Welcome to Nevermaya.... The most Poetic site in Indonesia  
 

Nevermaya

Enigma

Escapist

Etalase

 

 

Teater

Hacking

Virus

Puisi

 

Stagnansi Teater Jogja

:stereotipe dan orientasi kompetensi

 

Oleh: Arif Yulian Nur

 

D

i Yogyakarta, hampir semua sekolah menengah atas memiliki komunitas kesenian. Terutama musik dan teater. Ada yang secara eksplisit menyebutkan teater sebagai jati dirinya, atau hanya semacam komunitas seni yang memasukkan unsur unsur teatrikal dalam kegiatannya. Pementasan demi pementasan lahir diantara pandangan skeptis mengenai teater oleh pihak pihak tertentu yang masih menganggap teater sebagai ajang melatih pintar akting, tidak memiliki masa depan, dan lain sebagainya.

Pun di Yogyakarta, kota yang dikenal sebagai kota pendidikan, seni dan budaya, perkembangan teater terasa kurang menggairahkan dari tahun ke tahun. Hal ini terutama dapat dirasakan di komunitas teater di sekolahan. Seiring dengan modernisasi, perkembangan dunia teater jadi terkesan lambat dan bahkan stagnan. Secara umum hampir seluruh kelompok teater di jogja hanya berpegang pada idealisme. Kelompok kelompok berkembang hanya bermodalkan ide, kultur, hobi,d an lain sebagainya. Berbeda dengan teater modern yang berkembang menjadi sebuah industri di dunia barat tanpa kehilangan jati dirinya. Ada semacam anggapan bahwa menjadikan teater sebagai industri akan mengotori essensial teater itu sendiri.

Hal yang lebih mencolok, terlihat pada perkembangan teater di sekolah. Kegiatan teater di sekolah dewasa ini hanya berkutat mengenai perekrutan anggota, pelantikan, pergantian pengurus, pentas tahunan (jika ada), dan pentas tutup tahun pada acara perpisahan sekolah. Minimnya produksi ini disebabkan stigma yang berkembang di dunia sekolahan adalah edukasi yang mengarah pada kompetensi untuk dapat berteater khususnya seni peran. Seni peran mungkin sangat krusial dan menjadi menu utama dalam setiap pagelaran teater sehingga dalam praktek pengajarannya, seni dekorasi panggung, musik dan faktor pendukung lain kurang diperhatikan.

Yang perlu digaris bawahi dalam stagnansi teater sekolah adalah mengenai kompetensi yang dijadikan tujuan utama dari ekstrakurikuler teater dan mengesampingkan produktivitas. Seolah olah dengan dicapainya kompetensi, tujuan telah tercapai. Sehingga, menunjukkan eksistensi teater, yang diwujudkan dalam produksi, baik pementasan, penulisan naskah, antologi dan lain sebagainya, menjadi terlupakan. Padahal, mengukur perkembangan suatu kegiatan seringkali diukur dari eksistensinya. Berapa kali pementasan dalam satu tahun, agenda apa saja yang diselenggarakan oleh perkumpulan teater dan lain lain.

Stereotipe yang melekat pada para pelaku teater juga bisa menjadi penghambat perkembangan itu sendiri. Anak teater yang dinilai slengean, urakan, tak tahu malu oleh sebagian orang sebenarnya adalah, kreatif, percaya diri, dan cerdas bagi sebagian orang yang lain. Sebagian orang tua yang berpandangan sempit sering melihat kegiatan teater sebagai hal yang kurang memiliki prospek di masa depan bahkan dapat juga berdampak negatif. Dalam pandangan mereka, anak-anak dididik agar bisa pintar berpura pura dan menutup mata pada manfaat yang mereka dapat.

Inti dari tulisan ini adalah mencoba mengubah pandangan organisasi yang meletakkan kemampuan berteater diatas segalanya sehingga melupakan faktor faktor lain yang sebenarnya dapat menunjang kelangsungan hidup teater itu sendiri.


 
 
 
 
 
 
©2004 VirKill
 
1