Mitos Seks

 
 
Cantiq's 
PRO TV  
Malam Pertama
TITIK G-airah
Gairah Kenangan
Pandangan, Bisikan, Rabaan, Kebakaran
Mitos Seks
Bila Gairah Anda Berbeda
Kenikmatan Asmara
Tehnik Berciuman 
AfterPlay
 Perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat, tren globalisasi, usaha yan gmakin giat buat semakin "memanusiakan" manusia, bahkan perjuangan emansipasi dan kegiatan menuju pencapaian kesetaraan gender, ternyata tidak juga membawa kabar menggembirakan buat perempuan, khususnya dalam hal seks. Masih banyak mitos tentang seks yang dipercaya bulat-bulat dan melatarbelakangi aktivitas seks kaum perempuan. Akibatnya, kaum perempuan cenderung dirugikan, karena kebayakan mitos memang direkayasa hanya untuk membuat menang kaum lelaki. Buku-buku tentang sex improvement pun cenderung berpihak pada mitos ini. Misalnya, lebih banyak buku yang berisi saran, cara, dan kiat tentang bagaimana perempuan harus berubah agar mendapat seks yang lebih baik. Lebih banyak buku yang menyarankan apa yang sebaiknya dilakukan perempuan agar hubungan intim sukses dan menyenangkan. Isi buku yang demikian dilatarbelakangi pandangan bahwa selama ini perempuanlah yang bersalah. "Ketidakberesan" pada perempuan lah yang membuat hubungan intim tidak berhasil memuaskan mereka. 

             Perempuan berhak dan layak menikmati "daya erotis" di tubuh mereka sebagaimana yang dinikmati lelaki. Tapi masih amat jarang perempuan yang mendapat hak mereka ini. Pertanyaan seperti: "Benarkah saya menikmati ini?" atau "Apa yang sebenarnya saya inginkan?" Seringkali baru muncul setelah bertahun-tahun kehidupan suami-istri dijalani. Selama ini, yang berlangsung hanyalah "pemenuhan kewajiban" seperti ditiupkan oleh mitos yang menyebar hampir di setiap negara dan suku bangsa: Perempuan wajib melayani lelaki, suaminya. Terbungkus pengalman bahagia, karena punya suami setia, sayang pada anak-anak, termasuk tipe lelaki SIAGA (siap, antar, jaga), dan sayang pada mertua, membuat perempuan  menganggap ketidakpuasan hubngan intim tak layak digugat, dibanding kebahagiaan yang diterima. Mereka baru sadar ketika membaca buku atau artikel yang membuka wawasan  mereka tentang bagaimana hubungan intim  ideal seharusnya terjadi. Atau yang lebih memprihatinkan, saat elemen kebahagiaan itu, satu persatu lenyap. Suami ternyata pacaran lagi, suami mulai tak memperhatikan mertuanya dan sebagainya. Kesadaran itu juga tiba-tiba muncul saat perempuan mulai merasa dirinya "setara", karena punya penghasilan sendiri dan mendapat pengakuan secara sosial. 

             Mitos seks yang melatarbelakangi tindakan atau pandangan tentang hubungan suami istri tidak mudah diperangi. Ini amat erat kaitannya dnegan latar belakang sosial budaya, tempat si perempuan tinggal: tumbuh dan berkembang. Perempuan yang tinggal di lingkungan budaya oriental, cenderung dipandang sebagai mahluk kelas dua. Hal yang lebih sulit dialami oleh para perempuan Afrika. Mereka dianggap semata sebagai medium reproduksi, pembawa petaka kalau diikutkansertakan dalam upacara-upacara tertentu, dan punya anggota tubuh yang "dimusuhi". Misalnya, keharusan sirkumsisi atau penyunatan klitoris. Perempuan yang klitorisnya tak disunat dianggap bakal jadi perempuan jalang. 

             Memerangi mitos seks berarti melakukan kritik sosial dan membangun gerakan moral yang memakan waktu amat lama. Sama halnya dengan membalik pertanyaan: "Perubahan apa yang harus dilakukan agar menikmati hubungan yang memuaskan?" menjadi "Bagaimana merubah hubungan seks sehingga perempuan menikmati hubungan yang memuaskan?" Sama sekali bukan hal yang mudah dan belum tentu bisa diterima semua pihak. "Pihak" yang dimaksud di sini adalah tipikal lelaki yang cenderung menikmati superiotas kelelakian mereka, dan kaum perempuan yang juga "menikmati" ketertindasan mereka. Pendeknya, mereka yang menganggap tuntutan kesetaraan dalam pencapaian kenikmatan seksual adalah hal yang berlebihan dan mengada-ada. 

