KLARIFIKASI TUDUHAN DAN KEDUSTAAN ’MUDZABDZAB’ HIZBUT TAHRIR DI DALAM
TULISANNYA YANG SERAMPANGAN DAN SEMBRONO
Silsilah
Bantahan Ilmiah Kedua Terhadap Tuduhan Dusta Hizbut Tahrir
Oleh : Abu Salma at-Tirnati
Seorang yang berkedok dengan nama ’Mujaddid’ (baca : Mudzabdzab) di dalam
forum http://www.****pembebasan.or.id
(baca : gemapembid’ahan) menulis sebuah risalah bantahan terhadap salafiyin
yang penuh dengan kebodohan, kegelapan di atas kegelapan dan kedustaan. Di
dalam menulis bantahan tersebut, al-Mudzabdzab ini tidak lepas dari tulisan
Muhammad Lazuardi al-Jawi yang menukil dari tulisan Umar Bakri Muhammad
(HT/Al-Muhajirun London) dan Hasan Ali as-Saqqof (Seorang Jahmi dari Yordania).
Selain itu, tampaknya si Mudzabdzab ini juga banyak menukil dari website si
sufi bid'i Mas’ud Ahmad Khan (www.mas**.co.uk)
yang mengagung-agungkan si Hamim Nuh Keller ad-Dajjal dan Abdul Hakim Murad
al-Kadzdzab.
Di sini saya tidak akan membantah seluruhnya, namun hanya sebagiannya saja
yang berkenaan dengan pembahasan. Di sini saya akan berusaha menelanjangi dan
menyingkap kebodohan si Mudzabdzab ini dan Lazuardi al-Jawi al-Hizbi yang penuh
dengan pemalsuan, kedustaan dan pengkhianatan ilmiah. Para pembaca budiman akan
melihat bagaimana lihainya si mudzabdzab dan Lazuardi al-Jawi ini di dalam
berbuat dusta dan makar terhadap ahlus sunnah.
PEMBELAAN
KEDUA TERHADAP IMAM AL-MUHADDITS AL-ALBANI
Ternyata kebencian mereka terhadap Syaikh al-Muhaddits
al-Imam al-Albani rahimahullahu tidak hanya berhenti sampai pada nukilan
kegelapan as-Saqqof. Namun mereka juga menghimpun secara gegabah dan
serampangan kritikan para ulama lainnya terhadap Syaikh al-Albani rahimahullahu
tanpa recek dan tabayun. Mereka menghimpun celaan terhadap Syaikh al-Albani
dari ulama-ulama fanatikus madzhabi dan pembela kesesatan asy’ariyah, jahmiyah
dan sufiyah. Akan terbuka kedok mereka sebentar lagi –insya Allah Ta'ala-. Hal
ini juga menunjukkan bagaimana Hizbut Tahrir berserikat dan berkoalisi dengan
kesesatan mereka, dan para pembaca budiman akan mengetahui sebentar lagi dan
dapat menarik benang merah alasan kebencian mereka terhadap Syaikh al-Albani
dan ulama salafi lainnya.
Al-Mudzabdzab ini berkata : ”...Bahkan kemudian
bangkitlah para ulama dari berbagai belahan dunia islam yang menulis kitab
berjilid-jilid hanya untuk menunjukkan berbagai kesalahan dan penyimpangan
Albani, kita dapat lihat sebagai berikut..” Lalu dia menyebutkan beberapa kitab
dan penulisnya yang membantah Syaikh al-Albani.
Sebelum menyebutkan kitab-kitab tersebut beserta
penulisnya dan bantahannya, perlu saya sampaikan beberapa hal simpul-simpul
benang kusut agar para pembaca dapat menariknya sehingga menjadi lurus dan
tidak kusut lagi. Saya akan nukilkan dulu muntahan si mudzabdzab ini di dalam
artikelnya yang berjudul ”Pandangan Salaf Terhadap Daulah dan Siyasah” (bagian
II) point E, ia berkata setelah mencela Syaikh al-Albani dan menukil tulisan
gelap as-Saqqof dari Tanaqudlaat-nya
:
Setelah
kita menyimak berbagai contoh kesalahan dan penyimpangan yang dilakukan dengan
sengaja atau tidak oleh ‘Yang Terhormat Al-Muhaddis Syeikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani’ oleh ‘Al-Alamah Syeikh Muhammad Ibn Ali Hasan As-Saqqof’ dimana
dalam kitab-nya tersebut beliau (Rahimahullah) menunjukkan ± 1200 kesalahan dan
penyimpangan dari Syeikh Al-Albani dalam kitab-kitab yang beliau tulis seperti
contoh diatas. Maka kita bisa menarik kesimpulan bahwa bidang ini tidak dapat
digeluti oleh sembarang orang, apalagi yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai
seorang yang layak untuk menyadang gelar ‘Al-Muhaddis’ (Ahli Hadis) dan tidak
memperoleh pendidikan formal dalam bidang ilmu hadis dari
Universitas-universitas Islam yang terkemuka dan ‘Para Masyaik’h yang memang
ahli dalam bidang ini. (Silahkan lihat kitab Syeikh As-Saqqof, Kitab ‘Tanaqadat
Al-Albani A-Wadihat’ (Kontradiksi yang sangat jelas pada Al-Albani) ) !!!!!.
Maka
cukuplah perkataan - Syeikh Abdul Ghofar seorang ahli hadis yang bermadzab
Hanafi menukil pendapat Ibn Asy-Syihhah ditambah syarat dari Ibn Abidin Dalam
Hasyiyah-nya, yang dirangkum dalam bukunya ‘Daf’ Al-Auham An-Masalah Al-Qira’af
Khalf Al-Imam’, hal. 15 : ‘’Kita melihat pada masa kita, banyak orang
yang mengaku berilmu padahal dirinya tertipu. Ia merasa dirinya diatas awan
,padahal ia berada dilembah yang dalam. Boleh jadi ia telah mengkaji salah satu
kitab dari enam kitab hadis (kutub As-Sittah), dan ia menemukan satu hadis yang
bertentangan dengan madzab Abu Hanifah, lalu berkata buanglah madzab Abu Hanifah
ke dinding dan ambil hadis Rasul SAW. Padahal hadis ini telah mansukh atau
bertentangan dengan hadis yang sanadnya lebih kuat dan sebab lainnya sehingga
hilanglah kewajiban mengamalkannya. Dan dia tidak mengetahui. Bila pengamalan
hadis seperti ini diserahkan secara mutlak kepadanya maka ia akan tersesat
dalam banyak masalah dan tentunya akan menyesatkan banyak orang ‘’.
Sekarang saya akan mengajak para pembaca budiman untuk
mengobservasi dan menganalisa maksud dan tujuan si Mudzabdzab (dan simpatisan
HT lainnya) dengan menulis dan mencomot nukilan-nukilan di atas. Pertama, saya
akan menunjukkan beberapa nukilan dari para ulama fanatikus madzhabi, sehingga
simpul pertama akan dapat kita tarik.
Muhammad Ala`udiin al-Hashfaki al-Hanafi berkata,
”Apabila kami ditanya tentang madzhab kami dan madzhab yang menyelisihi kami,
maka kami wajib mengatakan bahwa : ’Madzhab kami benar walaupun mengandung
kemungkinan salah dan madzhab yang menyelisihi kami salah walaupun kemunginan
benar.”
Al-Hashfaki al-Hanafi juga menyusun sebuah syair pujian
terhadap Abu Hanifah sebagai berikut :
Laknat Rabb kami sebanyak
debu Bagi
orang yang menolak pendapat Abu Hanifah
Abu Hasan al-Kharqi al-Hanafi berkata : ”Setiap ayat yang
menyelisihi madzhab kami maka harus ditakwil atau dianggap mansukh, demikian
pula setiap hadits yang menyelisihi madzhab kami harus ditakwil atau dianggap
mansukh.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqolani di dalam Fathul Baari` (IV/361-367) menjelaskan
bahwa sebagian pengikut madzhab Hanafi mencela Abu Hurairoh berkenaan dengan
hadits al-Mushorroh karena
bertentangan dengan madzhab mereka. Bahkan mereka membuat hadits palsu tentang
keutamaan Abu Hanifah sebagaimana dipaparkan oleh Muhammad bin Hibban al-Busthi
(w. 354 H.) yang berkata : ”Ma’mun bin Ahmad as-Sulami meriwayatkan dari Ahmad
bin Abdullah bin Ma’dan al-Azadi dari Anas dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa Sallam, beliau bersabda : ”Akan ada di tengah ummatku seorang lelaki yang
disebut dengan Muhammad bin Idris yang lebih berbahaya dari umatku daripada
Iblis. Akan ada seorang lelaki di tengah umatku seorang lelaki yang bernama Abu
Hanifah, dia adalah pelita bagi ummatku.”
Ibnu Hibban berkomentar di dalam al-Majruhin (III/4546) : ”Ma’mun bin Ahmad as-Sulami adalah seorang
yang zhahirnya bermadzhab Karamiyah namun tidak diketahui secara pasti
bathinnya.”
Al-Hakim berkata di dalam ash-Shahih ilal Madkhol (III/45-46A) : ”Ma’mun adalah seorang
pendusta. Ia meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ dari ulama tsiqot kemudian ia
menyebutkan hadits ini.”
Dan seluruh ulama muhaddits bersepakat akan kepalsuan
hadits ini, namun orang-orang ajam (non Arab) menerima kebohongan-kebohongan
ini dan merekayasa jalur riwayatnya. Al-Allamah Abdurrahman al-Mu’allimi
al-Yamani berkata : ”Orang-orang ajam menerima kebohongan ini dan merekayasa
jalur riwayat untuknya. Kemudian para ulama Hanafiyah menerimanya dan
menjadikannya sebagai Hujah.”
Namun anehnya, diantara orang yang diklaim sebagai ahli
hadits yang menerima riwayat ini adalah Muhammad Zahid al-Kautsari al-Jahmi (w.
1371 H), seorang yang mengumpulkan segala bentuk kebid’ahan di dalam dirinya.
Telah lewat penjelasan tentangnya di bantahan pertama. Sebagai tambahan dan
perlu diketahui, bahwa al-Kautsari ini juga menuduh al-Imam Bukhari sebagai
Murji’ah (dalam kitabnya yang berjudul at-Ta'nib hal. 48), dia juga mencela habis-habisan hanya untuk membela
Abu Hanifah para ulama ummat seperti Sufyan ats-Tsauri, Abu Ishaq al-Fazari,
al-Humaidi, Ahmad bin Hanbal dan selainnya.
Sungguh al-Imam al-Humam Abu Hanifah rahimahullahu berlepas
diri darinya, beliau berkata : ”Ini adalah pendapat an-Nu’man bin Tsabit dari
dirinya sendiri. Pendapat ini lebih baik dari yang bisa aku tetapkan.
Barangsiapa yang datang dengan pendapat lebih baik, maka pendapatnya lebih
utama untuk dibenarkan.”
Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Za’far berkata : ”Tidak
halal bagi seorangpun berpendapat dengan pendapat kami sampai ia mengetahui
dari mana kami mengambil pendapat kami.”
Sungguh, Muhammad Zahid al-Kautsari ini menghimpun
kesesatan ahli bid’ah dan ahli ahwa’ dengan mendahulukan fanatik madzhabinya
ketimbang hadits-hadits nabi yang mulia. Syaikh al-Allamah Mu’allimi al-Yamani
telah membantah dirinya secara ilmiah di dalam kitab at-Tankil bima fi Ta'nibil Kautsari minal Abathil dan Thali’ah at-Tankil, demikian pula Syaikh
Muhammad Abdurrazaq Hamzah
dalam Risalah fir Raddi ’ala Kautsari dan
al-Muqobalah bainal Huda wadh Dhalal,
Muhaddits al-Ashr Muhammad Nashirudin al-Albani dalam Muqoddimah Syarh ath-Thahawiyah, Syaikh Zuhair asy-Syawisy dalam Hasyiah (catatan kaki)-nya terhadap Syarh Aqidah ath-Thahawiyah dan Syaikh
Ahmad bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari dalam Bayaanu
Talbiis al-Muftari Muhammad Zahid al-Kautsari.
