2000 Tahun Kekristenan Selayang Pandang
Oleh: Raymond Laia, Münster, Germany
Kenang dan bisikan
Persis dua minggu setelah ekskurs di Köln saya tergerak menuliskan baris-baris berikut. Beberapa hari ini saya menyepi di Reute (Bad Waldsee), jauh dari Münster. Toh intensi dasar ekskurs di Köln tsb. masih hidup dalam batin.
Ada hal yang selalu mengingatkan saya akan pertemuan kita di Köln. Dua kali sehari p.p. ke misa, saya turun lewat tangga dan bertemu" beberapa lukisan besar yang terpajang di dinding, di antaranya St. Ursula, yang legenda hidupnya telah kita dengar di Köln, dan St. Anselm dari Canterbury, yang juga seperti St. Albertus Magnus berada di barisan para cendekiawan Kristiani abad pertengahan.
Pada hari-hari pertama saya di sini kedua gambar tsb. tidak berbicara" kepada saya. Tetapi semakin sering saya lewat tangga itu, semakin terasa, seolah mereka berbicara" kepada saya, sampai suatu ketika saya berhenti dan membiarkan kedua gambar tsb dan motto yang tertera di bawahnya meresap ke dalam batin.
Sebenarnya mereka bukan berbicara", lebih tepat berbisik", karena terasa sangat halus, dan seandainya saya tidak berhenti dan merenung sejenak nisacaya bisikan sayup-sayup ini tak terdengar. Barangkali demikian pula dengan halnya dengan pengalaman iman? Saya takut, ya.
Istimewa?
Dalam lukisan itu St. Ursula digambarkan dengan mata yang agak redup, tetapi penuh pengharapan, dan mulut yang berproporsi kecil, suatu motif yang sering kita dapatkan pada lukisan ikone Bunda Maria. Dan di bawah gambar tertera kutipan, yang merupakan motto hidup St. Ursula: Sabarlah dalam kesesakan (Sei geduldig in der Bedrängnis).
Ya. Sabarlah dalam kesesakan. Apalah yang istimewa dalam kata-kata itu? Tapi secepat kita melirik realita hidup sehari-hari, kita tahu kata-kata itu memang istimewa. Hidup manusia penuh dengan kesesakan, tak peduli umur dan jenis kelamin. Dan tanpa kesabaran dalam melintasi kerikil-kerikil hidup, niscaya kita tidak bisa überleben.
St Ursula sendiri telah mengalami hal ini. Dia dan orang tuanya tidak melihat" lagi jalan keluar dari tantangan keluarga Aetherius, yang menginginkan Usula auf jeden Preis sebagai isteri. Tapi Ursula tidak putus akal. Lukisan dinding itu mengungkapkan hal ini melalui tatapan mata Ursula, yang kendati redup, tetapi penuh pengharapan. Ya, dari pada menghanyutkan diri dalam genangan air mata menangisi nasib, dia berdiam diri, hening sejenak (dalam lukisan diungkapkan dengan proporsi mulut yang kecil), dan mencurahkan kesesakan hatinya di hadapan Allah (ingatlah salah satu dari rangkaian lukisan legenda hidup St Ursula di Gereja St Ursula Köln itu, di mana dia sendirian berdoa di depan Altar untuk mohon terang).
Dan ternyata doanya didengarkan. Tuhan menunjukkan kepadanya jalan keluar, lepas dari cengkraman keluarga kafir" Aetherius, yakni dengan menempuh jalan kemartiran, yang merupakan ungkapan tertinggi mengikuti Kristus di abad-abad pertama Kekristenan.
Muluk-muluk?
