Seputar Mandi Wajib
Penyusun : Abu Salma al-Atsary
Definisi :
al-Ghaslu الغسل artinya adalah
تعميم
البدن بالماء membasahi seluruh
tubuh dengan air
Dalilnya :
1)
Firman
Allah Ta’ala : ( وإن
كنتم جنباً
فاطهروا)“Jika kamu dalam keadaan junub maka bersucilah”
(al-Maidah : 6)
2)
Firman
Allah Ta’ala : ويسألونك
عن المحيض قل
هو أذى
فاعتزلوا
النساء في
المحيض ولا
تقربوهن حتى
يطهرن ”Mereka bertanya kepadamu tentang
darah haidh, katakan bahwa darah haidh itu kotor, maka jauhilah wanita-wanita
yang sedang haidh janganlah kau dekati mereka hingga mereka suci.” (al-Baqoroh
: 222)
Penyebab
Wajibnya Mandi :
1)
Keluarnya
mani baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tertidur.
2)
Jima’
(bersenggama) walaupun tidak keluar mani.
3)
Seorang
kafir yang baru masuk islam.
4)
Berhentinya
haidh dan nifas.
Dalilnya
:
1)
Wajib
mandi jika keluar mani baik dalam keadaan terjaga maupun tidur. Berdasarkan
hadits Ummu Salamah bahwasanya Ummu Sulaim berkata : ”Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Allah tidak malu terhadap kebenaran, apakah wajib bagi wanita mandi
jika mereka bermimpi?” Rasulullah menjawab : نعم
إذا رأت الماء ”Iya
jika dia melihat adanya air” (Muttafaq ’alaihi)
2)
Jima’
walaupun tidak sampai keluar mani maka wajib mandi berdasarkan hadits Abu
Hurairoh رضي الله
عنه berkata : Nabi صلى الله
عليه وسلم bersabda : إذا
قعد بين وإن
لم ينزل شعبيها
الأربع ثم
جهدها فقد وجب
الغسل ”Jika seseorang duduk di antara
cabang yang empat dan ia bersungguh-sungguh di atasnya maka wajib baginya mandi
walaupun tidak sampai keluar” muttafaq ’alaihi dengan tambahan lafazh وإن لم
ينزل dari Muslim.
3)
Seorang
Kafir baru masuk islam wajib mandi berdasarkan riwayat Qais bin ’Ashim
bahwasanya beliau masuk islam dan nabi صلى
الله عليه
وسلم memerintahkannya untuk mandi dengan
air dan bidara. (Shahih diriwayatkan Nasa’i, Turmudzi dan Abu Dawud)
4)
Berhenti
haidh dan nifas wajib mandi berdasarkan hadits Aisyah, bahwasanya nabi صلى الله
عليه وسلم berkata kepada Fathimah binti Abi
Hubaisy : ”Jika datang haidh maka tinggalkan sholat dan jika telah lewat maka
mandilah dan sholatlah” (Muttafaq ’alaihi). Dan Nifas hukumnya sama dengan
haidh menurut ijma’
Rukunnya
:
1)
Niat.
2)
Membasahi
seluruh badan dengan air.
Kaifiyat (cara)nya :
1)
Membasuh
kedua telapak tangan sampai pergelangan tangan tiga kali.
2)
Mencuci
kemaluan dan sekitarnya.
3)
Berwudlu’
secara sempurna sebagaimana wudlu’ akan sholat dan mengakhirkan membasuh
kakinya hingga selesai mandi.
4)
Menyiramkan
air ke kepala tiga kali sambil menyela-nyelai rambut agar air mengenai ke kulit
kepala.
5)
Menyiramkan
air ke seluruh tubuh yang dimulai dari bagian kanan kemudian bagian kiri dengan
cara dipijat/ditekan sampai sela-sela jari jemari dan kedua lubang telinga.
6)
Membasuh
kedua kaki.
Dalilnya :
ما جاء عن
ائشة رضي الله
عنها أن النبي
صلى الله عليه
وسلم كان إذا
اغتسل من
الجنابة بدأ
فيغسل يديه ثم
يفرغ بيمينه
على شماله
فيغسل فرجه ثم
يتوضأ وضوءه
للصلاة ثم يأخذ
الماء ويخل
أصابعه في
أصول الشعر
حتى إذا أنه
(استبرأ حقن
على رأسه ثلاث
حثيات ثم أفاض
على سائر
جسده) رواه
البخاري
ومسلم وفي
رواية بدأ بشق
رأسه الأيمن
ثم الأيسر.