Asy-Syaikh asy-Syamsu as-Salafi al-Afghoni menulis sebuah
artikel yang berjudul al-Kautsari wal
Kautsariyah yang dimuat di majalah al-Asholah (no
25-26/Dzulqo’dah/1415/th.III/hal.102-118) yang berisi aqidah sesat al-Kautsari
dan para pembebeknya yang beliau nukil dari kitab al-Kautsari sendiri, terutama
dari kitab Maqoolat al-Kautsari yang
masyhur. Berikut ini saya nukilkan sebagian isi artikel tersebut yang
menghimpun kesesatan dan kesyirikan ajaran al-Kautsari kepada ummat,
diantaranya adalah :
- Memperbolehkan membangun kubah dan masjid di atas
kubur karena hal ini merupakan perkara yang telah diwariskan. (Maqoolat al-Kautsari hal. 156-157).
- Tidak memperbolehkan menghancurkan kubah atau masjid
yang dibangun di atas kuburan yang mana hal ini merupakan hal yang telah
diwariskan kepada ummat. (idem)
- Bolehnya sholat di pekuburan dan dia memperbolehkan sholat
di Masjid yang dibangun padanya kuburan orang yang sholih dengan maksud
bertabaruk dengan peninggalan-peninggalannya (atsar), dan menganggap do’a
menjadi ijabah di sana... (hal. 157)
- Menganggap Nabi memberikan syafa’at di alam barzakh
dan mengetahui permintaan orang yang meminta, dan dia juga berdalil dengan
mimpi-mimpi (hal. 389)
- Menganggap Nabi mengetahu ilmu al-Lauh dan al-Qolam
(hal. 373).
- Meniadakan kebanyakan sifat-sifat bagi Allah dan
merubah nash shifat menjadi sifat yang dianggap kurang menyerupai manusia, hewan, benda mati dan
sebagainya. (tersebar dalam hampir semua karangannya).
- Memperbolehkan ziarah ke kuburan untuk bertabaruk
dan berdo’a di sampingnya dan menyakini keijabahannya sebagaimana juga
boleh siarah ke kuburan untuk meminta tolong kepada mayat dalam rangka
memperoleh kebaikan dan menjauhkan dari bencana. (hal. 385)
- Berkeyakinan bahwa arwah para wali turut memberi
andil dalam mempengaruhi alam semesta dan bahkan turut serta di dalam
pengaturannya (hal. 382).
- Bolehnya menyeru Rasulullah setelah meninggalnya
beliau dalam rangka menjauhkan dari kesukaran dan ia mengaku hal ini
merupakan warisan dari para sahabat radhiallahu 'anhum (hal. 391).
- Memperbolehkan bertawasul dengan dzat wali baik
hadir maupun ghaib ataupun pasca wafatnya. (hal. 378-380 dan 386)
- Bertawasul dengan do’anya orang yang masih hidup
bukan dianggapnya sebagai tawasul baik ditinjau dari sisi bahasa maupun
syar’i.
- Boleh mempergunakan lafazh isti’anah dan istighotsah
ketika bertawasul.
- Mencela hadits-hadits Bukhari-Muslim yang
menyelisihi madzhabnya
- Banyak menukil ucapan-ucapan penghulu kesesatan
filsafat semacam ar-Razi, at-Taftazani, al-Jurjani dan selainnya.
Inilah dia guru Hasan Ali as-Saqqof penulis Tanaqudlaat Albani Wadlihah yang dinukil
oleh si mudzabdzab al-Hizbi ini. Selain itu, al-Kautsari juga guru dari
Habiburrahman al-A’zhami yang sering bersembunyi di balik nama Arsyad
as-Salafi, Abdul Fattah Abu Ghuddah al-Asy’ari al-Maturidi,
Ahmad Khoiri al-Hanafi al-Maturidi al-Quburi al-Khurofi,
Ridwan Muhammad al-Mishri al-Khurofi dan selainnya.
Syaikh Sholahudin Maqbul Ahmad, seorang muhaddits India
memberi peringatan sebagai berikut : ”Sesungguhnya murid-murid al-Kautsari ini
–secara Aqidah dan manhaj- menghembuskan pemikiran-pemikiran yang beracun. Maka
merupakan kewajiban para ulama pembela sunnah dan para penuntut ilmu yang
mumpuni untuk menyingkap hakikat dan syubuhat mereka, membedah makar-makar
busuk mereka dan membongkar maksud-maksud jelek mereka, agar ummat tidak
terjerat ke dalam perangkap-perangkap mereka yang penuh tipu daya dengan
nama-nama dan gelar-gelar yang mentereng.”
Saya lanjutkan menukil penyebutan al-Mudzabdzab terhadap
kitab-kitab dan ulama yang berlawanan dengan Syaikh al-Albani, dia menyebutkan diantara ulama yang
membantah Syaikh al-Albani rahimahullahu :
- Ulama Ahli Hadits India, Habiburrahman al-Azhami
yang menulis kitab Al-Albani
Syudzudzuhu wa Akhtha’uhu (Keganjilan dan kekeliruan Albani) dalam 4
jilid.
- Ulama Siria yaitu DR. Muhammad Said Ramadhani
al-Buthi yang mengarang al-Laamadzhabiyyah
Akhtaru Bid’atin Tuhaddidu asy-Syari’atal Islamiyyah (Tidak bermadzhab
bid’ah terbahaya yang menentang Syariat Islam) dan kitab As-Salafiyyatu Marhalatun Zamaniyyatun
Mubarakatun La Madzhabun Islamiyyi (Salafiyah adalah tahapan zaman
yang penuh berkah bukan madzhab Islami)
- Ulama Ahli Hadits Maroko yaitu Abdullah bin Shiddiq
al-Ghumari yang menulis Irghamul
Mubtadi’ al-Ghabi bi Jawazit Tawassul bin Nabiy fir Raddi ’ala al-Albani
al-Wabi (Pukulan Terhadap Pelaku Bid’ah yang Dungu Tentang Bolehnya
Bertawasul Dengan Nabi Sebagai Bantahan Terhadap Albani Yang Jahat), al-Qoulul Muqni’ fir Raddi ’ala
al-Albani al-Mubtadi’ (Perkataan Yang Terang Di Dalam Membantah Albani
Si Pelaku Bid’ah) dan Itqaan
as-Sun’ah fi Tahqiqi Ma’nal Bid’ah (Aktivitas Yang Mulia di dalam
Penelitian Makna Bid’ah)
- Abdul Aziz bin Muhammad bin Shiddiq al-Ghumari yang menulis Bayaanu Naqdul Naaqish al-Mu’tadi (Penjelasan Tentang
Kritikan Terhadap Penentang Yang Lemah).
- Ulama Siria yaitu Abdul Fattah Abu Ghuddah yang
menulis ar-Radd ’alal Abaathil wa
iftiraa`at Nashir Albani wa Shahibihi Zuhair asy-Syawisy wa Mu’azirihima
(Bantahan Terhadap Kebatilan dan Kedustaan Nashir Albani dan Sahabat
Lamanya Zuhair Syawisy dan Para Pengikut Keduanya).
- Ulama Mesir yaitu Muhammad Awwama yang menulis Adabul Ikhtilaaf (Etika Bertikai).
- Ulama Mesir yaitu Mamduh Sa’id Mamduh yang menulis Wushul at-Tahani bi Itsbaati Sunniyat
as-Subhah war Radd ’alal Albani (Meraih Cahaya Manfaat dan Ketetapan
Sunnahnya Tasbih dan Bantahan Terhadap Albani) dan Tanbiihul Muslim ila Ta'addil Albani ’ala Shahih Muslim
(Peringatan Terhadap Muslim Tentang Kelancangan Albani Terhadap Shahih
Muslim).
- Ahli Hadits Saudi yaitu Ismail Muhammad al-Anshari
yang menulis Ta'aqqubaat ’ala
Silsilatil Ahaadits adl-Dlaaifah wal Maudlu’ lil Albani (Kerancuan
Silsilah Hadits-Hadits Lemah dan Palsu Karya Albani), Tashhih Sholaatit Taraawih Isyriina Rak’atan war Raddu ’alal
Albani fi Tadl’ifihi (Pensahihahan Sholat Tarawih 20 Raka’at dan
Bantahan Terhadap Albani Atas Pendhaifannya) dan Ibaahatut Tahalli bidz Dzahab al-Muhallaq lin Nisaa’ war Raddu
’alal Albani fi Tahriimihi (Bolehnya Memakai Emas Melingkar Bagi
Wanita dan Bantahan Terhadap Albani Atas Pengharamannya).
- Ulama Siria yaitu Badruddin Hasan Diab yang menulis Anwaarul Mashaabih ’ala Zhulumaatil
Albani fi Shalatit Tarawih (Pelita Penerang Terhadap Kegelapan Albani
Di Dalam Masalah Shalat Tarawih).
- Direktur Urusan Keagamaan di Dubai, yaitu Isa bin
Abdullah bin Mani’ al-Himyari yang menulis al-I’lam bil Istihbaabi Syaddur Rihaal li Ziyaarati Qobri Khayral
Anaam Shallallahu 'alaihi wa Sallam (Penjelasan Tentang Bolehnya
Bepergian Jauh Dalam Rangka Berziarah ke Kubur Manusia Terbaik Shallallahu
'alaihi wa Sallam) dan al-Bi’datul
Hasanah Ashlun Min Ushulutit Tasyri’ (Bid’ah Hasanah adalah Pokok dari
Pokok-Pokok Dasar Pensyariatan).
- Menteri Urusan Islam dan Keagamaan di Uni Emirat
Arab yaitu Muhammad bin Ahmad al-Khazraji yang menulis sebuah artikel
berjudul al-Albani : Tatharuffatuhu
(Al-Albani : keekstrimannya)
- Ulama Siria yaitu Firad Muhammad Walid Ways dalam
kitabnya Ibnul Mulaqqin yang
berjudul Sunniyatul Jum’ah
al-Qobliyah (Sunnahnya Sholat Qabliyah Jum’at).
- Ulama Siria yaitu Samir al-Istanbuli yang menulis al-Ahad, al-Ijma’ wan Naskhu
- Ulama Yordania yaitu Hasan Ali as-Saqqof yang
menulis 2 jilid buku berjudul Tanaqudlaat
al-Albani al-Wadlihah fima waqo’a fi tashiihil Ahaadits wa tadl’ifiha
minal Akhtho’ wal Gholath (Kontradiksi Nyata Albani Di Dalam
Kekeliruan dan Kesalahan Pensahihan dan Pendhaifan Hadits-Hadits), Ihtijaajul Kha’ib bi Ibaarati
Man-idda’al Ijma’ fahuwa Kaadzib (Pendalilan Yang Lemah Terhadap
Ungkapan Barangsiapa Yang Mengaku Adanya Ijma’ Maka Dia Telah Berdusta), al-Qoulu ats-Tsabt fi Shiyaami Yawmis
Sabti (Ucapan Yang Mantap Tentang Berpuasa Pada Hari Sabtu), al-Lajif adh-Dhu’af al-Mutala’ib bi
Ahkamil I’tikaaf (Pukulan Yang Mematikan Bagi Orang-Orang Yang
Bermain-Main Dengan Hukum I’tikaf), Shahih
Shifatus Sholatin Nabi, I’lamul
Kha’id bi Tahrimil Qur’an ’alal Junub wal Ha’idl (Penjelasan Yang
Terang Tentang Haramnya al-Qur’an Bagi Orang Yang Junub dan Haidh), Shahih Syarh Aqidah ath-Thohawiyah.
