Musa di depan semak duri yang bernyala
Oleh: Raymond Laia, Münster, Jerman
Siapakah aku ini, maka aku yang akan menghadap Firaun dan membawa orang Israel keluar dari Mesir? (Kel 3,11)
Membaca Teks Kel 3, 1-15a
Beberapa Pokok Pikiran
Adapun Musa, ia biasa menggembalakan kambing domba Yitro, mertuanya, imam di Midian, demikian kitab Keluaran memulai kutipan yang baru kita baca tadi. Siapakah Musa? Musa adalah seorang pemuda tampan yang gagal, yang terdepak dari garis hidup yang menjanjikan kesuksesan. Sejak ditemukan di tepian sungai Nil, Musa menjadi bertumbuh menjadi pemuda tangguh di dalam lingkungan kerajaan Firaun. Ia bukan hanya tangguh dalam penampilan fisik, melainkan juga mulia dalam budi. Ia memiliki ideal hidup yang tinggi, dan bertekad membela kebenaran dan keadilan. Maka suatu kali ketika ia menyaksikan bagaimana seorang Mesir menindas dan memukuli seorang Israel, darah kepahlawanannya langsung mendidih, dibunuhnyalah si Orang Mesir itu, agar tidak pernah lagi menindas bangsangnya.
Tapi bagaimana pun luhurnya cita-cita Musa ia terbentur pada kenyataan hidup yang keras. Rupanya ketidakadilan tidak hanya dilakukan orang Mesir terhadap orang Israel, melainkan juga di antara orang Israel sendiri. Dalam bab 2 Kitab Keluaran kita dapat membaca satu kisah, bagaimana seorang Israel memperlakukan teman sebangsanya secara tak adil. Sekali lagi darah kejujuran Musa naik. Tetapi sang orang Israel itu berkata, Siapakah yang mengangkat engkau menjadi pemimpin dan hakim atas kami? Apakah engkau bermaksud membunuh aku, sama seperti engkau telah membunuh orang Mesir itu? (Kel 2,14). Dan Kitab Keluaran memberitakan kepada kita lebih lanjut, Musa melarikan diri. Vorbei dengan mimpi hidup yang gemilang di dalam istana Firaun. Schluß dengan keadilan dan kejujuran. Musa kini hidup sebagai orang pelarian, sebagai orang terbuang. Cara hidup istana kini diganti dengan cara hidup gembala, yang mengembara dari padang ke padang, bertemankan domba dan rerumputan. Sia-sialah kemungkinan karier di istana. Hidup nyata adalah menanggung sengatan matahari panas di padang gembalaan. Adapun Musa, tulis Kitab Keluaran, ia menggembalakan kambing domba Yitro.
KS tidak memberitakan kepada kita bagaimana perasaan Musa setelah melarikan diri dari Mesir dan kini hidup sebagai gembala di Midian. Apakah ia kecewa? Menyesali bahwa ia pernah mencoba membela kebenaran? Jawaban terhadap pertanyaan ini kita tidak tahu. Tetapi barangkali toh "api" kecil dalam hatinya belum padam sama sekali. KS menulis, suatu kali ketika menggiring kambing domba ke seberang padang gurun Musa melihat semak duri menyala tetapi tidak dimakan api. Ungkapannya kedengaran lebih tegas dalam bahasa Jerman, es brennt aber es vebrennt doch nicht. Apakah itu halusinasi Musa sendiri? Suatu mimpi di siang bolong di tengah panasnya padang gurun? Apakah itu produk dari pergulatan Musa dengan pengalaman buruk di Mesir? Para psikolog bisa mengajukan berbagai kemungkinan interpretasi. Apa yang diberitakan KS, hanyalah bahwa Musa dihinggapi rasa ingin tahu. Ia mendekat, mencoba mencari tahu mengapa semak berduri itu menyala tetapi tidak terbakar.
Langkah mendekati ini rupanya sekaligus merupakan langkah Musa ke babak baru sejarah hidupnya. Siapa yang berusaha mendekati Allah, dia memulai cara hidup yang baru. Musa-Musa, janganlah datang dekat-dekat: tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus. Musa kini masuk dalam lingkungan baru, lingkungan Allah. Ya, Musa terlanjur besar di lingkungan "tak berallah" di Mesir. Tapi kini ia ditarik ke dalam dunia, di mana Allah yang bertindak, berkarya, memperhatikan nasib umat manusia. Barangkali Musa terlalu menganggap api kecil dalam dirinya di Mesir sebagai apinya sendiri. Tetapi dalam lingkungan Allah, ia bisa melihat bahwa api itu adalah api Allah sendiri.
