Pagi ke Gereja dan Siang ke Adat

Oleh: Togar Nainggolan, Nijmegen, Netherlands


Musim panas yang lalu saya pulang ke kampung (Redaksi: 1996) tepatnya ke Tanah Batak, Danau Toba, Indonesia. Batak adalah nama tanah dan salah satu suku di Indonesia. Batak terdiri atas enam sub suku, yaitu Angkola, Mandailing, Karo, Pakpak-Dairi, Simalungun, dan Toba. Batak yang saya bicarakan di sini adalah Batak-Toba.

Saya pulang ke kampung halaman (Bona ni Pasogit) bukan hanya karena rindu tetapi juga untuk penelitian lapangan. Anda mungkin segera berkata: Ini toh tidak biasa. Biasanya antropolog mencari 'sesuatu yang baru', 'eksotis' dan 'asing' kalau membuat penelitian. Alasan saya, pertama ialah bahwa saya mau mengenal budaya saya lebih mendalam. Dengan demikian saya akan lebih menghargai dan dapat mengembangkannya demi kepentingan orang Batak. Kedua ialah apakah antropolog itu insider atau outsider bukanlah hal yang essential. Memang masing-masing ada untung dan ruginya. Yang penting ialah sejauh mana saya mengenal budaya orang Batak-Toba ini. Dan kata Wolf Bleek (1978): "Saya yakin bahwa dalam beberapa hal orang luar (outsider) melihat lebih baik secara keseluruhan daripada orang dalam (insider) tetapi bukan dalam pemahaman."

Dalam artikel ini saya mau ceriterakan pengalaman dan pengenalan saya tentang budaya orang Batak-Toba. Dan karena budaya ini sebegitu luas maka saya hanya membatasi diri pada ritus. Dan dari ritus itu saya ambil bagian kecil, yaitu doa. Apa isinya dan apa fungsinya dalam ritus?

Tepatnya lokasi penilitian lapangan saya adalah dua kampung dekat Pangururan, yaitu Harapohan dan Parlondut. Di sini masih nampak bentuk perkampungan tua. Tiap satuan kampung kecil (huta) terdiri atas lima atau enam rumah yang berderet dengan halaman yang cukup luas. Hal ini penting untuk pesta dan rapat kampung. Bekas paritnya kadang-kadang masih nampak. Dulu ini penting untuk keamanan kampung. Masih ada beberapa rumah tradisional, walaupun rumah-rumah modern makin lebih dominan. Dalam rumah tradisional beberapa keluarga tinggal dalam saru rumah sedang dalam rumah modern tiap keluarga mempunyai rumahnya sendiri. Kesatuan kampung-kapung kecil ini disebut desa, yang penduduknya antara 400-600 orang.

Mereka hidup terutama dari pertanian (65%): padi, jagung, sayur-sayuran, kacang, bawang, kopi, dan buah-buahan. Tambahan pendapatan yang lain datang dari menangkap ikan (10%), berdagang (5%), bekerja sebagai pegawai (3%), bertenun (3%), beternak (2%) dan lain-lain (12%). Maka tidak heran kalau mereka pagi-pagi benar sudah pergi ke ladang dan baru sore hari (jam18:30) pulang ke rumah. Tanah di Pulau Samosir pada umumnya tidak subur. Danau Toba sendiri terletak 900 m di atas permukaan laut. Letak geografis dalam hal ini sangat berpengaruh. Kampung Parlondut dekat dengan jalan raya dan pantai. Selain dari bertani mereka bisa menangkap ikan dan berdagang. Sedangkan kampung Harapohan letaknya lebih tinggi (1200 m-1400m) dan masuk ke dalam. Mereka terutama hidup dari padi, kopi dan sedikit peternakan.

