Sabda Telah Menjadi Daging
Oleh: Raymond Laia, Münster, Jerman
Sabda telah menjadi daging dan tinggal di antara kita (Yoh 1,14)
Mazmur Renungan
Pengantar untuk mazmur pertama (Mzm 92):
Orang jujur bertumbuh bagaikan palma, berkembang bagaikan pohon jati. Dengan perumpaan sedemikian mazmur berikut ini mengungkapkan keyakinan, bahwa bagaimana pun gencarnya kejahatan, kejujuran akhirnya akan menang....
Betapa baiklah bersyukur kepada Tuhan,
memuji nama-Mu, Allah yang mahatinggi;
Mewartakan kasih-Mu pagi hari,
dan kesetiaan-Mu di waktu malam.
Sebab Engkau menggembirakan daku
dengan karya-Mu yang agung,
aku bersorak-sorai karena perbuatan tangan-Mu.
Betapa agung pekerjaan-Mu, ya Tuhan,
betapa luhur segala rencana-Mu.
Orang bodoh tidak dapat menyadarinya,
orang dungu tidak akan mengerti.
Biar pun orang jahat meriap seperti rumput,
dan orang durhaka berkembang pesat,
namun mereka akan binasa selama-lamanya.
Sedangkan Engkau, ya Tuhan,
Engkau luhur selama-lamanya.
Orang jujur bertumbuh bagaikan palma,
berkembang bagaikan pohon jati.
Mereka ditanam dekat bait Tuhan,
bertunas di pelataran rumah Allah.
Pada masa tua pun mereka masih berbuah
dan tetap subur dan segar.
Mereka mewartakan, betapa adillah Tuhan pelindungku
tak ada kecurangan pada-Nya.
Pengantar untuk mazmur kedua:
Siapakah boleh mendaki gunung Tuhan? Siapakah boleh berdiri di kemah-Nya yang kudus? Mazmur berikut mencoba merunut jawaban. Hanyalah hati yang murni dapat didatangi oleh Allah. Itulah hati yang layak untuk menyambut Tuhan....
Milik Tuhanlah bumi dan segala isinya,
jagat dan semua penghuninya.
Sebab Tuhan yang mendasarkan bumi atas laut,
menegakkannya atas samudera raya.
Siapakah boleh mendaki gunung Tuhan,
siapakah berdiri di tempat-Nya yang kudus?
Yang bersih tangannya dan murni hatinya,
yang tidak bersikap curang dan tidak bersumpah palsu.
Dia yang menerima bekat Tuhan
dan memperoleh balas jasa dari Allah penyelematnya.
Orang demikianlah yang mencari Tuhan,
yang menghadap hadirat Allah Yakub.
Tinggikanlah tiangmu, hai gapura-gapura,
dan lebarkanlah dirimu, gerbang abadi,
supaya masuklah Raja Mulia.
Siapakah Raja Mulia itu?
Tuhan yang perkasa dan perwira,
Tuhan yang jaya dalam peperangan.
Tinggikanlah tiangmu, hai gapura-gapura,
dan lebarkanlah dirimu, gerbang abadi,
supaya masuklah Raja Mulia.
Siapakah Raja Mulia itu?
Tuhan semesta alam,
Dialah Raja Mulia.
IBADAT SABDA (Renungan)
Gem: Gembala
Yes: Nabi Yesaya
Luk: Penginjil Lukas
Mar: Maria
Gem: Baiklah aku, sang gembala lusuh, mulai menuturkan kisahku. Duniaku jauh dari kehidupan muluk dan riuh di kota Daud, Yerusalem. Hari-hariku berlalu dari padang ke padang, bertemankan rerumputan hijau. Tentu kalian tahu apa artinya atau lebih tepat lagi betapa berartinya rumput hijau bagiku dan domba gembalaanku. Ia bukan hanya makanan bagi ternakku, tetapi entahlah... setiap kali aku membiarkan pandanganku menyapu padang hijau, kurasakan suatu ketentraman dalam diriku. Damai dan syahdu. Tak heran bila mazmur 23 merupakan teks kesukaanku. Tuhan adalah gembalaku, tak kan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang rumput yang hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku (Mzm 23,1-3a).
