Aku dilahirkan di
Jakarta, hari Jum'at Legi, 3 Januari 19__. Kelahiranku
ditandai dengan suasana yang tidak nyaman : kemarau panjang, rumah yang
berdinding papan, panas yang menyengat, dan tanpa listrik. Proses kelahiranku hanya diterangi oleh
lampu minyak tanah. Di tengah suasana yang tidak menguntungkan
itulah, Ibuku melahirkanku ...
Rupanya, suasana saat
kelahiranku menjadi semacam pertanda untuk perjalanan hidupku kemudian.
Sebelum aku lahir, Ayahku memang sudah tak bekerja lagi
sebagai Kepala Ekspedisi, di sebuah perusahaan bir yang
ternama.
Aku dan keluargaku
mendapat cobaan yang tidak kecil: Ayahku sempat mengalami
tekanan yang luar biasa karena fitnah yang diciptakan seorang
sahabatnya. Tapi rasa tanggung jawab dan keberaniannya melawan
nasib, sungguh membuat kami sangat bangga padanya. Ayahku
adalah orang yang jujur. Pengalaman hidup yang pahit, membuat
Ayah selalu mengingatkan kami, agar jangan pernah menjadi
seorang pengkhianat pada siapa pun. Termasuk kepada diri
sendiri. Dan tokoh yang kami kagumi itu telah pergi untuk
selama-lamanya pada 6 Pebruari 1985. Ada demikian banyak
kepedihan saat aku dipaksa menerima kenyataan itu. Ada
penyesalan. Ada tangis dalam dada yang basah ...
Sejak Ayah berpulang
kepangkuanNya, Ibuku tak pernah memiliki keinginan untuk
menikah lagi. Itulah sebuah kesetiaan yang tak ternilai ...
Itulah cinta seorang isteri kepada suaminya ...
Dan bertahun-tahun kemudian
Ibulah yang menjadi nahkoda kami. Hutang kami padanya memang
tak akan pernah terhitung. Tak ada yang dapat kami berikan
padanya selain berbakti. Saat aku menulis ini, Ibuku sedang
menikmati masa-masa tuanya. Aku terkadang suka menitikkan
airmata bila menatap gurat-gurat ketuaan diwajah Ibuku saat ia
terlelap. Ada sakit disini. Karena seringkali aku kehabisan
akal untuk memberikan kebahagiaan yang berlimpah kepadanya.
Ibu ... maafkan aku ...
|