Untuk kebutuhan hidup, mereka membeli garam, pakaian dan kebutuhan rumah tangga lainnya ke pasar Pangururan pada hari Rabu dan Sabtu. Juga pada waktu yang sama mereka menjual hasil pertanian mereka. Kalau hasil pertanian mereka cukup ba-nyak maka mereka pergi juga ke pasar di seberang danau, yaitu Haranggaol. Dan itu terjadi pada haru Kamis.

Satu hal yang sangat menonjol dalam kehidupan orang Batak-Toba ialah kebersamaan. Mereka akan selalu bilang 'rumah kita', 'anak kita', 'sawah kita' walaupun teman bicaranya tidak ada hubungan famili dengan dia. Berkumpul bersama dan berdiskusi sangat mereka sukai. Bapak-bapak berkumpul di bagian muka kedai dan ibu-ibu di bagian dapur.

Hal ini sangat masuk akal sebab dari kecil mereka sudah diajari untuk menghargai kebersamaan. Seorang anak lebih sadar akan nama marganya (di Eropah disebut nama famili, tetapi mungkin lebih tepat disebut nama klan) daripada namanya sendiri. Dan kalau mereka baru pertama kali bertemu maka yang ditanya pertama kali ialah "Apa marga kamu?" Dan mereka akan segera mencari hubung-an famili walaupun sebelumnya tidak kenal dan mungkin hubungan famili sudah sangat jauh. Tetapi yang penting bahwa mereka bersama. Dan masing-masing tahu menempatkan posisinya. Sebab sendirian mereka merasa tidak berada.

Tetapi dengan demikian mereka tidak kehilangan individunya. Mereka sangat gigih memperjuangkan hak dan kewajibannya. Bahkan tidak jarang terjadi perkelahian dengan itu. Maka kita perlu mencari alasan yang lebih dalam.

Masayarakat Batak-Toba adalah patriarchal-virilocal, di mana anak laki-laki meneruskan garis keturunan dan perempuan berpindah ke tempat laki-laki bila perkawinan terjadi. Yang unik dalam hal ini untuk masyarakat Toba ialah dalam circulatie-connubiu mereka mempunyai tata-tertib sosial yang disebut Dalihan Na Tolu (Tungku yang Tiga). Secara fisik Dalihan Na Tolu ini adalah tiga buah batu sebagai kaki tungku untuk memasak. Dan tempatnya di pusat rumah pada rumah tradisional. Tetapi secara simbolis itu melambangkan tiga grup besar dalam hubungan famili. Dalihan Na Tolu terdiri atas Hula-hula (pihak yang memberi isteri), Boru (pihak yang menerima isteri) dan Dongan Sabutuha (harafiah, teman-seperut artinya teman semarga). Hubungan di antara ketiga unsur ini sangat ketat sebab setiap posisi mempunyai arti tersendiri. Hal itu nampak dalam ungkapan berikut ini: Somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru. Artinya kepada hula-hula harus menaruh hormat, kepada teman semarga harus berhati-hati dan kepada boru harus berlaku sayang. Ini merupakan nilai utama dalam interaksi sosial. Tanpa panutan ini orang Batak-Toba akan merasa kacau (disorder). Dan tiap orang harus tahu menempatkan posisinya dalam setiap pertemuan.

Dan kalau diteliti lebih jauh maka interaksi sosial ini tidak hanya dalam tingkat horizontal tetapi juga vertikal. Hula-hula harus dihormati oleh Boru sebab Hula-hula ini adalah wakil allah (Mulajadi Nabolon). Mulajadi Nabolon ini menjelmakan dirinya dalan makro kosmos, yaitu dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga) dan dunia bawah (banua toru). Hula-hula ini adalah sumber berkat untuk boru, tidak hanya secara faktual bahwa hula-hula memberikan putrinya kepada pihak boru tetapi juga secara kualitas hidup, sebab kata-kata hula-hula ini memberi jaminan hidup yang lebih baik kepada boru. Tetapi pihak hula-hula harus bersikap sayang kepada boru, sebab mereka memberi banyak bantuan kepada hula-hula-nya dalam bentuk mas kawin, uang atau bantuan tenaga. Dan harus berhati-hati kepada dongan sabutuha (teman semarga), sebab teman semarga ini merupakan jaminan keberadaan dan kelangsungan generasi dari marga. Ini pasti juga tidak lepas dari soal pemakaian dan pembagian harta. Marga, tanah dan kampung pada prinsipnya adalah satu. Maka kalau tidak berhati-hati dalam hubungan satu marga akan terjadi perkelahian dan kerugian besar.