             Cara yang selama ini dilakukan dan diyakini relatif efektif adalah menanamkan  pengetahuan yang benar tentang seks. Dengan pemahaman tersebut, mitos perlahan tergusur. Walau kelihatannya sederhana, usaha ini tidaklah mudah. Parameter "pemahaman yang benar" tidak obyektif untuk semua kultur. Atau paling tidak, tidak dengan mudah diterima. Misalnya, sejak lebih dari dua puluh abad peradaban di dunia ini, yang umum dipahami tentang seks adalah intercourse atau hubungan badan. Maka segala perbincangan tentang seks menjadi tabu, pantang dibicarakan. Padahal, banyak kegiatan selain hubungan badan yang mampu membuat suami istri mengalami kepuasan secara seksual. 

        Saatnya sekarang bagi perempuan buat mempropagandakan pemahaman seks yang benar. Hal ini bukan saja semakin membuka kesempatan buat merubah pemahaman dan cara memandang seks, melainkan membantu mengurangi sikap pesimistis perempuan terhadap segala hal yang berhubungan dengan inferioritas mereka di hadapan lelaki. Lenyapnya mitos seks, dipahaminya seks dngan benar, diyakini mampu mengurangi kekerasan seksual. Yang lebih penting lagi, seks ideal seperti ini sama sekali tidak mengurangi kenyamanan lelaki. Bahkan lelaki mendapat feed back yang bakal mengantar mereka pada kenikmatan yang sebenarnya. - Sam (ProTV) 
 
 

--------------------------------------------------------------------------------

:: 7 Mitos Seks 

1. Lelaki lebih mudah mencapai klimaks daripada perempuan. 
 Sebenarnya, lebih banyak perempuan yang mudah mencapai klimaks karena perlakuan seks yang benar, atau karena melakukan perangsangan sendiri (masturbasi). Selain itu, perempuan mampu berorgasme berkali-kali (multiple orgasm), satu "kelebihan" yang tak dimiliki lelaki. 

2. Perempuan lebih suka dipeluk ketimbang melakukan hubungan intim. 
 Keduanya bukan hal sepadan yang bisa dibandingkan. Reaksi fisik dan sensualitas hubungan intim dan pelukan jelas berbeda. Perempuan yang beranggapan "dipeluk lebih menyenangkan" bisa jadi merka yang amat jarang mencapai orgasme atau mereka yang mengalami kelainan fisiologis seperti vaginismus atau infeksi pada organ genital. Adanya "kesenjangan orgasme" atau orgasm gap yang tak dikomunikasikan secara terbuka mengakibatkan sebagian perempuan berpandangan" dipeluk lebih menyenangkan. 

3. Perempuan dikatakan siap melakukan hubungan intim kalau vaginanya basah. 
 Keadaan basah pada vagina memang salah satu indikasi adanya rangsangan seksual. Tapi lebih sering berarti hanya basah saja, memang begitu adanya. Ini proses alami pada periode kesuburan tertentu atau kondisi preventif untuk memelihara bakteri yang menguntungkan. Perempuan bisa saja terangsang tapi tidak basah, yakni saat mengkonsumsi obat-obat tertentu atau pada saat menopause. 

4. G-Spot adalah organ seks opsional bagi perempuan. Bisa ada, bisa tidak. 
  Tidak satupun anggota tubuh kita opsional. G-Spot ada pada setiap wanita. Buku-buku pengembangan kemampuan seksual terkini banyak membahas organ ini, letak tepatnya dan fungsi dalam memperkaya stimulasi. 

5. Mengkonsumsi "sari rapat" atau menggunakan "tongkat madura" dapat memperkecil liang vagina. 
 Kenyataannya, pemakaian jamu atau alat bantu lain tidak berpengaruh pada kemampuan kontraksi otot. Alat atau ramuan ini hanya akan membuat kering dan membuat hubungan intim menjadi seret. 

6. Orgasme terbaik adalah lewat stimulis klitoris 
 Klitoris memang "kunci" bagi pencapaian orgasme. Tapi kenapa hanya berhenti di situ? Sensasi yang paling intens adalah penetrasi yang mengeksplorasi seluruh sisi yang bisa disentuh dan dilalui. 

7. Foreplay dan afterplay adalah kegiatan tambahan "manasuka" 
 Awal dan akhir ini dipercaya menentukan warna dan "perolehan" hubungan intim. Kesan yang mendalam, penghargaan, rasa percaya diri ditentukan dari cara mengelola foreplay dan afterplay. Kalau demikian faktanya, bagaimana bisa disebut "manasuka?" 
 
 
 
 

  
  
 
 

 
  
  
 

 
 
Nulis Email Ke Webmaster
Kembali Ke halaman Utama
1