|
|||||||||||
|
|||||||||||
|
Perkembangan
ilmu pengetahuan yang pesat, tren globalisasi, usaha yan gmakin giat buat
semakin "memanusiakan" manusia, bahkan perjuangan emansipasi dan kegiatan
menuju pencapaian kesetaraan gender, ternyata tidak juga membawa kabar
menggembirakan buat perempuan, khususnya dalam hal seks. Masih banyak mitos
tentang seks yang dipercaya bulat-bulat dan melatarbelakangi aktivitas
seks kaum perempuan. Akibatnya, kaum perempuan cenderung dirugikan, karena
kebayakan mitos memang direkayasa hanya untuk membuat menang kaum lelaki.
Buku-buku tentang sex improvement pun cenderung berpihak pada mitos ini.
Misalnya, lebih banyak buku yang berisi saran, cara, dan kiat tentang bagaimana
perempuan harus berubah agar mendapat seks yang lebih baik. Lebih banyak
buku yang menyarankan apa yang sebaiknya dilakukan perempuan agar hubungan
intim sukses dan menyenangkan. Isi buku yang demikian dilatarbelakangi
pandangan bahwa selama ini perempuanlah yang bersalah. "Ketidakberesan"
pada perempuan lah yang membuat hubungan intim tidak berhasil memuaskan
mereka.
Perempuan berhak dan layak menikmati "daya erotis" di tubuh mereka sebagaimana yang dinikmati lelaki. Tapi masih amat jarang perempuan yang mendapat hak mereka ini. Pertanyaan seperti: "Benarkah saya menikmati ini?" atau "Apa yang sebenarnya saya inginkan?" Seringkali baru muncul setelah bertahun-tahun kehidupan suami-istri dijalani. Selama ini, yang berlangsung hanyalah "pemenuhan kewajiban" seperti ditiupkan oleh mitos yang menyebar hampir di setiap negara dan suku bangsa: Perempuan wajib melayani lelaki, suaminya. Terbungkus pengalman bahagia, karena punya suami setia, sayang pada anak-anak, termasuk tipe lelaki SIAGA (siap, antar, jaga), dan sayang pada mertua, membuat perempuan menganggap ketidakpuasan hubngan intim tak layak digugat, dibanding kebahagiaan yang diterima. Mereka baru sadar ketika membaca buku atau artikel yang membuka wawasan mereka tentang bagaimana hubungan intim ideal seharusnya terjadi. Atau yang lebih memprihatinkan, saat elemen kebahagiaan itu, satu persatu lenyap. Suami ternyata pacaran lagi, suami mulai tak memperhatikan mertuanya dan sebagainya. Kesadaran itu juga tiba-tiba muncul saat perempuan mulai merasa dirinya "setara", karena punya penghasilan sendiri dan mendapat pengakuan secara sosial. Mitos seks yang melatarbelakangi tindakan atau pandangan tentang hubungan suami istri tidak mudah diperangi. Ini amat erat kaitannya dnegan latar belakang sosial budaya, tempat si perempuan tinggal: tumbuh dan berkembang. Perempuan yang tinggal di lingkungan budaya oriental, cenderung dipandang sebagai mahluk kelas dua. Hal yang lebih sulit dialami oleh para perempuan Afrika. Mereka dianggap semata sebagai medium reproduksi, pembawa petaka kalau diikutkansertakan dalam upacara-upacara tertentu, dan punya anggota tubuh yang "dimusuhi". Misalnya, keharusan sirkumsisi atau penyunatan klitoris. Perempuan yang klitorisnya tak disunat dianggap bakal jadi perempuan jalang. Memerangi mitos seks berarti melakukan kritik sosial dan membangun gerakan moral yang memakan waktu amat lama. Sama halnya dengan membalik pertanyaan: "Perubahan apa yang harus dilakukan agar menikmati hubungan yang memuaskan?" menjadi "Bagaimana merubah hubungan seks sehingga perempuan menikmati hubungan yang memuaskan?" Sama sekali bukan hal yang mudah dan belum tentu bisa diterima semua pihak. "Pihak" yang dimaksud di sini adalah tipikal lelaki yang cenderung menikmati superiotas kelelakian mereka, dan kaum perempuan yang juga "menikmati" ketertindasan mereka. Pendeknya, mereka yang menganggap tuntutan kesetaraan dalam pencapaian kenikmatan seksual adalah hal yang berlebihan dan mengada-ada. Cara yang selama ini dilakukan dan diyakini relatif efektif adalah menanamkan pengetahuan yang benar tentang seks. Dengan pemahaman tersebut, mitos perlahan tergusur. Walau kelihatannya sederhana, usaha ini tidaklah mudah. Parameter "pemahaman yang benar" tidak obyektif untuk semua kultur. Atau paling tidak, tidak dengan mudah diterima. Misalnya, sejak lebih dari dua puluh abad peradaban di dunia ini, yang umum dipahami tentang seks adalah intercourse atau hubungan badan. Maka segala perbincangan tentang seks menjadi tabu, pantang dibicarakan. Padahal, banyak kegiatan selain hubungan badan yang mampu membuat suami istri mengalami kepuasan secara seksual.
Saatnya sekarang bagi perempuan buat mempropagandakan pemahaman seks yang
benar. Hal ini bukan saja semakin membuka kesempatan buat merubah pemahaman
dan cara memandang seks, melainkan membantu mengurangi sikap pesimistis
perempuan terhadap segala hal yang berhubungan dengan inferioritas mereka
di hadapan lelaki. Lenyapnya mitos seks, dipahaminya seks dngan benar,
diyakini mampu mengurangi kekerasan seksual. Yang lebih penting lagi, seks
ideal seperti ini sama sekali tidak mengurangi kenyamanan lelaki. Bahkan
lelaki mendapat feed back yang bakal mengantar mereka pada kenikmatan yang
sebenarnya. - Sam (ProTV)
-------------------------------------------------------------------------------- :: 7 Mitos Seks 1. Lelaki lebih
mudah mencapai klimaks daripada perempuan.
2. Perempuan
lebih suka dipeluk ketimbang melakukan hubungan intim.
3. Perempuan
dikatakan siap melakukan hubungan intim kalau vaginanya basah.
4. G-Spot adalah
organ seks opsional bagi perempuan. Bisa ada, bisa tidak.
5. Mengkonsumsi
"sari rapat" atau menggunakan "tongkat madura" dapat memperkecil liang
vagina.
6. Orgasme terbaik
adalah lewat stimulis klitoris
7. Foreplay
dan afterplay adalah kegiatan tambahan "manasuka"
|
||||||||||
|