Tetapi satu hal yang cukup jelas nampak dalam unsur Dalihan Na Tolu ini ialah saling ketergantungan. Dan itu memang cocok dengan cara pandang totalitas. Tiap unsur dari kesatuan harus dalam proporsi yang tepat, harmonis. Kehidupan manusia (Dalihan Na Tolu), sebagai mikro kosmos yang dianggap cermin dari makro kosmos (Mulajadi Nabolon) yang harmonis. Hal lain ialah bahwa relasi sosial (orde) dialami sebagai hal yang religius. Hal ini jelas nampak dengan 'hula-hula' sebagai wakil Mulajadi Nabolon, sumber berkat.

Untuk melihat hal ini secara nyata saya membuat observasi di kampung Uluan dekat Harapohan. Saya mengikuti jalannya gondang jujungan ( rite penyembuhan) mulai dari awal sampai akhir, dari jam 17.30 sore sampai jam 9.30 pagi. Saya membuat rekaman video. Sayang hasilnya tidak begitu baik karena kurang cahaya. Ceriteranya secara singkat demikian. Seorang ibu setengah umur sudah lama sakit, lebih dari 2 tahun. Penyakitnya tidak jelas. Dia tidak bisa kerja, tetapi juga tidak sama sekali tinggal di tempat tidur. Ia sudah berobat ke dokter ini dan itu, namun tidak sembuh. Lalu keluarga membawanya ke datu (imam pada ritus Batak-Toba). Sang datu bilang, bahwa mereka harus melaksanakan gondang jujungan. Demi kesembuhan ibu itu keluarga sepakat untuk melaksanakannya. Isinya gondang jujungan ini ialah persembahan kepada roh nenek-moyang, doa (tonggo-tongo), tarian (tortor) dari si sakit, keluarga dan seluruh famili, teman sekampung dan kenalan. Ini berlangsung sepanjang malam. Sesudahnya mereka akan makan bersama. Kalau semua berjalan baik, artinya jelas apa jenis dan sebab penyakitnya maka penyakit itu akan sembuh. Dalam kasus ini hal itu tidak terjadi karena permintaan dari roh nenek-moyang itu tidak seluruhnya lengkap. Disebut oleh datu itu misalnya bahwa pakaiannya tidak cocok dan jeruknya terlalu kecil. Maka untuk kesempurnaan persembahan ini mereka harus mengadakan gondang jujungan sekali lagi.

Yang menarik untuk saya dalam hal ini pertama ialah penyakit dan proses kesembuhan itu dilihat totalitas kepribadian yang bersangkutan. Penyakit dan penyembuhan tidak hanya fisik tetapi juga rohani. Tidak hanya orang yang sakit sendiri terlibat tetapi seluruh keluarga, famili dan teman sekampung. Juga tidak jarang bahwa anggota famili dari tempat jauh harus datang. Kedua ialah hubungan antara orang hidup dan orang mati (nenek moyang) dianggap satu. Orang Batak-Toba yakin bahwa kalau nenek moyang ini dilupakan maka pada gilirannya mereka akan menuntut penghormatan untuk mereka dengan menyakiti anggota keluarga. Maka 'gondang jujungan' ini dibuat untuk minta belas kasihan mereka dan dengan demikian si sakit akan sembut. Hal itu terjadi dengan diberitahukannya apa alasan nenek moyang itu menyakiti anggota keluarga dan kalau permintaan mereka itu jelas maka akan diberikan kemudian obat (tawar) kepada si sakit. Bisa saja itu air, daun sirih atau hal lain. Ketiga ialah dalam hubungan dengan yang pertama bahwa si sakit mungkin stres berat karena kesulitan hidup atau permasalahan keluarga. Bukan sesuatu yang mustahil bahwa akibat tekanan psikis mengakibatkan penyakit badan. Hal ini jelas misalnya dengan perginya si sakit ke beberapa dokter dan dokter tidak menemukan penyakitnya. Maka dengan menari dan trans bisa merupakan luapan tekanan psikis ini akan tersalur. Mereka sendiri tidak akan mengatakan hal ini. Tetapi sering muncul ungkapan berikut: "Memang belum sepenuhnya sembuh tetapi sudah lumayanlah. Dia sudah bisa berjalan lebih jauh. Bicara lebih teratur. Sudah bisa memasak sekarang..." Jadi alasan psikologis bukan tidak mungkin.