Setelah mencomot nukilan-nukilan di atas, si Mudzabdzab
ini berkomentar :
Alhamdulilah, telah bangkit para ulama pembela Islam
untuk meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang disebarkan oleh ’orang yang
tidak bertanggung jawab’, sehingga ummat ini tetap dalam jalan yang sesuai
dengan al-Haq yaitu al-Kitab dan as-Sunnah
Saya Jawab : O... Tidak wahai mudzabdzab!!! Sungguh akan
kembali ucapanmu di atas kepadamu sendiri dan kelompokmu yang kau puja dan kau
puji, dan sesungguhnya ’orang yang tidak bertanggung jawab’ yang engkau beri
tanda petik di atasnya itu adalah orang-orang yang kau nukil ucapannya.
Orang-orang yang kau katakan sebagai pembela Islam akan tampak hakikatnya
sebentar lagi –insya Allah-. Dan jalan yang kau katakan dengan al-Haq adalah
jalan yang kau klaim dengan kebodohanmu belaka tanpa ada buktinya...!!!
Pembaca budiman, sesungguhnya Mudzabdzab ini hanya
menukil dan mencomot begitu saja dari website pembenci dakwah salafiyah dan
ulamanya. Saya katakan demikian, karena tulisan yang ia nukil dalam format
transliterasi Arab ke Inggris dan dalam terjemahan dari versi Inggris, dan
itupun dia banyak sekali melakukan kengawuran di dalam menterjemahnya. Berikut
ini, akan kita kupas tuduhan-tuduhan si mudzadzab yang jahil ini -dan pembaca
insya Allah akan menemukan kejahilannya yang amat sangat sebentar lagi, yang
hal ini menunjukkan kejahilan syabab Hizbut Tahrir terhadap dien ini,
kepandaian mereka hanyalah bermain kata-kata dan pengkhianatan ilmiah.-
Berikut ini hakikat orang-orang yang dia katakan sebagai
ulama pembela Islam dan dia gelari dengan Imam dan ulama hadits :
Habiburrahman al-A’zhami al-Hindi
(Arsyad as-Salafi)
Syaikh
Sholahudin Maqbul Ahmad berkata di dalam kitab beliau yang bermutu yang
berjudul Jawabi’ fi Wajhi Sunnah Qadiman
wa Haditsan (terj. Bahaya Mengingkari
Sunnah, pent. Pustaka Azzam) di dalam bab “Kesewenang-wenangan Orang-Orang Yang
Bertaklid Atas Hadits-Hadits Nabi” yang menjelaskan tentang bahaya orang-orang yang
fanatik madzhab terhadap hadits nabi, yang kebanyakan mereka jika menemui
hadits yang sesuai dengan madzhab imam yang mereka ikuti maka mereka gembira
bercampur bangga. Namun jika hadits tersebut bertentangan dengan madzhab imam
mereka dan sesuai dengan madzhab lainnya, maka mereka marah. Syaikh Sholahudin
di dalam hasyiah (catatan kaki)nya
mengomentari dan menjelaskan perkataan tersebut sebagai berikut :
”Sikap ini terlihat pada diri tokoh-tokoh di kalangan
mereka apalagi di kalangan umum (awam). Contoh yang paling dekat adalah sikap
Syaikh Habiburrahman al-A’zhami al-Hanafi al-Hindi. Ia tumbuh dalam pengabdian
kepada sunnah nabi sampai usia 60 tahun lebih. Ia juga mentakhrij buku-buku
hadits lebih dari 40 jilid. Akan tetapi sikap fanatiknya tidak berubah,
sehingga usahanya itu tidak berguna, kecuali ia hanya menegakkan hujjah atas
dirinya sendiri. Kami memohon keselamatan kepada Allah!”
Berikut ini akan kami sampaikan satu contoh dari masalah
tersebut :
Seseorang yang menelaah tahqiiqot (penelitian-penelitian) Syaikh al-A’zhami, dapat melihat
dengan jelas bahwa di banyak kesempatan al-A’zhami tidak lebih mengatakan,
”Demikianlah yang terdapat di dalam manuskrip”. ”Demikianlah yang terdapat di
dalam al-Majma”. Akan tetapi, ketika disebutkan kepadanya riwayat Barra’ bin
’Azib mengenai tidak mengangkat kedua tangan di dalam sholat kecuali satu kali
dalam Mushanaaf Abdirrazaq (III/71),
ia memberikan komentar tidak seperti biasanya hingga mencapai 11 baris kalimat
sebagai berikut : ”Semoga Allah merahmati. Di antara mereka adalah Imam
Turmudzi. Fanatismenya terhadap gurunya, Imam Bukhari, tidak membawanya kepada
penyimpangan dari kebenaran. Sungguh ia menyatakan hasan hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, kemudian ia mengumumkan bahwa ia berpedoman pada
hadits tersebut. Hadits ini juga menjadi pedoman banyak ulama...”
Padahal sebelum riwayat itu sudah ada sekitar 10 riwayat
tentang mengangkat kedua tangan di dalam sholat. Tetapi al-A’zhami tidak lapang
dada terhadap riwayat-riwayat tersebut, seperti ketika ia bersikap lapang dada
terhadap riwayat ini dengan memberikan komentar. Ia mengisyaratkan penyimpangan
Bukhari dari kebenaran.
Di samping itu, ketika disebutkan riwayat al-Humaidi
dengan jalur riwayat Salim bin Abdullah, dari bapaknya, ia berkata, ”Aku melihat
Rasul Shallallahu 'alaihi wa Sallam apabila beliau memulai sholat beliau
mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya. Apabila beliau
ingin ruku’ dan setelah bangun dari ruku’, maka beliau tidak mengangkat kedua
tangannya dan tidak juga ketika bangkit di antara dua sujud.” (Musnad
al-Humaidi II/227).
Al-A’zhami mengomentari riwayat ini sebagai berikut :
”Dalam riwayat al-Humaidi, Nabi tidak mengangkat kedua tangannya ketika hendak
ruku dan bangkit dari ruku, dan tidak pula ketika bangkit dari duduk antara dua
sujud semuanya. Semua ahli hadits tidak ada yang menentang riwayat Humaidi
ini!”
Bagaimana ahli hadits menentang sedangkan riwayatnya
telah dirubah dalam naskah yang menjadi pegangan al-A’zhami dalam komentarnya
terhadap riwayat tersebut. Adapun dalam naskah azh-Zhahiriyah –yang ia sendiri
mengakui telah membandingkannya- berbeda dengan musnad yang telah dicetak,
yaitu dengan lafazh ”Apabila beliau memulai sholat beliau mengangkat kedua
tangannya sejajar dengan kedua bahunya, apabila beliau ingin ruku’ dan setelah
bangun dari ruku’, dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya ketika bangkit
di antara dua sujud.”
Begitulah perilaku orang fanatik. Herannya, bagaimana
mereka bisa bersikap lapang dada terhadap riwayat yang diputarbalikkan tapi
mendukung pendapatnya ini, sebaliknya mereka tidak suka riwayat yang bertentangan dengan
pendapatnya. Kita berlindung kepada Allah dari perubahan ini dan dari sikap
ridha terhadap perubahan dalam hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Jika para pembaca mau, silakan membaca secara lengkap
sejarah perubahan hadits baik yang terjadi pada Mustadrak al-Hakim, Sunan
Abu Dawud, Mushonnaf Ibnu Abi Saibah dan selainnya di dalam kitab Syaikh
Sholahudin Maqbul Ahmad ini (Bahaya Pengingkaran Sunnah) hal. 253-272. Di dalam
bab ini, para pembaca akan diajak ber’tamasya’ oleh Syaikh Sholahudin di dalam
melihat pengkhinatan para fanatikus madzhabi di dalam merubah sunnah nabawiyah
agar sesuai dengan madzhabnya. Nas’alullaha salaamah wal ’aafiyah.
Perlu para pembaca budiman ketahui, bahwa Habiburrahman
al-A’zhami al-Hanafi ini di kalangan muhadditisin India dikenal sebagai orang
fanatik terhadap madzhab Hanafiyah dan mudallis
(gemar menyembunyikan kebenaran). Muhadditsin India dari Jum’iyyah Ahlil Hadits
semacam Syaikh Ubaidillah ar-Rehmani, Syaikh Abdul Hamid ar-Rehmani, Syaikh
Shafiyurrahman al-Mabarkapuri, Syaikh Abul Qasim al-Benaresi, Syaikh Muhammad
Isma’il as-Salafi, Syaikh Abul Kalam Azad, Syaikh Muhammad Sulaiman
al-Mansurpuri, Syaikh Badi’udin Syah ar-Rasyidi, Syaikh Muhammad Mustofa
al-A’zhami dan lain-lain tidak mentazkiyah Habiburrahman bahkan sebagian mereka
membantah syudzudz (keganjilan)-nya
karena lebih mendahulukan madzhab daripada hadits Nabi yang mulia.
Bahkan Syaikh Albani mengomentari Habiburrahman sebagai
berikut : ”...Salah seorang musuh Sunnah dan musuh penyeru Tauhid, Syaikh
Habiburrahman al-A’zhami yang bersembunyi di balik nama samarannya Arsyad
as-Salafi, karena dia tidak punya keberanian dan takut berpolemik secara ilmiah
dan beradab. Ini dia lakukan di dalam karyanya yang berjudul Al-Albani Syudzudzuhu wa Akhtha’uhu.”
Syaikhuna al-Fadhil, Salim bin Ied al-Hilali dan Ali
Hasan al-Halabi hafizhahumallahu telah membantah Habiburrahman al-A’zhami ini
di dalam dua jilid karya mereka yang berjudul ar-Raddul ’Ilmiy ’ala Habibirrahman al-A’zhami –dan Insya Allah
akan dicetak jilid ketiganya-. Demikianlah
keadaan Habiburrahman al-A’zhami yang menulis Al-Albani Syudzdzuhu wa Akhtha’uhu, yang dicomot oleh Mudzabdzab
al-Hizbi.
Kemudian muncul di benak saya, apakah gerangan yang
melandasi Hizbut Tahrir dan sebagian kalangan sufiyun pembenci dakwah Tauhid
menghimpun bantahan Habiburrahman ini?? Kenapa bukan tokoh atau ulama Hizb saja
yang menulis bantahan?! Ternyata, jawabannya sangat jelas ketika kita telah
melihat simpul benang merah yang tinggal ditarik saja, yaitu :
- Hizbut Tahrir tidak memiliki satupun ulama hadits.
Dan ini adalah realita! karena Hizbut Tahrir tidak memiliki tahqiqot, ta'liqot maupun takhrijat terhadap kitab ulama
hadits. Bahkan menurut mereka, kodifikasi ilmu hadits saat ini bukanlah
cara untuk menuju kebangkitan Islam sebagaimana dikatakan oleh an-Nabhani
al-Hanafi rahimahullahu di dalam kitabnya yang berjudul Nizhamul Islam. Adapun klaim
mudzabdzab yang menyebut sebagian tokoh hizb semisal Fathi Salim, Samih
’Athifuzzain dan selainnya sebagai muhaddits hanyalah isapan jempol
belaka. Akan datang keterangannya pada pembahasannya insya Allah Ta'ala.
- An-Nabhani dan mayoritas tokoh Hizb adalah
Hanafiyyin, maka tidaklah heran jika mereka getol mengambil pendapat
al-Kautsari, al-Hamid, Abu Ghuddah, al-A’zhami dan semisal mereka.