Barangsiapa memasuki tanah Allah, ia mengalami hidup yang berubah. Demikian juga dialami Musa. Api kecil dalam dirinya yang berkedip-kedip hampir padam itu, kini membesar lagi, tetapi kini dengan nyala baru. Api yang di Mesir itu adalah api yang tak memiliki sejarah, dan masa depan. Api yang dari Allah adalah api yang terlibat dalam sejarah dan memiliki masa depan. Aku telah mendengar seruan umat-Ku di Mesir yang disebabkan oleh pengerah-pengerah mereka, kata Allah.
Ya, Allah. Siapakah dia? Teks yang kita bacakan tadi merupakan salah teks yang paling penting dalam KS. Di dalamnya Allah pertama kali dan barangkali terakhir kalinya memperkenalkan diri. Musa bertanya siapakah nama-Nya. Dan Allah menjawab: Aku adalah Yang ada dan Yang akan ada. KS bahasa Indonesia terbitan protestan (LAI) menerjemahkannya: Aku adalah Aku, satu ungkapan yang tidak jelas mengungkapkan isi dari kata Ibrani Jahwe. KS bahasa Jerman memberi terjemahan, Ich bin der "Ich-bin-da", yang sedikit makna nama ini lebih jelas. Ich bin da, saya ada di sana bersamamu. Barangkali terjemahan yang lebih pas adalah, Yang-Membuat-Ada. Sayang bahasa Indonesia tidak mengenal kata kerja ada (bahasa Latin esse, bahasa Jerman sein) seperti umum di bahasa Barat, sehingga makna nama Yahwe ini sulit diterjemahkan. Dalam bahasa Jerman nama ini bisa diterjemahkan lebih tepat: Er setzt ins Dasein. Jadi Yang-Mengadakan.
Dan seperti umum di kultur Timur dan terutama lazim dalam KS nama menunjukkan hakekat. Nama Allah ini mengungkapkan pribadi Allah sendiri, siapa Dia. Dan itulah yang diungkapkannya kepada Musa. Ia adalah Allah yang membuat, mencipta, membebaskan. Ia bukan Allah para ahli pikir, yang merupakan rumusan ketak dari rasio, melainkan Allah yang telah berkarya dalam sejarah, dan kini masih mendengarkan nasib umat-Nya dan akan bertindak menyelamatkan umat-Nya. Ia ada berarti, Ia berkarya, mencipta dan menebus. Itulah hakekat diri Allah. Karena itulah Yesus berkata dalam PB, Bapaku bekerja sampai sekarang (Yoh 5,17) dan langsung menyambung, maka Akupun bekerja juga. Dan Yesus memaksudkan kerja-Nya mewartakan kabar gembira dari Allah, menyembuhkan, menyelamatkan.
Allah adalah Yang-Membuat-Ada, yang ada di sana bersama umat-Nya. Pastilah kita teringat akan nama Yesus sendiri. Yesus dari kata Yeschua, yang berarti Allah menyelamatkan. Dan malaikat memberi nama kedua lagi kepada-Nya, Immanuel, artinya Allah berserta kita, Ia ada di sana bersama kita. Dan mungkin kita heran bila menemukan bahwa keseluruhan Injil Matius digenggam oleh pengakuan akan penyertaan Allah ini. Injil Matius memberitakan dalam bab pertama tentang Immanuel, dan dalam bab terakhir ia mencatat sabada Yesus: Aku menyertai kamu senantiasa sampai akhir zaman. Allah Yesus adalah yang bertindak dalam sejarah, terlibat dengan keluh kesah umat-Nya, yang berinisiatif membawa mereka keluar dari perbudakan dan mengantar mereka ke tanah Terjanji. Sifat Allah ini juga menjadi nyata dalam diri Yesus. Ia berkeliling mewartakan Injil (yang berarti Kabar Sukacita), prihatin akan mereka yang sakit, mendatangi mereka yang berdosa. Identitas Allah merupakan identitas Yesus. Dan kalaupun dunia dewasa ini tidak mau mengerti aksi karitatif gereja, bahkan sering merendahkannya, tetapi itu bukan hanya aksi permainan politik, melainkan identitas diri orang kristen sendiri. Siapa yang melihat dunia dalam mata Allah, dia akan melihat dunia dengan suka dan dukanya. Atau dalam bahasa Konsili Vatikan II, keprihatinan dan kecemasan dunia adalah keprihatinan gereja juga. Bagi orang kristen pertanyaannya bukanlah, apa peranan kita dalam dunia, melainkan, bagaimana kita melihat dunia.
Sebelum renungan ini saya akhiri saya masih ingin menyinggung dua hal lagi dari bacaan tadi.