Sebagai partisipan saya ikut dan memimpin upacara Mangalahat horbo (upacara kurban kerbau). Dan karena saya imam maka saya melaksanakan itu dalam konteks ritus Gereja Katolik. Jadi sebenarnya upacara ini adalah gabungan upacara tradisional Batak-Toba dan Gereja Katolik. Isinya ialah dibuka dengan perayaan Ekaristi (Katolik) lalu dilanjutkan dengan Mangalahat horbo (Batak-Toba). Ekaristi adalah ucapan syukur (eucharistia). Dan upacara 'Mangalahat horbo' ini pada asalnya adalah menyampaikan kurban (syukur?) kepada sombaon (roh nenek moyang) tetapi kemudian saya beri isi baru dengan menerangkan bahwa kurban ini merupakan ucapan syukur kita bersama nenek moyang kepada Tuhan. Doanya diarahkan kepada Tuhan. Kemudian menari bersama. Tarian berlansung sepanjang hari. Pada waktu menari ini kerbau terikat pada borotan (lambang pohon kehidupan) di tengah lingkaran tarian. Dan pada sore hari kerbau dipotong. Besoknya daging kerbau itu dimakan bersama.

Yang menarik dalam hal ini, pertama adalah ide kurban. Kurban merupakan penghubung antara manusia dengan roh nenek moyang. Dari pihak manusia kurban ini merupakan pemberian untuk menyenangkan hari roh nenek moyang. Dari pihak nenek moyang hal itu diterima (diandaikan). Dan sebagai tanda nyata berkat dari nenek moyang itu ialah kurban itu sendiri. Maka mereka yang hadir makan dari kurban itu sebagai tanda penerimaan berkat dari nenek moyang. Tentu saja penyampaian kurban ini tidak lepas dari ide keharmonisan makro dengan mikro kosmos. Kedua ialah bahwa secara horizontal kurban ini mempunyai aspek sosial politik. Orang yang sanggup berkurban adalah orang yang prestasi (kaya), karena harus memberi makan semua orang yang hadir. Tetapi sekaligus dengan itu si pemberi pesta, famili dan klannya mendapat status yang lebih terhormat. Jadi ada relasi timbal balik antara kaya sebagai simbol berkat dengan kedudukan dan penghormatan yang lebih tinggi. Ketiga adalah sangat menonjol bahwa kebanyakan sponsor untuk pesta ini adalah orang kota (pangaranto) yang tinggal di luar Pulau Samosir. Lalu mengapa mereka pulang ke kampung untuk berpesta? Mengapa harus menghabiskan uang untuk ongkos perjalanan dari Jakarta ke Samosir misalnya? Tidakkah uang itu lebih baik dikirim untuk membangun kampung? Alasannya bahwa mereka pulang ke kampung ialah menguatkan ke-batak-an mereka. Di sana mereka dapat bicara dan bertindak sebagai seorang Toba. Mereka bisa melupakan sebentar Bahasa Indonesianya yang janggal dan bicara keras-keras. Dunia di luar Toba adalah dunia sekular, dunia waktu, dunia persaingan dan dunia orang asing. Tetapi Toba adalah dunia nenek moyang (spritual), dunia primordial, dunia tanpa waktu/dunia pesta, dunia harmonis dan dunia halak hita (orang kita). Dengan pesta Mangalahat horbo ini mereka memenuhi makanan jiwa mereka. Mereka menguatkan identitas mereka dalam hubungan dengan masa lalu, kini dan yang akan datang. Untuk orang kampung hal ini menjadi kebanggaan tersendiri dari keluarga. Keluarga mereka menjadi lebih terhormat.