وكذلك حديث
ميمونة في
البخاري
Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah bahwasanya Nabi صلى الله
عليه وسلم jika mandi janabah beliau memulai dengan
membasuh kedua tangannya yang diawali dengan tangan kanannya kemudian tangan
kirinya, kemudian beliau membasuh kemaluannya dan berwudlu’ sebagaimana
wudlu’nya akan sholat. Kemudian beliau mengambil air sembari memasukkan
jari-jemarinya (menyelai-nyelai) kulit kepalanya sampai beliau memandang bahwa
kulit kepalanya telah basah, lantas beliau mengguyur kepalanya dengan tiga
gayung air, setelah itu beliau menyiram seluruh tubuhnya. Diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim, di dalam riwayat lainnya beliau memulai dengan
menyelai-nyelai kepala bagian kanan kemudian kirinya. Demikian hadits Maimunah
yang diriwayatkan Bukhari.
Masalah 1 :
Tentang
kesepakatan ulama di dalam hal-hal yang mewajibkan mandi janabat.
Para ulama bersepakat bahwa mani yang keluar dengan
syahwat maka wajib mandi baik laki-laki maupun wanita, baik ketika terjaga
maupun tidur. Demikian pula wajib bagi wanita yang selesai dari haidh dan nifas
untuk mandi.
Dalilnya :
Firman Allah Ta’ala : فإذا
تطهرن فأتوهن ”Jika
mereka telah suci maka datangilah mereka”
Hadits Fathimah binti Abi Hubaisy : دعي
الصلاة قدر
الأيام التي
كنت تحيضين
فيها ثم
اغتسلي وصلي “Aku
meninggalkan sholat beberapa hari di kala aku sedang haidh kemudian aku mandi
dan aku sholat (di saat telah berhenti dari haidh)” Muttafaq ’alaihi.
Masalah 2 :
Mani yang keluar bukan karena syahwat
Para ulama berbeda pendapat tentang mani yang keluar bukan
karena syahwat, seperti karena sakit atau karena dingin, menjadi dua pendapat.
Pendapat pertama : Tidak wajib mandi sebagaimana pendapatnya Imam Malik
dan Abu Hanifah
Pendapat kedua : Wajib mandi sebagaimana pendapatnya Imam Syafi’i.
Dalil Pendapat Pertama :
1)
Bahwasanya
Nabi صلى الله
عليه وسلم mensifati mani yang wajib mandi
adalah yang berwarna putih kental sebagaimana di dalam hadits Ummu Sulaim yang
diriwayatkan Muslim bahwasanya beliau bertanya kepada Nabiullah صلى الله
عليه وسلم tentang seorang wanita yang melihat
di dalam mimpinya sebagaimana apa yang dilihat oleh seorang lelaki. Rasulullah صلى الله
عليه وسلم menjawab : إذا
رأت ذلك
المرأة
فلتغتسل ”Jika wanita melihatnya (mani, pent.) maka wajib atasnya mandi”. Syahid dari hadits di atas adalah bahwasanya mani keluar dengan
syahwat.
2)
Hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud secara marfu’ : إذا
رأيت فضخ
الماء
فاغتسلي ”Jika seorang wanita melihat air yang
memancar maka hendaknya mandi”. Dan الفضخ keluarnya
dengan kuat.
3)
Hadits
nabi صلى الله
عليه وسلم yang berbunyi : ”Jika air keluar
dengan memancar maka wajib mandi janabat dan jika tidak memancar tidak wajib
mandi.” (Hasan Shahih di dalam Irwa’ul
Ghalil). Imam Syaukani berkata : ”Memancar adalah menyembur, dan tidaklah
akan demikian jika tidak disertai syahwat.” Oleh karena itu Syaikh Abdul Azhim
Badawi berkata : ”Di dalam hadits ini terdapat peringatan tentang mani yang keluar
karena bukan syahwat baik dikarenakan sakit ataupun dingin maka tidak wajib
mandi.”
Dalil Pendapat Kedua :
1)
Hadits
Ummu Sulaim, beliau berkata : Apakah wajib bagi seorang wanita mandi jika dia
bermimpi? Maka nabi صلى
الله عليه
وسلم menjawab : نعم
إذا هي رأت
الماء ”Iya jika ia melihat adanya air” Muttafaq ’alaihi.