Ya, Tuhanlah gembalaku. Tak kan kekurangan aku. Kurasa kalian tahu maksudku. Sungguh, tak kekurangan aku! Dari hari ke hari kualami bimbingan-Nya. Kutemui kelembutannya dalam rerumputan. Kubaca penyelenggaraan-Nya di langit biru. Kucecap kesegarannya dalam air yang kuminum. Ia hadir dalam setiap nada seruling yang kutiup sementara menjaga ternakku. Kurasakan belaian-Nya bila aku pulang ke rumah di kala senja. Dan Ia masih hidup dalam pelupuk mataku di kala aku mulai memejamkan mata, menyerahkan segala kelelahan hidup ke haribaan malam.
Yes: Wah, saya jadi turut terharu. Aku memang bukanlah gembala ternak. Namun pengalaman seperti itu tidaklah asing bagiku. Aku hanyalah seorang nabi, yang gampang asyik dengan lembaran-lembaran Kitab Suci. Yesaya: aku dipanggil orang. Bagiku Sabda Allah dalam Bibel bukanlah huruf-huruf mati, melainkan huruf-huruf yang hidup. Ya, ia sungguh firman yang hidup! Setiap kali ia kubalik dan kubaca, setiap kali pula ia mewahyukan kepadaku secara baru keterlibatan Allah dalam hidup manusia. Bukan hanya dulu di zaman bapa kita Abraham, atau di kala Ia menggiring Israel keluar dari Mesir selamat menyeberangi laut merah. Ya, ia masih berkarya. Nyanyian para malaikat yang berbunyi, damai di bumi bagi manusia yang berkehendak baik, sungguh masih terjadi.
Gem: Jadi pengalaman saya di padang rumput itu merupakan sarana Allah bertemu dengan saya secara pribadi, ya Nabi?
Yes: Ya, tapi ruang lingkup karya Allah lebih luas dari pada hanya sebatas padang ilalang. Bila kuingat mereka yang berjerih payah mengusahakan damai antar bangsa - bahkan ada yang terpaksa menjadi korban. Ingat saja salah satu contoh Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin yang baru dibunuh beberapa waktu lalu, atau mereka yang tanpa pamrih membaktikan diri pada pelayanan-pelayanan sosial. Bukankah itu berarti api kasih-Nya masih menyala dalam diri mereka? Bukankah Ia juga berkarya melalui mereka? Kita belum menyebut di sini mereka-mereka yang berjuang demi keadilan, demi kemerdekaan, dan banyak hal lain lagi yang hampir tak pernah ditulis di koran atau ditayangkan di TV.
Singkatnya: Dalam segala segi kehidupan kita bisa menyaksikan tanda-tanda campur tangan Allah. Ia bukan hanya melukis di langit, melainkan ia juga menulis dalam hati. Nubuat Nabi Yeremia kiranya bisa diterapkan juga di sini, bahwa Allah akan menaruh hukum-Nya dalam batin manusia dan menuliskannya dalam hati mereka (bdk. Yer 31,33). Ia tidak hanya memaklumkan keagungan-Nya dalam keindahan langit biru, atau kehijauan rerumputan, melainkan juga dalam baris-baris sajak para penyair, dalam keributan ketukan palu para pekerja bangunan.
Luk: Benar! Hal itu telah saya alami sendiri. Seperti kalian tahu aku adalah penulis injil yang disebut Injil Lukas. Bagiku perumpamaan-perumpamaan Yesus sangat menarik. Dalam perumpamaan-perumpamaan itu menjadi nyata, bahwa kejadian-kejadian sehari-hari merupakan sarana pertemuan dengan Allah. Sayang tidak semua orang mengenal hal itu. Karena itu Yesus berkata suatu kali: Apabila kamu melihat awan naik di sebelah barat, segera kamu berkata: Akan datang hujan, dan hal itu memang terjadi. Dan apabila kamu melihat angin selatan bertiup, kamu berkata: Hari akan panas terik, dan hal itu memang terjadi. Hai orang-orang munafik, rupa bumi dan langit kamu tahu menilainya, mengapakah kamu tidak dapat menilai zaman ini? (Luk 12,54-56)
Gem: Apakah itu berarti bahwa juga dewasa ini kita bisa bertemu Allah di mana-mana?