Sebelum menerangkan ketiga terminologi ini saya mau menjelaskan sebentar tentang tonggo-tonggo (doa). Tonggo-tonggo ini mengambil peranan penting dalam seluruh ritus orang Batak-Toba. Pertama sebagaimana semua doa dimaksud untuk suatu peralihan dari dunia profan kepada dunia kudus. Begitu juga dengan tonggo-tonggo. Hal itu nampak jelas dalam pembukaan setiap tonggo-tonggo dengan memanggil roh tertentu. Kedua dalam bagian isi tonggo-tonggo itu diterangkan apa esensi dari yang didoakan itu. Misalnya dalam doa untuk padi dikatakan, Engkau adalah putri yang kubesarkan dan ibu yang membesarkan saya (dainang na hupagodan, dainang na pagodang ahu on). Esensi padi adalah memberi kehidupan. Maka waktu padi itu kecil maka dia perlu dirawat supaya pada waktunya memberi buah dan menjadi makanan untuk manusia. Padi disamakan dengan wanita sebab wanita dan padi adalah sumber kehidupan. Dan dalam bagian penutup tonggo-tonggo diberi pengakuan dan peneguhan semoga demikian dalam bentuk pantun yang indah.

Fungsi/kekuatan dari tonggo-tonggo ini ialah esensi baru kepada benda/materi yang didoakan. Padi yang didoakan tadi berubah nama dan fungsi menjadi benih, yang nanti akan ditaburkan di sawah. Dan sebagai berkat nyata dari roh padi itu ialah hasil panen yang berlimpah nanti.

Nah, kembali kepada situasi yang hidup sekarang di daerah Batak-Toba. Bagaimana hubungan antara ritus Batak-Toba, yang sering juga diberi nama adat (the custom of law), dengan agama besar, yaitu Islam, Protestan dan Gereja Katolik?

Sejak abad ke-14 terjadi pengislaman daerah pesisir pantai Sumatra lewat pedangang laut dari India, Persia dan Arab. Daerah Batak pada waktu itu masih tertutup. Yang cepat menjadi Islam pada waktu itu ialah daerah Aceh dan Minangkabau. Pada abad ke-19 mulailah ekspansi Islam ke daerah Batak-Toba. Kelompok Padri (Wahabbi) melancarkan perang padri (1821-1837) untuk mengislamkan daerah Batak. Mereka sukses di daerah Tapanuli Selatan, yaitu dengan mengislamkan Angkola dan Mandailing. Tetapi tidak berhasil mengislamkan orang Toba yang tinggal di pedalaman. Apa yang terjadi di sini ialah bahwa Islam menggantikan adat mereka. Adat batak dicap sebagai kafir dan orang harus diislamkan. Adat Islam menggantikan adat Batak di daerah itu. Yang masih tinggal hanya 'marga'nya. Tetapi kebiasaan kurban tidak ada lagi.