Dalam kosakata kerohanian Kristen hal ini disebut keutamaan. Dan kalaupun bagi kita orang modern keutamaan hidup St. Ursula ini nampaknya muluk-muluk, itu bukan berarti hal ini memang muluk-muluk. Anggapan semacam itu hanyalah timbul dalam hati mereka, yang tidak mengenal lagi akar-akar iman Kekristenan. Kendati sebagian dari kisah tentang keutamaan hidup St. Ursula merupakan legenda, tetapi keutamaan itu sendiri bukanlah legenda dan bukan hal muluk belaka! Sebab ia telah menjadi inspirasi hidup bagi tak terbilang orang Kristen dalam sejarah, di Inggeris, Italia, Perancis, Jerman, dan berbagai negeri lainnya (arus ziarah berabad-abad lamanya adalah bukti yang tak bisa disanggah!). Kerohaniannya juga telah merebut hati banyak wanita, yang mengikatkan dirinya dalam Kongregasi Suster-Suster Ursulin, yang juga kita kenal di Indonesia. Sampai dewasa ini!
Catatan Samping
Penting: Ini adalah kenyataan. Dan kenyataan semacam ini ini harus diperhitungkan dalam menilai keutamaan-keutamaan Kristiani. Kalau tidak, praktek hidup Kristiani nampak bagai barang asing, atau dalam bahasa jurnalisme Jerman weltfremd.
Mengapa saya katakan, kenyataan ini perlu juga diperhitungkan? Ada tradisi dalam majalah-majalah populer besar Jerman untuk "menggigit" hal-hal yang berbau Kristiani. Ingat saja misalnya tradisi "Spiegel" dan "Focus" menjelang hari-hari besar seperti Natal dan Paska! Tetapi orang tak perlu intelek tinggi untuk melihat, bahwa ulasan-ulasan tentang Kekristenan dalam majalah-majalah seperti itu sebagian besar klise. Tujuannya (dan tidak lebih dari itu) membangkitkan kesan bahwa dewasa ini Kekristenan tinggal merupakan barang kusut masa lalu, dan ideal Kristiani tidak lebih daripada hal-hal muluk yang berusaha dipertahankan melalui tipu dan muslihat.
Tapi Vorurteil semacam itu genauso weltfremd, karena menutup mata terhadap kenyataan (itulah yang saya sebut di atas) praksis hidup banyak orang Kristen, yang tanpa gembar-gembor menghayati imannya dalam hidup sehari-hari, bukan hanya di masa lalu, melainkan sampai dewasa ini, 2000 tahun setelah kelahiran Kristus! Jadi usaha-usaha untuk menganggap rendah keutamaan Kristiani hanyalah menampakkan betapa yang bersangkutan tidak kenal kenyataan yang sebenarnya. Dan hal ini berlaku juga terhadap angket, yang menjadi trend saat ini di majalah-majalah seperti di atas (dan trendy tidak berarti harus benar, bukan?). Logikanya, seperti kalau kita mau tau seluk beluk penerbangan ruang angkasa dengan mengadakan angket di antara para penjual jamu. Saya harap, kita belum kehilangan daya kritis kita untuk menghadapai angket-angket semacam itu, kendati ia merupa mode di zaman kita.
Bumbu penting
Kembali ke keutamaan St. Ursula: Kesabaran merupakan bumbu penting kehidupan. Dalam hidup ini kita butuh sedikit banyak kesabaran, alias tidak cepat putus asa. Seandainya pun kenyataan hidup sedemikian gersang sehingga membuat pandangan ke depan meredup, toh dalam tatapan redup pun kita seyogyanya tetap berharap. Itulah motto dan praksis hidup St. Ursula. Dia juga mengajar kita, bahwa dalam hidup ini kita butuh saat-saat di mana kita hening sejenak, mengangkat kepala, kepada Dia yang menyelenggarakan hidup kita; dari waktu ke waktu kita perlu mengadakan orientasi hidup dalam cahaya iman kepada Tuhan; kita berhenti sejenak dengan omongan mulut, dan membiarkan hati berbicara: Hening. Itulah sikap dasar hidup St. Ursula. Barangsiapa berjalan dengan kepala tertunduk dalam hidup, niscaya hanya melihat kerikil-kerikil sepanjang jalan, dan semakin frustrasi melihat, betapa banyaknya kerikil-kerikil itu. Tapi barangsiapa kadang-kadang mengambil kesempatan untuk hening mengangkat kepala kepada Allah, dia juga melihat betapa dunia ini merupakan ciptaan Allah yang indah, dan dapat bersyukur menjadi penghuni dunia ciptaan-Nya ini.