Luk: Ya. Kurasa bukan hanya para ahli Kitab Suci saja yang tahu bahwa aku dulu -- sebelum menjadi murid Yesus -- seorang dokter. Dulu ketika masih mahasiswa kedokteran, aku selalu dicengkram oleh rasa kagum akan keagungan karya Allah setiap kali aku mengadakan praktikum di labor. Kupelajari jalinan rumit syaraf-syaraf manusia, kucoba kupahami bagaimana sel-sel berkembang dan berinteraksi. Berapa lama Allah merancang konstruksi sedemikian rumit dahulu sebelum ia mewujudkannya? Bagaimana ia merancang itu semua dahulu tanpa alat-alat tehnik seperti sekarang, tanpa perhitungan komputer yang super teliti, tanpa menggores sedikitpun ke atas kertas? Bagiku rekonstruksi jalinan syaraf-syaraf saja sudah cukup rumit. Apalagi konstelasi pikiran, jiwa, perasaan, hasrat, cinta. Adakah itu semua hanya peristiwa-peristiwa acak kimiawi belaka? Ataukah peristiwa-peristiwa itu hanya wahana campur tangan Allah?
Sering aku teringat akan kisah dari buku Kejadian, yang menuturkan, bahwa manusia adalah gambaran Allah. Kata gambaran sebenarnya kurang tepat. Terjemahan dari bahasa Ibrani yang lebih tepat barangkali adalah stempel. Manusia adalah stempel Allah. Artinya dalam diri manusia tertempel keilahian Allah.
Mar: Barangkali lebih daripada itu. Bagaimana kalau Allah sendiri menjelma menjadi manusia seperti kita? Kalau Ia bukan hanya menciptakan manusia yang merupakan stempel dari keilahian-Nya sendiri, melainkan menjadi manusia sendiri?
Seperti kamu tahu aku dulu hanyalah seorang gadis sederhana di Nasaset. Tentu saja aku tak dapat membaca huruf-huruf Kitab Suci seperti Yesaya. Maklum aku tak pernah menginjak banggu sekolah. Tetapi aku menaruh perhatian setiap kali aku mendengar Sabda Allah dibacakan dalam ibadat, dan tepatlah yang ditulis oleh Lukas dalam Injilnya: aku menyimpan dan merenungkan segalanya dalam hati (Lk 2,19.51). Untunglah aku diberi Allah telinga untuk mendengar dan hati untuk merenung, sehingga Sabda-Nya bisa hidup dalam diriku. Buku Bibel tidaklah aku punya, sehingga aku menyimpannya tak tersentuh dalam rak buku. Tidak! Sabda Allah tergores langsung dalam hatiku. Ia turut mengalir dalam darahku. Karena itu aku dapat berkata kepada malaikat, Aku ini hamba Tuhan terjadilah padaku menurut perkataanmu. Allah menjadi manusia, bagiku hal itu tidaklah asing. Ia telah tergores dalam diriku. Ia sungguh telah menjadi manusia dalam diriku. Dan Ia telah lahir ke dalam dunia.
Gem: Benar, Bunda Maria. Dan bukankah karena itu kita malam ini berkumpul, untuk merayakan peristiwa agung itu? Kurasa kita telah terlalu banyak berbincang-bincang tentang diri kita, tentang pekerjaan kita. Mengapa kita tidak mulai memuji Allah saja? Mengapa kita tidak ikuti saja ajakan para mailakat, untuk pergi menghadap Sang Kristus yang telah lahir itu? Karena itu marilah kita menyanyikan Hai Mari Berhimpun (halaman 1 lembaran nyanyian). Kita berdiri. ***
Catatan: Tulisan ini merupakan renungan pada perayaan Natal bersama mahasiswa Indonesia di kota Münster, Jerman, pada tahun 1995.