Bahkan, Yusuf an-Nabhani ash-Shufi, kakek Taqiyudin an-Nabhani al-Hanafi
termasuk pembesar hanafiyah berakidah shufiyah quburiyah. Yusuf an-Nabhani
ini memiliki karangan yang berjudul Syawahidul
Haqq yang dikomentari oleh Ustadz Tengku Hasbi ash-Shiddiqui sebagai
kitab sufiyah yang penuh dengan cercaan terhadap ulama Ahlus Sunnah
terutama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al-Muhaddits Iraq, al-Allamah
Mahmud Syukri al-Alusi telah membantah Yusuf an-Nabhani ini. Dua simpul
telah kita tarik di sini, dan inilah mengapa mereka berserikat dengan
as-Saqqof murid al-Kautsari yang kedua-duanya pembenci Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah. Usut punya usut, ternyata pendahulu Fanatikus Hanafiyin yang
bernama Ala`uddin Muhammad bin Muhammad al-Bukhari al-Hanafi (w. 841 H)
menuduh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan kekafiran. Oleh karena itu,
al-Allamah Muhammad bin Nashirudin ad-Dimasyqi asy-Syafi’i membantah
tuduhan Ala`uddin tersebut di dalam kitab beliau yang masyhur yang
berjudul ar-Raddul Wafir ’ala Man
Za’ama Anna Man Summiya Ibn Taimiyah Syaikhal Islam Kaafir (buku ini
diterbitkan dengan tahqiq Syaikh Zuhair asy-Syawisy diterbitkan oleh
al-Maktab al-Islamiy, Beirut). Bahkan syaikh Badruddin al-’Aini al-Hanafi
memuji kitab ini, karena beliau bukanlah termasuk fanatikus madzhab Hanafi
dan beliau lebih mencintai sunnah nabi dan al-Haq daripada taqlid dan ashobiyah.
- Hizbut Tahrir dan kaum shufiyah, jahmiyah,
asy’ariyah dan firqoh sesat lainnya berserikat di dalam membenci ahlus
sunnah, ahlul hadits dan ahlul atsar. Hal ini tampak sebentar lagi dengan
dasar referensi al-Mudzdzab al-Hizbi ini yang mencomot dari kitab-kitab
sesat yang mengajarkan kesyirikan dan kebid’ahan untuk mengantam dakwah
tauhid yang dijuluki dakwah Wahabiyah. Allahul Musta’an.
DR. Said Ramadhan al-Buthi
Satu lagi pembesar asy’ari sufi dikemukakan sebagai
hujjah untuk menghantam manhaj salaf dan ahlinya. Al-Buthi ini dikenal dengan
sikap permusuhannya terhadap Manhaj Salaf dan ahlinya. Beliau menyatakan bahwa
bermadzhab secara mu’ayan (spesifik)
adalah wajib dan menyatakan bahwa tidak bermadzhab adalah suatu kebid’ahan yang
membahayakan agama, sebagaimana tertuang di dalam kitabnya yang berjudul al-Laamadzhabiyyah Akhtharu Bid’ah.
Beliau juga menyatakan bahwa salafiy bukanlah manhaj, namun merupakan zaman
penuh berkah belaka, sebagaimana termaktub di dalam kitabnya as-Salafiyatu Marhalah Zamaniyah Mubarakah
La Madzhab Islamiy, yang isinya mencela penisbatan salafiy dan membatalkan
manhaj salaf dari pokoknya. Tampaknya, al-Mudzabdzab al-Hizbi sepertinya
menukil pendapat al-Buthi ini ketika menyangkal tentang eksistensi manhaj salaf
di dalam risalah bantahannya yang ’gelap gulita’. Insya Allah akan datang
penjelasan dan bantahannya pada pembahasannya.
Al-Buthi adalah seorang Asy’ariyah tulen dan membela
madzhab Asy’ariyah. Hal ini tampak di dalam kitabnya yang berjudul Kubro al-Yaqqiniyaat al-Kauniyah
namun beliau melakukan kontradiksi dengan kitabnya terdahulu yang berjudul al-Aqidah al-Islamiyah wal Fikru al-Mu’ashir
yang menetapkan manhaj salaf dengan menukil dari buku al-Ibanah ’an Ushulid Diyaanah karya Imam al-Jalil Abul Hasan
al-Asy’ari. Berikut ini saya nukilkan
kontradiksi al-Buthi dari kedua kitabnya yang saya nukil dari Majalah
al-Asholah (no. 12/15 Shofar 1415/Tahun II/Yordania) di dalam artikel yang
berjudul DR. al-Buthi min Khilaali
Kutubihi yang disusun oleh Syaikh Abu Abdillah asy-Syaami.
Kubro al-Yaqqiiniyat al-Kauniyyah
|
Al-Aqiidah
wal Fikru al-Mu’ashir
|
Tentang Hadits Ahad
|
Hadits
Ahad tidak dapat diperhitungkan sebagai dalil membangun masalah aqidah
|
Beliau
menukil dari dari Abul Hasan al-Asy’ari bahwasanya tidak ada perbedaan antara
Mutawatir dan Ahad yang shahih dari segi hujjah dan istidlal. Keduanya membuahkan
keyakinan dan Amal. Beliau menganggap baik aqidah asy’ariyah dan memujinya
karena aqidah ini merupakan aqidah mayoritas kaum muslimin dari para ulama
hadits dan fikih serta seluruh sahabat dan tabi’in.
|
Tentang Kalamullah
|
Beliau
berkata dengan khalqul Qur’an (Pernyataan
al-Qur’an makhluk) namun dengan uslub filosofi dan pemahaman yang rumit, yang
beliau namai dengan kalam nafsi atau
majazi, dengan tetap menetapkan
sifat kalam bagi Allah, namun hanya berupa lafazh belaka tanpa suara dan
huruf.
|
Beliau
menukil dari Abul Hasan bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah dan Abul Hasan
sendiri berpendapat dengan pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu
(yaitu mengkafirkan orang yang menyatakan al-Qur’an makhluk dan menetapkan
suara dan huruf, pent.)
|
Menganggap
syadz (ganjil) Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahullahu dari Ahlis Sunnah dalam masalah i’tiqod beliau tentang
sifat Kalam bagi Allah, bahwasanya kalam-Nya dengan huruf dan suara.
|
Al-Buthi
menetapkan keimaman Abul Hasan dan memujinya. Beliau mengakui keutamannya,
kebenaran aqidahnya tanpa perkecualian. Sedangkan kita mendapatkan bahwa Imam
Asy’ari sendiri memuji, menghormati, memuliakan dan menyanjung Imam Ahmad bin
Hanbal, sampai-sampai beliau mensifatinya sebagai ar-Ra`is al-Kamil (Pemimpin yang sempurna) dan al-‘Alim al-Fadhil, beliau juga
berpegang dengan ucapan dan aqidahnya Imam Ahmad tentang sifat Kalam bagi
Allah, yaitu dengan huruf dan suara.
|
Ketinggian Allah
|
Beliau mengingkari Allah berada di atas makhluk-Nya,
beristiwa di atas Arsy-Nya.
|
Menetapkan aqidah al-Imam Abul Hasan al-Asy’ari bahwa
Allah berada di atas makhluk-Nya beristiwa di atas Arsy.
|
Sifat Allah
|
Meniadakan dan menakwilkan sifat Allah yang Agung
seperti Tangan, Wajah, Mata, dan lain sebagainya.
|
Menetapkan aqidah Imam al-Asy’ari dan menyetujuinya
yaitu menetapkan sifat sesuai dengan yang ditetapkan Allah pada diri-Nya,
yang tiada satupun yang serupa dengan-Nya baik dari dzat-Nya maupun sifat-Nya
serta tidak pula perbuatan-Nya yang Maha Suci lagi Maha Tinggi.
|
Mengingkari kebolehan isyarat bagi Allah atau sifat al-Maji’
(kehadiran) dan al-Ityaan
(kedatangan) atau yang serupa dengannya.
|
Menetapkan aqidah Asy’ari yaitu mengimani Allah di atas
langit dengan kebolehan isyarat kepada-Nya
subhanahu. Beliau juga menetapkan sifat al-Ityan
dan al-Maji’ sebagaimana Allah
sendiri mensifatkan-Nya di dalam firman-Nya : ”Dan datang (ja’a) Rabbmu dan malaikat
bershaf-shaf”.
|
Pencampuradukan olehnya antara madzhab salaf dengan
madzhab mufawwidloh (menyerahkan makna sifat tanpa menetapkannya sebagaimana aqidahnya Hasan
al-Banna, pent.)
|
Dirinya mengetahui madzhab salaf di sela-sela
nukilannya tentang aqidah asy’ariyah, sedangkan perbedaan antara madzhab
salaf dengan mufawwidloh adalah
sangat terang seterang matahari di siang bolong.
|
Menganggap bahwa Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah bersepakat
di dalam kemakhlukan al-Qur’an, dan perbedaan diantara keduanya hanyalah
permasalahan perbedaan lafazh belaka.
|
Beliau mengetahui bahwa aqidah Asy’ari mengikut kepada
Imam Ahmad rahimahullahu, dan terdapat perbedaan nyata dan mendasar antara
ahlus sunnah dengan mu’tazilah. Masalah ini seorang penuntut ilmu pemula pun
mengetahuinya.
|
DR. Said Ramadhan al-Buthi pernah berdialog dengan Syaikh
Muhammad Nashirudin al-Albani dan muridnya, Syaikh Muhammad Ied Abbasi
seputar masalah madzhabiyah. Al-Buthi menulis sebuah buku yang mengharamkan
bagi seorang muslim untuk tidak bermadzhab yang tertuang di dalam kitabnya yang
berjudul al-Laamadzhabiyah Akhtaru Bid’ah
Tuhaddidu asy-Syarii’atal Islamiyyah. Syaikh Muhammad Ied Abbasi membantah
syubuhat dan argumentasi al-Buthi di dalam kitab beliau yang berjudul Bid’atut Ta’ashshubil Madzhabi wa Atsaruha
al-Khathirah fi Jumudil Fikri wa Inhithaatil Muslimiin (bid’ahnya fanatik terhadap madzhab
dan pengaruhnya yang berbahaya bagi kebekuan pemikiran dan pembodohan kaum
muslimin).
Di dalam kitab setebal lebih dari 350 halaman ini, syaikh
Muhammad Ied Abbasi memangkas kerancuan dan kesalahkaprahan al-Buthi di dalam
memandang wajibnya bermadzhab secara spesifik/tertentu. Faham ini berangkat
dari pemahaman tentang tertutupnya pintu ijtihad pasca generasi Imam yang empat
dan pemilahan manusia di dalam agama ini hanya menjadi dua, yakni imma seorang mujtahid atau imma seorang muqollid. Padahal pemilahan yang demikian ini adalah
pemilahan yang kurang dan tidak mencukupi. Berikut inilah penjelasan yang
dipaparkan oleh Syaikh al-Allamah al-Muhaddits Muhammad Nashirudin al-Albani
rahimahullahu :
”Termasuk hal yang disepakati oleh para ulama bahwa
taklid adalah ”Mengambil suatu pendapat tanpa diketahui dalilnya.” Artinya
taklid bukanlah berdasarkan ilmu pengetahuan. Maka atas dasar ini, para ulama
menetapkan bahwa orang yang melakukan taklid tidak dinamakan orang yang alim.
Bahkan Ibnu Abdil Barr telah menukil kesepakatan tentang hal ini di dalam Jami’
Bayanil Ilmi (II/37 dan 117), Ibnul Qoyyim dalam I’lamul Muwaqqi’in
(III/293) dan Suyuthi serta para peneliti lainnya, hingga sebagian mereka
secara berlebihan mengatakan, ”Tidak ada perbedaan antara taklid terhadap hewan
dengan taklid terhadap manusia.”
Penulis kitab al-Hidayah berkata berkaitan dengan
seorang ahli taklid yang memegang jabatan hakim, ”Adapun taklid yang dilakukan
oleh orang awam menurut kami adalah boleh, berbeda dengan pendapat imam
Syafi’i. Oleh karena
itu, para ulama berkata bahwa orang yang taklid tidak diperkenankan untuk
memberikan fatwa.
Dengan mengetahui hal itu, maka jelaslah bagi kita sebab
yang mendorong kaum salaf mencela dan mengharamkan taklid,
karena perbuatan taklid dapat menyeret seseorang untuk berpaling dari al-Kitab
dan as-Sunnah dalam rangka berpegang teguh dengan pendapat para imam dan taklid
terhadap mereka sebagaimana yang sering terjadi di kalangan ahli taklid.