Ich glaube, um zu verstehen
Hal ini membawa kita kepada rahasia lain kehidupan ini. Dengan kepala tertunduk, kita tidak akan mungkin melihat dunia ini dalam horizon yang lebih luas. Barangsiapa terperangkap dalam banalitas pandangan hidup horizontal, dia tidak akan sadar bahwa dunia ini memiliki dimensi vertikal. Dia memang akan menjadi one dimensional man sejati, tapi ia tidak akan pernah menjadi manusia utuh yang sungguh berdiri antara langit dan bumi. Dan hubungan semacam itu berlaku juga dalam hubungan antara iman dan ilmu.
Karena itu adalah menarik motto hidup dari St. Anselm dari Canterbury, salah seorang pemikir, yang termasuk dalam barisan para cendekiawan Kristiani abad pertengahan. Di bawah lukisan dirinya yang saya sebut di atas tertera motto hidupnya, dan juga telah menjadi motto hidup tak terbilang ilmuan Kristen lainnya dalam sejarah: Saya beriman, untuk dapat mengerti (Ich glaube, um zu verstehen). Kedengarannya paradoks, tetapi di dalamnya terkandung kebijaksanaan dari mereka yang telah mencapai kematangan hidup dan tidak tinggal menjadi one dimensional man di atas. Dalam kalimat yang singkat ini St. Anselm telah menyimpulkan serangkaian buah pikiran, yang untuk menguraikannya butuh berjilid-jilid buku. Kendati kedengarannya sederhana, kalimat ini mengandung kebijaksanaan hidup, yang lahir dari pergulatan manusia untuk mencoba mengerti dunia ini secara rasional.
Singkatnya: ilmu tanpa iman, bagaikan orang mau menerangkan segala fenomena dunia ini secara one dimensional: dari aspek horizontal saja. Tapi itu adalah absurd. Keterangan tentang struktur fisis dan kimiawi sebuah telur, serta bagaimana perkembangannya sampai menjadi anak ayam, toh belum memberi keterangan tentang asal usul telur, bukan? Dan juga tanpa pengetahuan tentang prinsip kausalitas ayam-telur, orang toh bisa mengadakan eksperimen terhadap telur!
Tapi sebaliknya: iman tanpa ilmu adalah terasa naiv. Tanpa ilmu orang akan gampang jatuh dalam tipuan optis virtual: Kisah penciptaan Kitab Suci dibaca seolah merupakan berita koran terhadap pembukaan sebuah olimpiade. Dengan ilmunya seorang beriman memiliki kans untuk berkembang menjadi matang dalam imannya. Dan sebaliknya dengan imannya seorang ilmuan mampu melihat disiplinnya sendiri dalam konteks kehidupan yang lebih luas, bahkan bisa mendapat pendasaran yang rasional, yang dari dirinya sendiri ilmu tidak bisa capai.
Sebuah contoh
Kita ambil satu contoh: manusia. Apa atau siapa itu manusia? Mengapa ia berhak untuk hidup dan tidak bisa disembelih begitu saja seperti misalnya kerbau? Dari mana dia dan ke manakah dia? Apa yang boleh dan tidak boleh dia lakukan?
Pertanyaan-pertanyaan semacam itu tidak bisa dijawab hanya secara naturwissenschaftlich. Apa itu manusia? Seorang ahli fisika memang dapat mengajukan jawaban terhadap pertanyaan ini. Tapi jawaban paling tinggi yang bisa dia suguhkan adalah dengan menerangkan struktur fisik manusia, yang pada dasarnya tidak banyak bedanya dengan makhluk bertulang punggung lainnya. Tetapi mengapa makhluk" yang satu ini memiliki martabat yang harus dihargai, tidak sekedar salah satu di antara hewan bertulang punggung lainnya, itu tidak bisa dijawab ahli fisika. Apakah manusia harus diistimewakan dari hewan lainnya, dan tidak boleh dijadikan "sembelihan" bak layaknya kerbau, hanya karena dia berjalan dengan dua kaki sedangkan yang lainnya dengan empat kaki?
