamamu. Panjatkanlah kepada-Nya satu doa singkat.

2. Bacalah dengan tenang teks Mat 16,13-20. Gunakanlah metode tanda-tanda yang kita terapkan mulai dari kemarin. Jadi: tanda ? untuk kalimat atau kata yang kurang dimengerti atau terasa aneh, tanda ! untuk kalimat yang kamu rasa penting dan aktual untuk zaman kita, dan tanda ? untuk kalimat yang mengena untukmu.

3. Cobalah sedapat memungkin menjawab pertanyaan Yesus secara pribadi: siapakah Yesus bagimu? Untuk itu bisa menolong langkah-langkah berikut:

  • Tuliskanlah dulu siapakah Yesus itu menurut kata orang yang pernah kamu dengar (artinya dewasa ini, bukan dari KS): Yesus Kristus adalah ....
  • Tuliskanlah siapa Yesus itu menurut perasaanmu sebelum ke retret ini: Yesus Kristus bagiku adalah: ... Jangan takut mengungkapkan perasaan, kalaupun itu bertentangan dengan pendapat umum, pendapat pastor, atau siapa pun!
  • Dalam retret ini pasti kamu kurang lebih telah "melihat" secara lain ke dalam KS alias ke dalam ajaran Yesus (Kotbah di Bukit). Tuliskanlah kini: Yesus Kristus bagiku kini adalah ...
  • Tuliskanlah hal-hal yang menarik atau berkesan bagimu dari hidup atau pribadi Yesus.... Kisah mana dalam Injil atau dari PB yang barangkali kamu pilih untuk menjelaskan siapa Kristus bagimu kini?

4. Tutuplah renungan ini dengan doa.


Catatan: Tulisan ini merupakan bahan masukan (konferensi) dalam Retret KMKI 1996. KMKI adalah singkatan dari Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia


1