Datangnya Zending Protestan pada tahun 1862 oleh Ludwig Ingwer Nommensen membuka daerah Toba untuk dunia luar. Nomensen berhasil mengkristentan daerah Toba. Dan selain sebagai misi agama, pewartaan Injil, Zending juga terlibat dalam urusan sosial-caritas, yaitu membangun sekolah, rumah sakit dan jajasan sosial lain. Dalam hal ini Protestan terlibat dengan hidup sosial orang Toba. Tetapi tidak dengan adatnya. Zending melarang diadakannya upacara kurban dengan mengatkan bahwa itu sipele begu, menyembah roh (jahat), atau yang biasa kita mengerti animis. Musik tradisional dilarang. Lalu itu diganti dengan trompet. Proses penyesuian Gereja dengan budaya setempat adalah sejauh, menterjemahkan alkitab, dan menggunakan truktruk organisasi hubungan famili untuk penyebaran agama Kristen. Yang terjadi di sini ialah memasukkan kekristenan dalam ke-batak-an dan sekaligus memilih hal-hal yang cocok dari adat itu untuk kekristenan.

Kemudian pada tahun 1930-an datang misi Gereja Katolik. Mereka tidak perlu mengkristenkan banyak orang Batak-Toba lagi. Mereka nampaknya lebih terbuka kepada adat setempat. Injil diterjemahkan ke dalam bahasa Toba, dibuat buku acara rituale di mana mereka boleh merayakan adat kebiasaannya secara Gereja Katolik, upacara kurban diterima sebagai sakramentalia dan musik tradisional dipakai di dalam musik Gereja. Bahkan dalam Sakramen perkawinan misalnya P. Leo Joosten memakai simbol-simbol orang Toba. Beras sebagai lambang berkat untuk menguatkan roh (boras si pirnitondi), daun sirih dan uang (napuran tiar dohot ringgit sitio suara) sebagai permohonan untuk masa depan yang baik dan sejahtera, mangkok berisi air (aek pangurason) lambang untuk menyucikan dan memberi hidup dan ulos (selendang batak) sebagai lambang kesatuan mereka bahwa yang sudah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh apa pun selain kematian. Dan selain daripada itu dipakai juga cincin sebagai lambang cinta di antara mereka berdua.

Apa yang mau saya utarakan dengan menunjukkan contoh ini ialah bahwa ada beberapa sikap dari agama Islam dan Kristen terhadap ke-batak-an. Yang pertama adalah sikap Islam yang melarang segala bentuk adat Batak dan menggantikannya itu dengan adat Islam. Apakah ini bisa kita katakan suatu dekulturasi dalam arti mengantikan kebatakan dengan keislaman? Kedua adalah sikap memasukkan adat baru (kekristenan) terhadap adat Batak-Toba dengan memilih beberapa unsur kebatakan yang dapat dipakai dalam kekristenan Protestan. Saya tidak tahu apakah adat Toba yang berinkulturasi atau kekristenan ke dalam adat Batak Toba? Sikap yang ketiga ialah menerima dan melaksanakan adat kebatakan itu dalam kekatolikan. Hal itu terjadi misalnya dengan upacara mangalahat horbo (upacara kurban kerbau). Bisakah sikap ini sebagai salah satu cara untuk biculturasi. Maksud saya dalam hal ini bahwa baik kekristenan dan kekatolikan berjalan bersama untuk membentuk orang Batak-Toba yang Katolik.

Salah seorang dari informan saya mengatakan demikian: "Gereja Katolik ini memang cocok untuk adat kami. Pertama karena gambaran Gereja itu adalah gambaran tubuh (Tubuh Kristus?). Kami orang batak (Toba) sangat suka dalam kebersamaan. Orang pergi ke Gereja juga untuk menikmati nilai kebersamaan ini. Kedua hubungan antara orang hidup dan mati tidak putus. Penghormatan kepada orang yang sudah meninggal mendapat tempat. Gereja Katolik mempunyai orang kudus dan kami mempunyai nenek moyang yang berfungsi sebagai orang kudus itu. Saya senang dengan Gereja Katolik ini, karena saya lihat kenyataan ialah bahwa pagi orang pergi ke Gereja dan sore hari pergi ke adat. Tidakkah itu sesuatu yang sangat baik?"


Nijmegen, The Netherlands, 1998


1