Bahkan larangan melakukan taklid seperti ini telah dinyatakan secara transparan
oleh para imam generasi baru dalam kalangan madzhab Abu Hanifah.
Al-Buthi disusupi pemahaman bahwa ia menjadikan ijtihad
sebagai sisi yang berhadapan dengan taklid, jika seseorang tidak bertaklid maka
tentulah berijtihad. Sehingga ia menuduh para du’at sunnah atau salafiyin
mewajibkan pengikutnya untuk berijtihad baik ia seorang yang alim maupun jahil,
dan ia menyatakan bahwa taklid adalah haram baik terhadap seorang alim maupun
jahil. Tentu saja ini adalah kesalahan dan kedangkalan dalam berfikir serta
kesalahfahaman yang sangat nyata.
Al-Buthi tidak menyadari bahwa selain ijtihad dan taklid,
ada sisi ketiga, yaitu ittiba’, dan para imam telah memahami bahwa yang
dimaksud dengan ittiba’ adalah mengikut pendapat seorang imam karena
kuatnya dalil, yaitu dalil menjadi acuan pertama bukannya ucapan imam itu
sendiri. Maka dari sini, jelas bahwa sisi yang berhadapan langsung dengan
taklid adalah ittiba’ bukan ijtihad.
Sebagai kesimpulan adalah bahwa para du’at sunnah atau
salafiyun tidaklah mewajibkan ijtihad kepada para pengikutnya, tudhan salafiyin
mewajibkan ijtihad kepada pengikutnya ini jelas adalah suatu kedustaan terhadap
salafiyin, karena ijtihad adalah hak para ulama yang memiliki kapasitas memadai
untuk berijtihad. Namun salafiyun mewajibkan pengikutnya untuk ittiba’ kepada
setiap muslim yang memiliki dalil terkuat, baik dari pendapat Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah, Hanbaliyah, Tsauriyah ataupun Zhahiriyah maupun
selainnya yang ditopang oleh dalil yang kuat. Oleh karena itu salafiyun
mengharamkan taklid kecuali dalam keadaan darurat, seperti orang yang tidak
mampu meneliti dalil, maka tiada kewajiban baginya melainkan hanyalah taklid,
dan inipun dalam keadaan darurat.
Adapun karyanya yang berjudul as-Salafiyyatu
Marhalatun Zamaniyyatun Mubarokatun La Madzhabun Islamiyah merupakan buku
yang penuh dengan kegelapan dan celaan terhadap salaf. Syaikh Salim al-Hilali
menyebutkan bahaya buku ini sebagai berikut :
1.
Al-Buthi berusaha
mencela as-Salaf dan Manhaj Ilmiah mereka dalam talaqqi, istidlal dan itstinbath.
Dengan demikian, ia telah menjadikan mereka seperti orang-orang yang ummi yang
tidak memahami al-Kitab melainkan hanya angan-angan.
2.
Dia telah
menjadikan manhaj salaf dan salafiyyah hanyalah sejarah masa lalu yang telah
sirna dan takkan kembali lagi kecuali hanya dalam angan-angan.
3.
Mengklaim
bid’ahnya berintisab kepada salaf, sehingga ia telah mengingkari satu perkara
yang sudah dikenal dan tersebar sepanjang zaman secara turun temurun.
4.
dia berputar
seputar manhaj salaf dalam rangka membenarkan madzhab kholaf dimana akhirnya ia
menetapkan bahwa manhaj kholaf adalah penjaga dari kesesatan hawa nafsu dan
menyembunyikan kenyataan-kenyataan sejarah bahwa manhaj kholaf telah
menghantarkan kepada kerusakan pribadi muslim dan pelecehan terhadap manhaj
Islam.
Di sinilah kesekian kali, simpatisan Hizbut Tahrir ini
membawakan bantahan terhadap salafiyin dengan ucapan-ucapan atau tulisan para
fanatikus madzhabi yang melazimkan seorang muslim untuk bermadzhab dengan
madzhab tertentu, bahkan mengharamkan dan membid’ahkan madzhab salaf yang
hakikatnya madzhab salaf ini tidak fanatik terhadap seorangpun selain
Rasulullah dan tidak menganjurkan kaum muslimin untuk bermadzhab secara mu’ayan
(spesifik), hal ini menunjukkan bagaimana HT dan para ulama fanatikus
madzhabi yang mereka jadikan acuan
berupaya melanggengkan ta’ashshub madzhabi dan mengajak kaum muslimin
untuk taklid kepada para imam madzhab, tidak kepada dalil yang rajih dari
madzhab mereka.
Sebenarnya saya ingin sekali menambahkan penjelasan
secara mendetail tentang penyimpangan dan kesalahan al-Buthi yang ditulis oleh
para ulama sunnah,
namun saya rasa apa yang saya nukil cukup adanya. Namun jika sekiranya
al-Mudzdabdzab al-Hizbi dan Lazuardi al-Haqid menghendaki untuk melanjutkan
mengupas kejelekan al-Buthi ini, maka insya Allah peperangan antara pembelaan
yang haq dan penghancuran yang bathil ini akan terus berjalan. Apalagi, si
mudzbdzab al-jahil ini hanyalah menukil dan main comot belaka dari situs-situs
sufiyah, jahmiyah dan ahlul bid’ah
lainnya, tanpa mau tahu apa isi dari nukilan-nukilannya. Sungguh tidak aneh
lagi...!!!
Abdullah bin Muhammad ash-Shiddiq al-Ghumari
Satu lagi dari Maroko, pembenci Syaikh al-Muhaddits
al-Albani rahimahullahu. Abdullah al-Ghumari ini terkenal akan kesufiyahannya.
Dia seorang pembela madzhab sufi tulen dan ia mengklaim bahwa dia adalah
Syafi’iyah. Syaikh Abdullah ini walaupun tidak bersepakat dengan al-Kautsari,
bahkan beliau membantah dan menghabisi al-Kautsari dalam kitabnya Bida’ut
Tafasir, namun mereka berdua berserikat di dalam menghantam ahlus sunnah
dan dakwah Tauhid. Abdullah al-Ghumari ini tidak menyukai Albani karena sikap
keras Albani di dalam memerangi sufi dan kebid’ahan.
Kebenciannya terhadap Albani tampak dari judul-judul
karangannya. Ia bahkan tidak segan-segan menggelari Albani dengan gelar jahat,
mubtadi’, ekstrim dan semacamnya. Karyanya yang berjudul Irghamul Mubtadi’ al-Ghabi bi Jawazit Tawassul bin Nabiy fir Raddi ’ala
al-Albani al-Wabi (Pukulan Terhadap Pelaku Bid’ah yang Dungu Tentang
Bolehnya Bertawasul Dengan Nabi Sebagai Bantahan Terhadap Albani Yang Jahat)
menjadi saksi atas kedengkiannya terhadap al-Albani dan saksi atas aqidahnya
yang menyimpang.
Dia memperbolehkan bertawasul kepada Nabi, ziarah ke
kuburan Nabi dan bertabaruk dengannya, menganjurkan membangun kubah di atas
kuburan dan semacamnya. Walaupun dikatakan dia adalah termasuk orang yang
mengetahui seluk beluk hadits, namun ilmunya tidaklah menjadikan dirinya
selamat dari fanatik terhadap sufiyah. Ia mengumpulkan zallatul ulama
(kesalahan-kesalahan ulama) dan dijadikannya sebagai dalil untuk menolak serta
mankwil hadits-hadits nabi.
Bahkan untuk memperkuat argumennya, ia menyatakan bahwa
ada bid’ah hasanah di dalam agama ini sebagaimana tertuang di dalam kitabnya Itqaan as-Sun’ah fi Tahqiqi Ma’nal Bid’ah
(Aktivitas Yang Mulia di dalam Penelitian Makna Bid’ah). Syaikh Ali Hasan
al-Halabi membantah bukunya ini secara sekilas di dalam kitab beliau yang
berjudul Ilmu Ushulil Bida’.
Sesungguhnya, hal yang saya sebutkan ini telah mencukupi
untuk mengetahui hakikat al-Ghumari ini. Penjelasan lebih rinci tentang hakikat
al-Ghumari ini telah dipaparkan oleh Syaikh Ali Hasan di dalam bantahannya
terhadap dirinya dan telah disibak pula kesesatannya di dalam Majalah
al-Asholah (15 Rabi’ul Akhir 1420/ no. 11/th. IV/Yordania) di dalam artikel
yang berjudul Min Dlolalaati al-Ghumari fi Ta’liiqihi ’ala at-Tamhid
(Diantara Kesesatan al-Ghumari di dalam Komentarnya Terhadap at-Tamhid)
yang ditulis oleh Syaikh Umar al-Ahmadi.
Abdul Aziz bin Muhammad ash-Shiddiq al-Ghumari
Saya tidak begitu tahu tentang Abdul Aziz al-Ghumari
dikarenakan minimnya referensi yang saya miliki. Karena yang saya tahu adalah
Syaikh Ahmad bin Muhammad ash-Shidiq al-Ghumari, saudara dari Syaikh Abdullah
al-Ghumari. Dan saya menahan diri dari dirinya, karena sesungguhnya kewajiban
seorang muslim adalah tidak berbicara melainkan berlandaskan ilmu. Wallahul
Muwaafiq.
Abdul Fattah Abu Ghuddah
Dia termasuk diantara barisan murid al-Kautsari yang
fanatik dengan gurunya. Dan telah berlalu penjelasan tentang al-Kautsari dengan
turut menyinggung Abu Ghuddah ini. Beberapa ulama telah membantah penyelewengan
Abu Ghuddah ini. Syaikh Rabi’ bin Hadi memiliki kitab yang membantah Abu
Ghuddah dan Muhammad ’Awwamah di dalam taqsim (pemilahan) hadits menjadi
shahih dan dha’if. Telah jelas hakikat Abu Ghuddah ini, sehingga tidak perlu
diulangi lagi.
Muhammad ’Awwamah al-Halabi
Dia adalah seorang dari Mesir, guru dari Mamduh Sa’id bin
Muhammad Mamduh. Muhammad Awwamah ini adalah teman dekat al-Ghumari yang
terkenal kedengkian dan permusuhannya terhadap Ahlus Sunnah dan Ahlut Tauhid.
Syaikh Albani mengatakan bahwa Muhammad Awwamah inilah diantara orang yang
mendorong Mamduh Sa’id menulis buku Tanbihul Muslim ila Ta’addi al-Albani
’ala Shaihil Muslim. Syaikh Rabi’ dan Syaikh Ali Hasan telah membantah
Muhammad ’Awwamah ini, walhamdulillah.
Mamduh Sa’id bin Muhammad Mamduh al-Qahirah
Dia menulis Wushul
at-Tahani bi Itsbaati Sunniyat as-Subhah war Radd ’alal Albani (Meraih
Cahaya Manfaat dan Ketetapan Sunnahnya Tasbih dan Bantahan Terhadap Albani) dan
Tanbiihul Muslim ila Ta'addil Albani ’ala
Shahih Muslim (Peringatan Terhadap Muslim Tentang Kelancangan Albani
Terhadap Shahih Muslim).
Sebelumnya,
Mamduh Sa’id Mamduh ini memiliki sikap yang jauh berbeda dengan sikapnya yang
terakhir. Dia pernah menulis surat kepada Syaikh al-Albani yang menyebut Syaikh
al-Albani sebagai al-Ustadz asy-Syaikh al-Allamah al-Muhaddits atau al-Allamah
Ustadz kami, berikut ini saya nukilkan suratnya :
Ustadz Kami, al-Allamah.
Alhamdulillah kami memuji kepada Allah yang telah menciptakan seseorang yang
mau berkhidmat kepada as-Sunnah, meneliti mana hadits yang shahih dan mana
hadits yang dha’if, serta memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk.
Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan kitab-kitab hasil penelitian hadits yang
anda tulis yang amat bermutu dan berharga. Saya ikut menjaga kitab-kitab anda
tersebut dari masuknya tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab, karena saya
telah menisbatkan diri masuk ke dalam kelompok anda!
Alhamdulillah, saya telah
mengikuti semua kitab-kitab anda. Yang terakhir adalah kitab Irwa’
al-Ghalil fi Takhrij Manaris Sabil. Kami juga telah menelaah tulisan-tulisan tangan
anda yang belum sempat tercetak seperti Tamamul Minnah bi Ta’liq ’ala Fiqhis
Sunnah. Tatkala
anda berkunjung ke Kairo, kami selalu mengikuti ceramah-ceramah anda, di Markaz
Anshorus Sunnah Abidin, di Jami’ Anshorus Sunnah Zaitun, Jami’ah ’Ainusy Syamsi
dan tempat-tempat lainnya.
Kemudian tatkala anda kembali
lagi (ke Kairo) tidak selang berapa lama kami pun menjadi pendengar pertama
terhadap pelajaran-pelajaran anda. Dengan sebab itulah, meskipun tentu ada
sebab-sebab lainnya, Allah telah membuat saya cinta dengan dengan ilmu hadits
dan suka mempelajari hadits-hadits, bahkan hingga dimanapun kami berada sellau
menyandang kitab-kitab hadits.
Penulis
Abu Sulaiman Mahmud Sa’id bin
Muhammad Mamduh al-Qahirah
Nazil ar-Riyadh 22/2/1401 H.
Apakah yang menyebabkan Mamduh
Sa’id berubah seratus delapan puluh derajat?? Setelah menyanjung-nyanjung
kemudian menghina dan melecehkan?? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena
jeratan para pendengki yang menjejalinya dengan pikiran-pikiran buruk dari
segala penjuru. Akhirnya dia pun terjerat oleh hawa nafsunya sendiri sehingga
berani tampil bagaikan orang yang mumpuni ilmunya dan mulai berani membantah
orang yang dulu disanjung-sanjungnya.
Mamduh Sa’id ini tidak fair
sebagaimana as-Saqqof, dia menyembunyikan hakikat dan mengungkap kejahilannya
di depan khayalak. Dia membantah secara kasar Syaikh Al-Albani dan dipoles agar
tampak ilmiah di dalam kitabnya Tanbihul Muslim ila Ta’addi Albani ’ala Shahihil Muslim. Di dalam bukunya ia
menyanjung-nyanjung Abdullah al-Ghumari sebagai al-Allamah al-Alim
al-Jihbidz al-Hibr al-Mudaqqiq al-Muhaqqiq, padahal gurunya tersebut
berani mendhaifkan hadits Bukhari Muslim.
Abdullah Al-Ghumari
mendhaifkan hadits yang diriwayatkan dari Urwah dari Aisyah tentang rakaat
sholat safar yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim di dalam risalahnya yang
berjudul ash-Shubhu was Safir (hal. 16) bukan karena cacat
sanadnya, namun katena menurut anggapannya hadits tersebut bertentangan dengan
al-Qur’an padahal pemahamannyalah yang salah.
Mamduh Sa’id juga menyanjung
saudara Abdullah al-Ghumari yaitu Ahmad bin Muhammad al-Ghumari dengan sebutan al-Imam al-Hafizh al-Muhaddits an-Naaqid Nadiratul Ashri, bahkan di dalam bukunya, at-Tanbih (hal. 78) ia menyanjungnya secara berlebih-lebihan dengan mengatakan,
”Tidak ada orang sepertinya setelah al-Hafizh as-Sakhowi dan as-Suyuthi yang
ahli di dalam bidang hadits...”
Padahal Ahmad al-Ghumari ini
mendhaifkan hadits di dalam shahihain yang diriwayatkan dari Jabir dan Ibnu
Abbas tentang sholat gerhana matahari di dalam kitabnya yang berjudul al-Hidayah fi Takhrij Ahadits al-Bidayah (IV/197-201) dengan
perkataannya : ”Hadits ini dusta dan bathil menurut akal sehat, meskipun
terdapat dalam shahih Muslim, karena gerhana matahari hanya terjadi sekali pada
hari meninggalnya Ibrahim, anak Muhammad Shallallahu ’alaihi wa
sallam.
Ini juga merupakan pendapat para imam ahli hadits.” Pendhaifan yang dilakukan
oleh al-Ghumari ini sebelumnya telah dinyatakan oleh Albani di dalam kitab
beliau Irwa’ul Ghalil yang oleh Mamduh Sa’id dimasukkannya sebagai
tindakan kelancangan Albani terhadap shahih Muslim. Lantas mengapa anda hanya
menganggap Albani saja yang lancang wahai Mamduh?? Mengapa tidak anda sebutkan
juga orang yang kau gelari dengan al-Imam al-Hafizh al-Muhaddits an-Naaqid Nadiratul Ashri Ahmad al-Ghumari dengan
tuduhan lancang terhadap shahih Muslim?? Lantas dimanakah keadilan dan amanah
itu?!!
Ternyata usut punya usut,
Mamduh Sa’id yang disebut oleh al-Mudzabdzab ini sebagai Imam hadits ternyata
lemah dan dangkal dalam ilmu hadits, karena dia tidak memahami tentang tadh’if beberapa hadits yang terdapat di dalam Shahihain dan dia anggap sebagai
kelancangan dan kezhaliman. Padahal dirinya sendiri yang telah melakukan
kezhaliman.
Wahai Mamduh, anda telah
mengatakan bahwa al-Albani telah melakukan kezhaliman terhadap Shahih Muslim
karena beliau rahimahullahu telah menyatakan di dalam Muqoddimah Syarh Aqidah Ath-Thahawiyah bahwa tidak semua hadits yang
terdapat di dalam Shahih Bukhari atau Shahih Muslim itu semuanya dengan serta
merta adalah shahih sebelum penelitian kembali secara mendalam... lantas
bagaimana anda sikapi ucapan gurumu, al-Imam al-Hafizh al-Muhaddits an-Naaqid Nadiratul Ashri Ahmad al-Ghumari yang berkata
di dalam al-Hidayah fi Takhriji Ahadits al-Bidayah (IV/201) yang berkata :
”Beberapa hadits palsu
terdapat juga di dalam kitab ash-Shahihain. Dinamakan palsu karena di dalam hadits-hadits
tersebut terdapat sesuatu yang terbukti batil. Oleh karena itu janganlah anda
tertipu. Janganlah anda takut meninggalkan hadits tersebut walaupun para ulama telah bersepakat menilai shahih isi
yang dikandungnya, karena sesungguhnya itu hanyalah klaim kosong yang tidak
bisa dipertanggungjawabkan ketika dibahas dan diteliti secara mendalam. Adanya
kesepakatan shahihnya seluruh hadits yang
ada di dalam kitab ash-shahihain pun tidak bisa diterima secara akal dan tidak
realistis. Akan tetapi, bukan berarti hadits-hadits yang ada di dalam kitab ash-shahihain adalah dhaif ataupun bathil atau di dalamnya banyak hadits-hadits yang
serupa dengan itu. Yang dimaksud adalah bahwa di dalam kitab tersebut ada
beberapa hadits yang tergolong tidak shahih karena bertentangan dengan
kenyataan.”
Apakah yang akan anda katakan
mengenai ucapan ini??
Wahai Mamduh, apakah anda juga
akan mengatakan bahwa Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah
al-Harrani rahimahullah juga melakukan kezhaliman terhadap shahihain karena
melakukan hal yang sama dengan al-Albani -dan al-Ghumari- di dalam menolak
hadits dhaif di dalam shahih Muslim sebagaimana di dalam al-Fatawa (XIII/352-353), juga Ibnul Qoyyim di dalam Zadul Ma’ad (V/112-113), atau juga bahkan
Imam Ahmad yang mengikuti penghulu tabi’in, Sa’id bin Musayyab sebagaimana
termaktub di dalam al-Fath (IX/165-166). Sesungguhnya dirimu telah menepuk
air di dulang terpecik di muka sendiri!!!
Lantas bagaimana pula anda
menempatkan al-Kautsari yang anda sanjung sebagai al-Allamah al-Muarikh an-Naqid, bahkan anda katakan juga
sebagai Syaikhul Islam, padahal dia mendhaifkan dan menolak
hadits-hadits shahih Bukhari Muslim hanya karena menyelisihi madzhabnya...!!! Haihata haihata... dimanakah keadilan dan sikap amanahmu wahai Mamduh...
Ismail Muhammad al-Anshari
Syaikh
Ismail Muhammad al-Anshori adalah ulama salafi, ahlul hadits dan aqidahnya
salafiyah serta bermanhaj salaf. Perselisihan beliau dengan Albani adalah
perselisihan ilmiah bukan perselisihan aqidah maupun manhaj. Dan merupakan
suatu hal yang biasa di kalangan ahlul ilmi berselisih dalam rangka membela
al-Haq dan mengkonfrontasikan dalil, walaupun terkesan keras. Perselisihan ini
juga terjadi antara Syaikh al-Albani dengan Syaikh as-Salafi al-Allamah Hammud
bin Abdillah at-Tuwaijiri seputar masalah jilbab/hijab wanita muslimah.
Masalah bilangan rakaat sholat
tarawih, perhiasan emas melingkar bagi wanita, cadar, i’tikaf, jenggot yang
melebihi segenggam tangan dan selainnya adalah masalah fiqhiyah yang sedang
menjadi polemik diantara mereka. Syaikh Abdul Qadir al-Arna’uth rahimahullahu
yang berselisih pendapat dengan Albani dalam masalah perhiasan emas melingkar
mengatakan bahwa Albani adalah Imam al-Hadits, namun tidak semua orang maksum
terbebas dari kesalahan, dan perselisihan antara diri beliau dengan Albani
adalah perselisihan ilmu bukan hati. Bahkan beliau akan mengunjungi Albani
–semasa hidupnya- jika beliau berada di Yordan dan demikian pula sebaliknya.
Namun, biar bagaimanapun
kebenaran adalah satu tidak berbilang. Hujjah kita adalah al-Qur’an dan
as-Sunnah yang shahih. kita tidak fanatik terhadap seorangpun dari mereka
melainkan hanya kepada Rasulullah alaihi Sholatu wa Salam. Syaikh Albani telah
membantah tuduhan-tuduhan syaikh al-Anshori di dalam tulisan-tulisannya. Jika
sekiranya al-Mudzabdzab dan Hizbut Tahrir
mau beraqidah dan bermanhaj sebagaimana aqidah dan manhaj al-Anshori,
maka niscaya Hizbut Tahrir akan selamat dari kegoncangan dan penyelewengan
aqidah. Hizb akan memiliki aqidah yang jelas dan akan dengan tegas menyatakan bahwa
aqidah yang shahih adalah aqidah salafiyah, bukan aqidah jahmiyah, shufiyah,
asy’ariyah, maturidiyah sebagaimana aqidahnya al-Kautsari, Abu Ghuddah,
al-Buthi, al-Ghumari, Muhammad Awwamah, dan selain mereka. Sungguh
mencampurbaurkan aqidah shahihah dengan dholalah akan membuahkan kesesatan yang
lebih jauh.
Badruddin Hasan Diab
Seorang dari
Siria yang menulis Anwaarul Mashaabih ’ala Zhulumaatil Albani fi Shalatit
Tarawih (Pelita Penerang
Terhadap Kegelapan Albani Di Dalam Masalah Shalat Tarawih). Saya tidak memiliki
referensi yang menjelaskan hakikat Hasan Diab ini, bagaimana aqidah dan
manhajnya. Maka saya bertawaqquf (mendiamkan) terlebih dahulu sampai
jelas hakikat Badrudin Hasan Diab ini.