Seorang ahli biologi bisa menerangkan kepada kita evolusi perkembangan hewan bertulang belakang" ini sampai menjadi manusia. Tapi mengapa hewan" yang satu ini bisa mencinta, dan mengalami suka dan duka, bisa dan harus memikul tanggung jawab dalam keluarga dan masyarakat, bahkan bisa menyangkal diri sendiri, berkurban demi orang lain, atau menjadi martir, sebagaimana telah sering terjadi dalam sejarah Kekristenan, itu tidak bisa diterangkannya. Apa dasarnya, bahwa manusia bisa dihukum karena melanggar peraturan lalu lintas, sedangkan seekor kuda tidak? Di mana letak "kelebihan" manusia itu?
Jawaban paling tinggi yang bisa dicapai seorang ahli biologi adalah: Karena demikianlah hasil proses evolusi. Tapi ini bukan jawaban! Justru itulah yang dipertanyakan, mengapa proses evolusi itu menuju ke arah manusia berbudi tinggi seperti manusia dan mengapa hewan" ini harus dianggap memiliki hak-hak azasi. Karena kalau memang itu kebetulan, mengapakah kita semua merasa wajib menerima prinsip-prinsip etis itu, yang toh produk random evolusi? Mengetahui proses evolusi sendiri tidak berarti memberi jawaban kepada kita mengapa kita memperlakukan manusia secara manusiawi, dan tidak seperti mis. sebuah batu atau seekor hewan.
Daftar ini bisa kita teruskan dan perdalam lagi, tetapi dari ilmu kita tidak akan pernah dapat satu jawaban, jangankan jawaban rasional, jawaban sederhana pun tidak. Ilmu paling-paling bisa menyuguhkan kepada kita bagaimana" struktur fisik dan proses-proses yang terjadi dalam alam ini, tetapi mengapa demikian, itu hanya bersifat taken for granted. Dan orang yang bersitegas tinggal pada keterangan ilmiah semacam itu, dia bagaikan seorang yang berputar-putar mengamati sebatang pohon, tetapi tidak pernah mengangkat kepala, dan menyadari bahwa dia sedang berada di dalam sebuah hutan, dan bahwa pohon yang satu ini lebih daripada sebatang pohon. Pohon ini termasuk dalam satu jaringan ekosistem, dlsb.
Nah hal ini membawa kita kembali ke kebijaksanaan hidup St. Anselm tsb. di atas: ich glaube, um zu verstehen. Hanya manusia beriman bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, dan bisa mengerti rahasia alam ini. Hanya dalam iman kita tahu mengapa proses evolusi melahirkan manusia. Hanya dengan perantaraan iman kita tahu, dunia ini telah diciptakan dengan sempurna oleh Sang Pencipta. Dalam imanlah kita sadar bahwa manusia itu memiliki martabat, karena dia bukan sekedar hewan, melainkan telah diangkat menjadi anak-anak Allah. Hanya dalam iman kita bisa tahu, bahwa segala sesuatunya dalam dunia ini mempunyai tempat dalam keseluruhan.
Karena itu iman dan ilmu tidak bertentangan. Dalam cahaya iman, ilmu bisa melihat horizon yang melampaui fenomena fisis. Sebaliknya dengan ilmu seorang beriman bisa mengerti dunia ini lebih subtil dan mendetail.
Tapi juga dalam hal praktis
Tapi ini semua berlaku bukan hanya pada lapisan teoretis. Juga dalam tingkat praksis hal ini sangat benar: ich glaube, um zu verstehen. Tanpa iman, kita tidak akan mengerti diri kita sendiri, tidak punya orientasi hidup sama sekali. Tanpa iman, kita tidak mampu menangkap kekayaan alam ciptaan ini.
Sore hari bila saya pergi berjalan-jalan ke hutan di Reute ini, saya bertemu pengalaman lain. Sambil berjalan kudengar kicauan keras seekor burung. Tapi secepat saya berhenti dan berusaha mendengar satu suara itu, tiba-tiba telinga saya menangkap lebih banyak suara lagi.