2)
Hadits
Abu Sa’id al-Khudri beliaui berkata : Rasulullah صلى
الله عليه
وسلم bersabda : الماء
من الماء ”air (untuk mandi) karena air
(mani)” Diriwayatkan oleh Muslim.
Yang Rajih (kuat)
adalah pendapat pertama, yaitu tidak wajib baginya mandi.
Bantahan terhadap hadits pertama adalah, sesungguhnya hadits tersebut menunjukkan mani
yang keluar di saat mimpi adalah dengan syahwat.
Bantahan terhadap hadits kedua adalah, sesungguhnya hadits tersebut mansukh karena Abu Hurairoh رضي الله
عنه berkata : Nabi صلى الله
عليه وسلم bersabda : إذا
قعد بين
شعبيها
الأربع ثم
جهدها فقد وجب
الغسل ”Jika seseorang duduk di antara
cabang yang empat dan ia bersungguh-sungguh di atasnya maka wajib baginya
mandi” Muttafaq ’alaihi. Dan dalam riwayat Muslim terdapat tambahan : وإن لم
ينزل ”Walaupun tidak sampai keluar
(mani)”.
Syahid dari hadits di atas adalah : Rasulullah صلى الله عليه
وسلم mewajibkan mandi walaupun tidak
sampai keluar (mani). Wallahu a’lam.
Masalah 3 :
Bermimpi namun tidak melihat adanya air (tidak basah)
Barangsiapa bermimpi
namun dia tidak mendapatkan air (mani) maka tidak wajib mandi janabat, dan
barangsiapa tidak ingat telah bermimpi namun mendapatkan air maka wajib atasnya
mandi.
Dalilnya :
Dari Aisyah beliau
berkata, ”Rasulullah صلى
الله عليه
وسلم ditanya tentang seorang lelaki yang
mendapatkan basah namun ia tidak ingat telah bermimpi, maka beliau menjawab : dia
wajib mandi. Beliau juga ditanya tentang seorang lelaki yang mengingat dirinya
bermimpi namun dia tidak mendapatkan basah, maka beliau menjawab : dia tidak
wajib mandi.” (Shahih, diriwayatkan Abu Dawud dan Turmudzi).
Masalah 4 :
Perkataan
ulama tentang menggosok tubuh dengan air ketika mandi.
Para ulama berbeda pendapat tentangnya menjadi dua
pendapat :
Pendapat pertama : Menggosok hukumnya wajib menurut Malikiyah dan
al-Muzanni dari kalangan Syafi’iyah.
Pendapat kedua : Menggosok tidak wajib hukumnya, dan ini adalah pendapat
jumhur.
Dalil pendapat pertama :
Hadits Abu Hurairoh رضي
الله عنه yang berbunyi : تحت
كل شعرة جنابة
فبلوا الشعر
وأنقوا البشرة ”Setiap bagian rambut terdapat janabah maka basahilah
rambut dan ratakan seluruhnya” diriwayatkan oleh Turmudzi, Abu Dawud dan Ibnu
Majah.
Sisi pendalilannya : bahwasanya الأنقاء (meratakan) tidak tidak menghasilkan الإفاضة (membasahi) namun menghasilkan التدليك (memijat/menggosok).
Dalil Pendapat kedua :
1)
Hadits
Aisyah yang di dalamnya terdapat lafazh : ثم
أفاض الماء
على سائر جسده
”kemudian mengguyur seluruh tubuhnya dengan air”. Muttafaq ’alaihi.
2)
Hadits
Maimunah yang berbunyi : ثم
أفرغ على جسده
”Kemudian menuangkan ke atas tubuh”. Riwayat Muslim.
3)
Hadits
Ummu Salamah, beliau berkata : يا
رسول الله إني
أمرأة أشد ضفر
رأسي أفأنقضه
لغسل الجنابة
قال لا إنما
يكفيك ان تحثي
على رأسك ثلاث
حثيات ثم تفيضي
عليه الماء
فتطهرين ”Wahai Rasulullah sesungguhya aku
adalah wanita yang lebat rambutnya, apakah perlu aku menguraikan rambutku
ketika mandi janabat?” beliau menjawab, ”Tidak, sesungguhnya telah mencukupi
kau mengguyurnya dengan tiga cidukan air kemudian ratakan maka kau telah
bersuci.”