Isa bin Abdullah bin Mani’ al-Himyari
Dia menulis al-I’lam
bil Istihbaabi Syaddur Rihaal li Ziyaarati Qobri Khayral Anaam Shallallahu
'alaihi wa Sallam (Penjelasan Tentang Bolehnya Bepergian Jauh Dalam Rangka
Berziarah ke Kubur Manusia Terbaik Shallallahu 'alaihi wa Sallam) dan al-Bi’datul Hasanah Ashlun Min Ushulutit
Tasyri’ (Bid’ah Hasanah adalah Pokok dari Pokok-Pokok Dasar Pensyariatan),
dari kedua tulisan ini tampak bahwa al-Himyari ini adalah seorang sufi yang
menganjurkan untuk safar jauh dengan niat ziarah ke kubur nabi dan mengatakan
bahwa bid’ah hasanah adalah bagian dari syariat islam.
Abdul Qadim Zallum rahimahullahu, mantan pimpinan Hizbut
Tahrir di Yordania pasca an-Nabhani rahimahullahu, di dalam kitabnya yang
berjudul Kaifa Hudimatil Khilafah memiliki pandangan yang sama dengan
al-Himyari di dalam kebolehannya bepergian jauh dengan maksud ziarah ke makam
nabi. Hal ini menyelisihi hadits shahih yang berbunyi : ”Janganlah melakukan
perjalanan jauh melainkan hanya ke tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjidil
Aqsha dan Masjid Nabawi.”
Mengenai bid’ah hasanah, jelas ini adalah pendapat bid’ah
yang akan merusak islam, Syaikh al-Allamah asy-Syathibi rahimahullahu telah
membantah klaim bid’ah hasanah ini di dalam al-I’tisham, demikian pula
syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnul Qoyyim al-Jauziyah, dan seluruh
ulama salaf.
Menteri Urusan Islam dan Keagamaan di Uni Emirat Arab
yaitu Muhammad bin Ahmad al-Khazraji
Ulama Siria yaitu Firad Muhammad Walid Ways dalam
kitabnya Ibnul Mulaqqin yang berjudul
Sunniyatul Jum’ah al-Qobliyah
Samir al-Istanbuli yang menulis al-Ahad, al-Ijma’ wan Naskhu
Saya
tidak mengetahui aqidah, pemikiran dan hakikat mereka, wallahu a’lam.
Hasan Ali as-Saqqof
Telah berlalu penjelasannya di
silsilah bantahan pertama. Sebagai tambahan, syaikh Ali Hasan al-Halabi di
dalam website http://www.alhalaby.com/
membantah as-Saqqof di dalam artikel diskusinya yang berjudul Munazhorot Ma’a as-Saqqof.
Tambahan (Mulhaq) Bantahan Terhadap Tuduhan Keji al-Mudzabdzab
Al-Mudzabdzab
al-Jahil berkata :
Bukankan Albani juga punya kitab yang menurut dia, ia
telah memisahkan hadis yang shohih dg yang dhoif dalam kitab Ashab As-Sunnan,
spt Shohih Sunan Abi Dawud – Dhoif Abi Dawud; Shohih Sunan At-tirmidzi –
Dhoifnya, Shohih Sunan At- Tirmidzi – Dhoifnya dll. Lalu apakah ada Ulama yang
meragukan bahwa Imam Abi Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’I dll adalah ahli hadis,
sekalipun telah ada kitab yg ditulis oleh albani (yg ia klaim telah ia pisahkan
antara yg shohih dg yg dhoif dr kitab hadis2 tsb) ??! Apakah ada yg berani
mengatakan stlh terbitnya kitab2 ini bahwa Albani jauh lebih menguasai ilmu
hadis dibandingkan Imam Abi Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’I dll ??? Tidak ada
satupun dari ulama dari dulu sampai saat ini yg berani mengatakan seperti itu.
Kecuali ‘Ghulatus Salafii’ (orang2 salafi yg melampaui batas) yg tidak
menghormati para Ulama dan dg mudah melontarkan kata2 keji kpd para Ulama ini
‘hatta’ para ulama ahli hadis (waliyadzu billah) !!!?
Haihata haihata ya Mudzabdzab...!!! Siapakah yang mengklaim
demikian?? Siapakah yang mengatakan bahwa Syaikh al-Albani lebih alim hadits
ketimbang Imam Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan selainnya?? Dan siapakah
yang kau maksudkan sebagai Ghullatus salafiy yang mencela mereka para
muhadditsin?? Tunjukkan buktimu wahai jahil... jangan hanya mengklaim tanpa
dalil...!!!
Sesungguhnya ad-Da’awi ma lam tuqiimu ’alaiha bayyinatin abna’uha ad’iyaa’ (pengklaim yang tidak disertai
keterangan hanyalah pengklaim kosong belaka). Berikan bayanmu dan buktimu bahwa
salafiyin mencela Abu Dawud, at-Turmudzi dan selainnya dari para ulama ahli
hadits?? Bahkan sesungguhnya salafiyin lah yang paling menghormati mereka dan
memuliakan mereka, karena mereka adalah ahlul hadits. Salafiyunlah yang
senantiasa menyibukkan diri dengan kitab-kitab sunan, musnad, manakib dan
selainnya. Dan salafiyunlah yang paling mencintai dan menyibukkan diri dengan
ilmu hadits. Salafiyun lah yang paling respek terhadap ilmu hadits dan
pirantinya, paling respek terhadap ilmu jarh wa ta’dil, ilmu rijalil hadits,
ilmu riwayah wa diroyah. Salafiyunlah yang paling memperhatikan kesahihan dan
kedhaifan sebuah hadits, salafiyunlah yang paling membela sunnah dari makar
ahlul bid’ah, orientalis dan kaum inkarus sunnah. Salafiyunlah yang paling
mengenal para muhadditsin dan mu’arrikhin.
Salafiyin senantiasa sibuk
dengan takhrijat, ta’liqot dan tahqiqot kitab-kitab para ulama hadits
mutaqoddimin. Mereka senantiasa menyibukkan diri dengan isnad dan ruwat hadits,
menghafalkan tarajum ruwat dan rijalul hadits. Dan salafiyunlah yang
paling menjaga keilmiahan karya-karyanya dengan memilih dan memilah antara
dalil yang rajih, mukhtar dan shahih.
Ucapanmu di atas menunjukkan
kebodohanmu dan kelompokmu terhadap ilmu hadits, bahkan menunjukkan bahwa
dirimu dan kelompokmu benar-benar jahil dalam ilmu ini. Akan saya bongkar insya
Allah kebodohan kelompokmu dan tokoh-tokoh kelompokmu dalam risalah silsilah
bantahan ini.
Sunan Abu Dawud
Penulisnya adalah Sulaiman bin
al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syiddad bin Amar bin Azdi as-Sijistani atau
lebih dikenal dengan kunyah Abu Dawud as-Sijistani rahimahullahu,
seorang Imam dan tokoh ahli hadits dari Sijistan, Bashrah. Beliau lahir pada
202 dan wafat tahun 275. beliau juga memiliki banyak karya diantaranya adalah :
al-Marasil, kitab al-Qodar, an-nasikh wal Mansukh, Fadha’ilul ’Amal,
Kitab az-Zuhd, Dalailun Nubuwah, Ibtda’ul Wahyi dan Akhbarul Khowarij.
Al-Imam Abu Dawud di dalam
menulis kitab ini tidak hanya memuat hadits shahih saja, namun beliau juga
memasukkan hadits hasan dan dhaif yang tidak dibuang oleh ulama hadits.
Beberapa ulama mengkritik Sunan Abu Dawud karena ditengarai memuat hadits
maudhu’ diantaranya adalah Imam Ibnul Jauzi. Beliau mengatakan bahwa ada
beberapa hadits maudhu’ dalam Sunan Abu Dawud ini, namun kritikan beliau ini
dibantah oleh Imam Jalaludin as-Suyuthi (w. 911). Biar bagaimanapun, ribuan
hadits yang shahih dalam Sunan Abu Dawud tidaklah memperngaruhi nilai keabsahan
Sunan Abu Dawud sebagai kitab hadits ketiga setelah Shahih Bukhari dan Muslim
yang dijadikan mashdar oleh kaum muslimin dan kitab Sunan yang paling
diutamakan diantara kitab sunan lainnya.
Jumlah hadits dalam Sunan Abu
Dawud adalah 4.800 hadits, sebagian ulama menghitungnya sebanyak 5.274 hadits.
Perbedaan ini dikarenakan sebagian orang menghitung hadits yang diulang sebagai
satu hadits dan sebagian lagi menghitungnya sebagai dua hadits. Abu Dawud
membagi Sunannya dalam beberapa kitab dan tiap kitab dibagi menjadi beberapa
bab. Jumlah kitab sebanyak 35 buah diantaranya ada 3 kitab yang tidak dibagi
dalam bab-bab. Sedangkan jumlah babnya ada 1.871 bab.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad
al-Badr hafizhahullahu dalam Kaifa Nastafiidu minal Kutubil Haditsiyah (hal. 18) berkata : ”Kitab
Sunan karya Abu Dawud ini adalah kitab yang sangat agung, yang diperkaya oleh
penulisnya di dalamnya hadits-hadits ahkam dan mentartibnya serta memaparkannya
berdasarkan urutan bab-bab yang menunjukkan atas kefakihan dan kedalamannya
terhadap ilmu riwayah dan diroyah.”
Beberapa
ulama mensyarah dan meneliti Sunan Abu Dawud ini, diantaranya :
- Ma’alimus Sunan yang
ditulis oleh Imam Abu Sulaiman Ahmad bin Ibrahim al-Busti al-Khaththabi
(w. 388) yang merupakan syarah sederhana dengan mengupas masalah bahasa,
penelitian terhadap riwayat, istinbath hukum dan pembahasan adab.
- Aunul Ma’bud ’ala
Sunan Abi Dawud yang ditulis oleh Imam Syamsul Haq
Muhammad Asyraf bin Ali Haidar ash-Shiddiqi al-Azhim Abadi as-Salafi
(ulama abad ke-14) dalam 4 jilid besar.
- al-Manhalu Adzbu
al-Maurid yang ditulis oleh Syaikh Mahmud bin Khaththab as-Subki (w. 1352).
Beliau juga meneliti dan memilah serta menjelaskan derajat hadits-hadist
yang shahih, hasan maupun dhaif.
- al-Mujtaba Tahdzib
Sunan Abi Dawud oleh al-Imam al-Hafizh Abdul Azhim
al-Mundziri (w. 656) yang meringkas, menyusun kembali dan menyebutkan
perawi-peraei lain yang juga meriwayatkan hadits di dalam Sunan Abu Dawud,
serta beliau menunjukkan beberapa hadits dhaif di dalamnya.
- Ta’liq al-Mujtaba oleh
Syaikhul Islam kedua, Imam Ibnul Qayyim (w. 751) yang memberikan Komentar
tentang kelemahan hadits yang dijelaskan oleh al-Mundziri, menegaskan
keshahihah hadits yang belum dishahihkan serta membahas matan yang
musykil.
Demikianlah sekilas penjelasan
seputar Sunan Abu Dawud, dan telah jelaslah bahwa tidak semua hadits yang
dimuat oleh Imam Abu Dawud as-Sijistani di dalam Sunan-nya adalah shahih. Oleh
karena itu al-Muhaddits Muhammad Nashirudin al-Albani meneliti kembali derajat
hadits-hadits di dalam Sunan Abu Dawud dan menuliskannya sebagai kitab Shahih
Sunan Abu Dawud dan dhaifnya.
Lantas adakah yang mengatakan
bahwa al-Mundziri, al-Khattabi, as-Subki, al-Azhim Abadi adalah lebih alim
daripada Abu Dawud karena mereka turut mengomentari hadits-hadits di dalam
Sunan Abu Dawud?! Apakah mereka juga lebih alim dari Abu Dawud as-Sijistani
karena mereka tidak menerima saja dengan penilaian Abu Dawud terhadap Sunan-nya
dimana diamnya Abu Dawud dikatakan shahih sebagaimana penjelasan beliau sendiri
di dalam risalah kepada ahli Makkah?! Haihata haihata...!!!