Oh Tuhan, betapa ramainya suara di hutan ini. Bagaikan musik koor! Saya teringat akan satu legenda tentang St. Fransiskus, yang katanya ketika masih hidup sering dikerumuni burung-burung kalau lagi berjalan di ladang. Dan suatu kali dia mengajak mereka untuk bersama-sama bernyanyi dan memuliakan Tuhan. Dan menurut legenda itu, burung-burung tsb pun mulai berkicau riuh, seakan menyanyikan koor yang paling indah bagi Sang Pencipta.
Saya memang tak dapat berbicara" dengan burung-burung, tetapi koor mereka dapat saya dengar! Dan hatiku pun membatin kata-kata pemazmur: "Langit menceritakan kemuliaan Allah dan cakrawala memasyurkan karya tangan-Nya" (Mzm 19,1). Mein Gott, betapa hidupnya hutan ini!
Sementara riuh rendah kicauan burung merecah keheningan hutan, saya melayangkan pandangan ke dalam kali yang mengalir tenang bak sedang membisu. Hanya kadang-kadang recikan air mencapai telinga. Dan dalam arus air yang memberi kesan tak berpenghuni" itu saya melihat seekor ikan. Dan secepat saya mengamatinya saya melihat seekor ikan lain lagi. Eh, ternyata di sini hidup beberapa ekor ikan. Air yang hening itu, ternyata juga mengandung kehidupan!
Pengalaman ini dan pengalaman lainnya merupakan unsur yang penting dalam hidup kita sebagai manusia beriman. Dan memang iman merupakan kanal, di mana pengalaman semacam itu bisa intensif terjadi. Itu adalah saat-saat di mana kita merasakan kehadiran Allah. Dan hanya mereka yang mampu untuk membuka diri kepada kehadiran Yang Transenden, bisa mendapat pengalaman semacam itu. Sebaliknya mereka yang kepekaannya telah kering kerontang, karena tidak dirawat dan tidak pernah disiram dengan air, tidak akan pernah mendapat moment-moment rahmat semacam itu.
Dan bila pengalaman "hadirat Allah" ini menjadi sangat intensif, maka kita berbicara tentang moment pengalaman religius, yang secara teknis dalam ilmu agama-agama disebut: disclosure. Bahasa indonesia sehari-harinya adalah wahyu, atau inspirasi. Kedengarannya paradoks, tetapi memang hanya dengan iman, kita bisa menangkap "pesan" dan bisa "mengerti pesan itu". Atau dalam bahasa kerohanian: imanlah yang membuat kita bisa peka terhadap Sabda Allah dalam hidup kita, dan yang membuat kita bisa mengerti apa kehendak-Nya dalam diri kita.
Jadi?
Dari beberapa pengalaman fragmentaris di atas kita bisa menarik kesimpulan, bahwa keutamaan-keutamaan hidup Kristiani merupakan bumbu penting dalam hidup. Entah itu kesabaran, serta kesediaan untuk hening dan berdoa, sebagaimana diteladankan oleh St. Ursula, ataupun prinsip hidup St. Anselm: saya beriman, supaya dapat mengerti, ini semua merupakan batu-batu loncatan yang kita butuhkan dalam hidup sehari-hari, sehingga bisa tetap menyelusuri sungai kehidupan, tanpa harus tenggelam dalam arus sungai itu sendiri. Bisa jadi anggapan umum: hidup beriman itu tidak mode lagi, tetapi sesungguhnya, hanya seorang berimanlah yang bisa hidup rasional: dia tahu dari mana asalnya, ke mana perginya, dan tahu mengapa ia mengembara di dunia ini. Dia tahu peziarahan ini tidak sia-sia, dan seandainya pun derita mengancam, dia toh bisa menaruh harapan pada Penciptanya. Pertanyaannya ialah: maukah seorang Kristen hidup sebagaimana layaknya kaum beriman? Ataukah dia takut meloncati bayang-bayang seorang one dimensional man?
Berkat Tuhan beserta kita!
Catatan: Tulisan ini merupakan surat P. Raymond Laia kepada peserta Study Tour "2000 Tahun Kekristenan Selayang Pandang", yang diadakan di Köln, Jerman, pada tanggal 15 Mei 1999. Study tour ini diadakan dalam rangka menyambut tahun milenium 2000.