Sisi pendalilannya : Bahwasanya hadits Aisyah dan hadits Maimunah tidak
menyebutkan di dalamnya tentang التدليك (memijat/menggosok), sesungguhnya yang disebutkan di
dalamnya adalah إفراغ
الماء (menuangkan air) yang kalimatnya datang dalam bentuk الحصر pembatasan dengan kata (إنما).
Pembatasan ini menunjukkan bahwa التدليك (memijat) tidaklah wajib, dan jika seandainya wajib maka
niscaya akan diperintahkan untuk melakukannya.
Yang Rajih
adalah pendapat jumhur dikarenakan kuatnya dalilnya.
Masalah
5 :
Batasan
dikatakan jima’ (bersenggama)
Yang dimaksud denga jima’ adalah ’bertemunya dua khitan’ walaupun
tidak sampai keluar mani. Dan batasan khitan bagi pria adalah kepala
penis dan bagi wanita adalah daging yang tumbuh di bagian atas vagina
(clitoris). Jadi batasan jima’ adalah bila kepala farji pria telah hilang
(tidak tampak) masuk di dalam farji wanita. Jika hanya menggesek di permukaan farji
wanita maka belum masuk ke dalam batasan jima’.
Jika seseorang melakukan ístimta’ (bersenang-senang) dengan isteri tidak sampai memasukkan
farjinya hanya menggesek-gesekkan saja, namun keluar mani, maka wajib mandi
wajib dari sisi keluarnya mani dengan syahwat bukan dari sisi jima’.
Masalah
6 :
Wajibkah
bagi wanita yang panjang rambutnya menguraikan rambutnya?
Pendapat yang rajih adalah wajib bagi wanita yang mandi
karena haidh agar menguraikan rambutnya namun tidak wajib menguraikan rambutnya
bagi wanita yang mandi janabat.
Dalilnya :
Sifat mandi janabah adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Aisyah, Maimunah dan Ummu Salamah yang telah lewat penyebutannya.
Sifat mandi wajib karena haidh adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Aisyah, suatu ketika Asma’ bertanya kepada nabi صلى الله
عليه وسلم tentang mandi haidh, beliau menjawab : ”Ambillah air dan
bidara dan bersihkanlah (farjimu) dengan sebersih-bersihnya, kemudian siramlah
kepalamu dan gosoklah dengan kuat hingga mengenai seluruh bagian kepalamu, lalu
siramlah dengan air. Setelah itu ambillah kapas yang dicelup wewangian dan
sucikanlah dengannya.” Asma’ berkata : ”Bagaimana bersuci dengannya?” Nabi
menjawab : ”Maha suci Allah bersucilah dengannya!” Aisyah berkata seakan-akan
ia kawatir dengan akan tampaknya bekas darah.
Hadits ini merupakan dalil yang terang tentang perbedaan
mandi janabat dengan mandi haidh, dimana pada mandi haidh nabi memberikan porsi
tersendiri yang lebih menekankan pensuciannya dengan menggosok kepala dan
menguraikan rambut, sedangkan tidak demikian pada mandi janabat. Hadits Ummu
Salamah menunjukkan sifat mandi janabah yang tidak wajib menguraikan rambut. Secara
asal, menguraikan rambut adalah sebagai peyakin supaya kulit kepala bisa
terkena air namun hal ini dimaafkan pada saat mandi janabat karena intensitas
mandi janabat relatif berulang-ulang dan karena timbulnya kesukaran yang sangat
bagi wanita untuk menguraikan rambutnya setiap akan mandi janabat. Berbeda
dengan mandi haidh karena hanya dilakukan sekali sebulan. (Tahdzib Sunan Abu
Dawud oleh Ibnul Qoyyim (I/167/166) dengan sedikit perubahan).
Maraji’
:
1.
Al-Wajiz
fi Fiqhis Sunnah karya Syaikh Abdul Azhim Badawy, Kitaab ath-Thohaaroh, Bab
al-Ghaslu, hal. 44-46
2.
Marshd
as-Salafiy as-Sudaaniy, Bab al-Ghoslu, oleh Ustadz Husain
Jailani, http://www.marsd.net/
3.
Muhadharah Fiqh oleh al-Ustadz
Ahmad Sabiq, Lc. di Ma’had as-Sunnah
Surabaya
(4 Muharam 1426/13 September 2005)