Pertama, tentang tanah yang kudus. Allah berkata kepada Musa, tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus. Apakah itu? Tanah yang kudus di bawah semak-berduri di padang gurun? Suatu tempat di mana sebaiknya membuka sepatu? Kisah ini menimbulkan teka-teki bagi kita. Apakah dimaksud tanah tempat Musa berpijak, jadi konkrit, tapi rasanya KS seterusnya tidak begitu mencatat tentang tanah yang dipijak Musa itu. Jadi apakah tanah kudus itu, tanah di mana api Tuhan bernyala? Apa artinya membuka sepatu bila mendekati tanah kudus tsb? Adakah pengalaman kita yang mirip dengan pengalaman Musa ini? Apakah kita berusaha memasuki tanah kudus itu dan mendekati api yang bernyala di dalamnya? Tapi saya tidak mau mendahului renungan pribadi Anda nanti.
Kedua, tentang semak berduri. Apakah itu? Menurut pandangan umum semak duri adalah tumbuhan yang tak berguna, yang tumbuh liar. Ia barangkali hanya berguna untuk menyalakan api bila ranting-rantingnya mengering. Itupun hampir tak ada artinya, karena cepat menyala cepat habis juga. Tak dapat dibandingkan dengan kayu api. Namun kayu tidak bertahan tumbuh di padang gurun, sedangkan semak duri ya. Überlebenskraft-nya tinggi. Jadi yang paling tak berguna ini memiliki daya tahan hidup terhadap keganasan padang gurun yang panas dan tandus. Jadi apakah semak duri itu? Dan apakah artinya es brennt aber es verbrennt doch nicht? Apakah api itu? Tetapi tentang api saya sudah singgung di atas.
Bahan Refleksi Pribadi
1. Allah bersabda kepada Musa, "Musa, tanggalkanlah kasut dari kakimu, sebab tempat, di mana engkau berdiri itu, adalah tanah yang kudus." Kamu kini menghadapi kitab suci, dan ingin membaca hal yang kudus. Cobalah sejenak hening, menarik nafas secara teratur, dan menyadari bahwa kamu kini ingin menghadap Tuhan sendiri, membaca sabda-Nya, dan mencoba mendengarkan apa kehendak-Nya untukmu.
2. Sampaikanlah sebuah doa singkat kepada Allah, yang merupakan ungkapan hatimu saat ini, entah itu kegelisahan, kecemasan, ataupun ungkapan syukur dan suka cita. Doa berikut dapat juga digunakan:
Terpujilah Engkau ya Allah,
karena Engkau senantiasa menyertai umat manusia.
Engkau bukan hanya Allah para nenek moyang
yang telah meninggal,
melainkan juga Allah kami,
yang juga prihatin akan situasi kami di masa kini.
Engkau telah mencipta segala sesuatu dan mencintainya,
dan karena itu tak pernah meninggalkannya.
Syukur bahwa Engkau telah menciptakan aku,
dan senantiasa beserta aku, dalam segala suka dan duka.
Syukur bahwa Engkau hadir kini di sini.
Berilah aku Roh-Mu dan terangilah budiku
agar dapat mendengarkan sabda-Mu bagiku. Amin
3. Bacalah kini teks Kel 3,1-14 dengan seksama, bagaikan engkau pertama sekali membaca kisah yang dituliskan di situ. Berilah tanda tanya (?) pada ungkapan yang kamu rasa aneh atau tidak dimengerti, tanda tanya seru (!) pada ungkapan yang kamu rasa penting dan kena untuk zaman kita, dan tanda panah (?) pada tempat yang kamu rasa kena untukmu.
4. Renungkanlah kembali kutipan dengan tanda ? dan !. Mengapa kamu merasa kutipan tsb. penting atau mengena? Apanya yang terasa penting dan mengena? Apa kira-kira yang mau dikatakan Allah bagimu melalui kutipan-kutipan ini? Apa applikasinya bagi dirimu? Apa yang terjadi bila kamu mengikutinya? Adakah pengalamanmu sendiri atau orang lain yang kira-kira sebanding?
Bahan Sharing
1. Setiap peserta mengajukan dalam kelompok kutipan-kutipan yang baginya dirasa kurang dimengerti (yang bertanda ?). Mereka yang tak memiliki tanda ? di tempat itu mencoba memberi jawaban.
2. Setiap peserta membagikan renungannya atas kutipan-kutipan yang diberi tanda ? dan !. Yang lain mendengarkan dan mencoba mengerti.
3. Kalau masih ada waktu: apa kesan umum yang timbul dalam dirimu dari segala kisah dan pembicaraan ini? Apakah kamu tahu ada tokoh-tokoh (sejarah) lainnya yang kira-kira mempunyai sejarah hidup yang mirip dengan Musa? Apa kiranya artinya itu bagimu?
Catatan: Tulisan ini merupakan bahan masukan (konferensi) dalam Retret KMKI 1996. KMKI adalah singkatan dari Keluarga Mahasiswa Katolik Indonesia