Konflik Iman dan Ilmu: Warisan Sia-Sia Fundamentalisme Ilmiah?

Oleh: Raymond Laia, Münster, Germany


Refleksi iman sudah sejak awal (Bapa-Bapa Gereja). Bahasa yang dipakai: bahasa "ilmiah" filsafat Yunani dan Romawi saat itu. Ilmu lebih dimengerti refleksi filosofis. Iman kristiani bukan sekedar ritus penyedap mata dan hati, melainkan ungkapan hubungan dengan Allah dan dunia ciptaan-Nya. Rumusan: Aku percaya akan Allah yang mahakuasa, pencipta langit dan bumi! Jadi tidak ada banyak Allah "menurut kepercayaan masing-masing."

Pada abad-abad selanjutnya: refleksi berlangsung. Ilmu mulai dimengerti sebagai refleksi rasional otonom. Masa jaya: abad pertengahan, diawali oleh Albertus Magnus, disempurnakan oleh Thomas Aquino. Satu-satunya era dalam sejarah, di mana ilmu dan iman dianggap sebagai satuan, yang saling melengkapi.

Dampak dari pembauran antara interese iman dan interese kekuasaan politis: Konflik yang awalnya berwarna politis (rakyat--penguasa, awam--hirarki, ilmuan--rohaniwan, lihat tabel sejarah!) berkembang menjadi konflik antara iman dan ilmu. Fenomen utama: revolusi Perancis. Gerakan ilmu ensiklopedia di Perancis, refleksi otonom, tanpa iman dan Allah. Aufklärung di Jerman: rasio dan iman dipertentangkan. Pribadi manusia terbelah dua: kerinduan religius dan keinginan melepaskan diri dari hal-hal berbau religius.

Dampaknya: konflik menajam. Rasa curiga mendalam dan bahkan permusuhan antara para ilmuan dan hirarki menjadi luka tak tersembuhkan. Semua yang berbau religius dianggap irrasional, dan sebaliknya. Filsafat dan ilmu menempuh jalannya sendiri tanpa iman dan Allah (terutama protestan: Kant, Hegel, dst.).

Aufklärung berkembang menjadi Religionskritik. Para ilmuan berusaha "membuktikan", bahwa agama merupakan tipuan belaka, fosil dunia berpikir pra-ilmiah, proyeksi psikologis manusiawi. Fenomena menarik: mayoritas para filsuf dan teolog modern ikut saja berbagai hipotese-hipotese semacam itu. Fenome post-modern: kendati demikian agama tidak hilang, malah semakin intensif. Ikatan terhadap institusi besar (Gereja-Gereja) memang berkurang, tetapi kerinduan religius tetap menghantui manusia seperti sejak dahulu kala. Tak ada satupun hipotese dari religionskritik yang bisa menerangkan fenomena religius secara rasional! Agama telah ada, bukan hanya dewasa ini, melainkan sepanjang sejarah, sejak manusia ada di bumi. Dan fenomen religius ditemukan pada setiap suku bangsa. Bagaimana menerangkan bahwa mereka itu semua mengalami tipuan psikis? Lagi pula para tokoh-tokoh religius bukanlah orang-orang irrasional. Banyak dari mereka itu filsuf dan teolog jenius. Jadi siapa sebenarnya yang irrasional? Mana lebih rasional: satu kenyataan religius yang bukan hanya hipotese atau suatu hipotese yang tidak bisa diukur dengan kenyataan?

Refleksi post-modern: Konflik iman-ilmu merupakan warisan yang berbau konflik historis-politis. Justru dari mulut para ilmuan eksata muncul istilah seperti "fundamentalisme ilmiah" (R. Sheldrake, Biokemiker dari Cambridge). Alasannya: ilmu tidak boleh menutup diri terhadap fenomen yang belum bisa dijelaskan seperti mis. fenomen religius, karena prinsip dasar ilmu justru mencari keterangan rasional atas kenyataan yang belum bisa dijelaskan secara rasional. Dalam konteks ini misalnya tidak rasional menganggap dunia ada begitu saja, bukan ciptaan Allah. Justru ilmu eksakta hidup dari natural law sebab-akibat! Tema-tema aktual: apa itu jiwa, kesadaran, waktu, awal dan akhir alam semesta, asal dan tujuan manusia, dst. Menarik: justru yang mengalami demam tinggi terhadap tema-tema semacam itu bukanlah terutama para teolog, melainkan para Natuwissenschaftler! Apakah zaman post-modern sudah tiba? Sejarahlah yang akan membuktikannya! «««


1