Sunan an-Nasa’i
Penulisnya adalah Abu
Abdurrahman Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Ali bin Sinan al-Khurasani. Lahir
tahun 215 dan wafat tahun 303 menurut pendapat Syamsudin adz-Dzahabi dan Abu
Ja’far ath-Thohawi. Beliau adalah ulama hadits terkemuka di masanya, seorang
yang sangat teliti dan memiliki persyaratan yang ketat di dalam menerima
hadits. Beliau memiliki beberapa karya dinataranya as-Sunanul Kubra,
as-Sunanus Shughra (juga dikatakan al-Mujtaba), al-Khashaish, Fadhailus Shahabah dan al-Manasik.
Imam Nasa’i sangat cermat di
dalam menyusun Sunanus Shughra ini yang beliau tulis setelah menyusun Sunanul
Kubra. Beliau berupaya hanya menghimpun yang shahih saja di dalam kitab
Sunan-nya ini. Namun Syaikh Abul Faraj Ibnul Jauzi mengatakan bahwa ada sekitar
sepuluh buah hadits maudhu’ di dalamnya, walau imam Jalaludin as-Suyuthi membantahnya.
Namun, biar bagaimanapun terdapat sedikit hadits dhaif di dalam Sunan-nya ini.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad di dalam kaifa Nastafiidu (hal. 22) berkata : ”Kitab ini
adalah kitab yang agung tingkatannya, banyak bab-babnya, dan penjelasan akan
bab-babnya menunjukkan fakihnya penulisnya, bahkan sungguh diantaranya
menampakkan kedalaman dan kecermatan Imam Nasa’i di dalam beritinbath.”
Sunan an-Nasa’i ini menghimpun
sejumlah 51 kitab dan haditsnya mencapai 5774. Adapun mengenai syarah
an-Nasa’i, sesungguhnya masih sangat sedikit sekali walaupun kitab ini sudah
berumur hampir 600 tahun. Al-Hafizh Jalaludin as-Suyuthi memberikan syarah yang
sangat singkat yang berjudul Zihar ar-Rubba ’alal Mujtaba yang meneliti para perawi,
menjelaskan sebagian lafazh dan hadits gharib serta menerangkan mengenai hukum
dan adab yang terkandung di dalam hadits Sunan. Selain as-Suyuthi, juga seorang
muhaddits India yang bernama al-Allamah Abul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi al-Hanafi as-Sindi (w. 1138)
memberikan syarah yang lebih sempurna dibandingkan syarah as-Suyuthi.
Lantas apakah as-Suyuthi dan
as-Sindi kau katakan bahwa mereka merasa lebih alim dari an-Nasa’i?!! Karena
mereka meneliti kembali perawi-perawi hadits dalam Sunan Nasa’i dan memberikan
penilaian kembali sesuai dengan pengecekan terhadap perawi-perawi hadits
tersebut.
Sunan at-Turmudzi
Penulisnya adalah al-Imam Abu
Isa Muhammad bin Musa bin ad-Dhahhak as-Sulami at-Turmudzi dari Tirmidz, Iran
Utara. Beliau adalah seorang imam ahli hadits yang kuat hafalannya, amanah dan
teliti. Beliau lahir pada tahun 209 dan pada akhir hidupnya menjadi buta dan
wafat tahun 279. Beliau memiliki beberapa karangan diantaranya adalah Kitabul Jami’ (lebih dikenal dengan Sunan at-Turmudzi), al-’Illat, at-Tarikh,
asy-Syamail an-Nabawiyah, az-Zuhd dan al-Asma’ wal Kuna.
Al-Imam Abu Isa di dalam
menyusun kitab al-Jami’ tidak hanya meriwayatkan hadits shahih saja,
namun juga beserta hadits yang hasan, dha’if, gharib dan mu’allal dengan
menerangkan kelemahannya. Beliau memasukkan hampir 50 kitab dan haditsnya
berjumlah 3956 hadits.
Diantara kritikan utama
terhadap Jami’ at-Turmidzi ini adalah dia menerima
periwayatan dari al-Maslub dan al-Kalbi, perawi yang muttaham pemalsu hadits. Sehingga derajatnya lebih rendah dibandingkan Sunan Abu
Dawud dan Sunan an-Nasa’i. Al-Imam Abul Faraj Ibnul Jauzi mengkritik sebanyak
30 hadits dimasukkannya ke dalam al-Maudhu’at namun disanggah beberapa oleh Jalaludin
as-Suyuthi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah al-Harani dan Syamsyudin adz-Dzahabi
juga turut mengkritik Sunan Turmudzi ini.
Diantara para ulama yang
mensyarah Jami’ at-Turmudzi adalah al-Hafizh Abu Bakar
Muhammad bin Abdillah al-Isybili yang lebih dikenal dengan Ibnul Arabi
al-Maliki (w. 543) yang berjudul Aridatul Ahwadzi fi Syarhi Sunanit Tirmidzi. Jalaludin as-Suyuthi juga
mensyarah dengan judul Qutul Mughtazi ’ala Jami’it Tirmidzi. Kitab syarah terbaik adalah
yang ditulis oleh al-Allamah al-Abdurrahman al-Mabarkapuri (w. 1353) yang
berjudul Tuhfatul Ahwadzi.
Adakah mereka yang meneliti
kembali Sunan at-Turmudzi ini kau katakan mereka merasa lebih alim dari imam
Abu Isa sendiri?!!
Sunan Ibnu Majah
Penulisnya adalah Abu Abdullah
Muhammad bin Yazid bin Majah ar-Rabi’i al-Qazwini dari desa Qazwin, Iran. Lahir
tahun 209 dan wafat tahun 273. Beliau adalah muhaddits ulung, mufassir dan
seorang alim. Beliau memiliki beberapa karya diantaranya adalah Kitabus Sunan, Tafsir dan Tarikh Ibnu Majah.
Beliau
menyusun kitabnya dengan sistematika fikih, yang tersusun atas 32 kitab dan
1500 bab dan jumlah haditsnya sekitar 4.000 hadits. Syaikh Muhammad Fuad Abdul
Baqi menghitung ada sebanyak 4241 hadits di dalamnya. Sunan Ibnu Majah ini
berisikan hadits yang shahih, hasan, dhaif bahkan maudhu’. Imam Abul Faraj
Ibnul Jauzi mengkritik ada hampir 30 hadits maudhu di dalam Sunan Ibnu Majah
walaupun disanggah oleh as-Suyuthi.
Al-Imam al-Bushiri (w. 840)
menulis ziadah (tambahan) hadits di dalam Sunan Abu Dawud yang
tidak terdapat di dalam kitabul khomsah (Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu
Dawud, Sunan Nasa’i dan Sunan Tirmidzi) sebanyak 1552 hadits di dalam kitabnya Misbah az-Zujajah fi Zawaid Ibni Majah serta menunjukkan derajat
shahih, hasan, dhaif maupun maudhu’. Oleh karena itu, penelitian terhadap
hadits-hadits di dalamnya amatlah urgen dan penting.
Lantas ya mudzabdzab, apakah
kau katakan bahwa mereka adalah orang yang merasa lebih alim ketimbang Ibnu
Majah!?? Fa la hawla wa quwwata illa billah!!!
Maka saya katakan : Ya
Mudzabdzab!!! Apakah sekarang kau klaim bahwa salafiyun menganggap ulama hadits
kontemporer lebih alim daripada ulama hadits mutoqoddimin?!! Maka tunjukkan
bukti klaim tersebut!!! Dan siapakah yang mencela ulama hadits mutoqodimin
tersebut!! Sesungguhnya salafiyin menganggap orang-orang yang mencela mereka
adalah ahlul bid’ah wal ahwa’!!!
Berikut inilah mereka para
ulama ahlul hadits mulai dari zaman sahabat hingga sekarang yang masyhur :
1.
Khalifah ar-Rasyidin al-Mahdiyin : Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali
Ridlwabullahi ’alaihim ajma’in.
2.
Al-Abadillah : Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair, Ibnu ’Amr, Ibnu Mas’ud,
Aisyah dan Ummu Salamah, Anas bin Malik, Zaid bin Tsabit, Abu Hurairoh, Jabir
bin Abdillah, Abu Sa’id al-Khudri, Muadz bin Jabal.
3.
Tabi’in : Said al-Musayyib (w. 90), Urwah bin Zubair (w. 94), Ali bin
Husain Zainal Abidin (w. 93), Muhammad bin al-Hanafiyyah (w. 80), Ubidullah bin
Abdillah bin Utbah bin Mas’ud (w. 94), Salim bin Abdillah bin Umar (w. 106),
al-Qosim bin Muhammad bin Abi Bakar ash-Shiddiq (w. 106), al-Hasan al-Bashri
(w. 110), Muhammad bin Sirin (w. 110), Umar bin Abdil Aziz (w. 101), Muhammad
Syihab az-Zuhri (w. 125) dan lain lain.
4.
Tabi’ut Tabi’in : Malik bin Anas (w. 179), Al-Auza’i (157), Sufyan bin
Said ats-Tsauri (w. 161), Sufyan bin Uyainah (w. 193), Ismail bin Aliyah (w.
193), al-Laits bin Sa’ad (w. 175), Abu Hanifah Nu’man bin Tasbit (w. 150) dan
lain lain.
5.
Atba’ Tabi’it Tabi’in :
Abdullah bin Mubarak (w. 181), Waki’ bin al-Jarrah (w. 197), Muhammad bin Idris
asy-Syafi’i (w. 204), Abdurrahman bin Mahdi (w. 198), Yahya bin Sa’id
al-Qahthan (w. 198), Affan bin Muslim (w. 219), dan lain lain.
6.
Murid-Murid atba’ Tabi’it Tabi’in : Ahmad bin Hanbal (w. 241)m Yahya
bin Ma’in (w. 233), Ali bin Al-Madini (w. 234), Muhammad bin Isma’il al-Bukhari
(w. 265), Muslim bin Hajjaj (w. 271), Abu Hatim ar-Razi (w. 277), Abu Zur’ah
ar-Razi (w. 264), Abu Dawud as-Sijistani (w. 275), at-Turmudzi (w. 279),
an-Nasa’i (w. 303).
7.
Generasi berikutnya : Ibnu Jarir (w. 310), Ibnu Khuzaimah (w. 311),
ad-Daruquthni (w. 385), ath-Thohawi (w. 321), al-Ajurri (w. 360), Ibnu Baththah
(w. 387), Ibnu Abi Zamanain (w. 399), al-Hakim an-Naisaburi (w. 399),
al-Lalika’i (w. 416), al-Baihaqi (w. 458), Ibnu Abdil Barr (w. 463), al-Khathib
al-Baghdadi (w. 463), al-Baghowi (w. 516), Ibnu Qudamah (w. 620), dan lain
lain.
8.
Murid-Murid Mereka : Ibnu Abi Syamah (w. 665), Majududin Ibnu
Taimiyah (w. 652), Ibnu Daqiqil Ied (w.
702), Ibnu Sholah (w. 643), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728), al-Mizzi (w.
724), Ibnu Abdil Hadi (w. 744), adz-Dzahabi (w. 748), Ibnul Qoyyim (w. 751),
Ibnul Katsir (w. 774), asy-Syathibi (w. 790), Ibnu Rajab (w. 795) dan lain lain
9.
Ulama Generasi Akhir : ash-Shon’ani (w. 1182), Muhammad bin Abdil
Wahhab (w. 1206), al-Luknawi (w. 1304), Shidiq Hasan Khon (w. 1307), al-Azhim
Abadi (w. 1349), al-Mubarokfuri (w. 1353), Abdurrahman as-Sa’di (w. 1367),
Ahmad Syakir (w. 1377), al-Mu’allimi al-Yamani (w. 1386), Muhammad Ibrahim Alu
Syaikh (w. 1389), Muhammad Amin asy-Syinqithi (w. 1393), Badi’udin as-Sindi (w.
1416), al-Albani (w. 1420), Abdul Aziz bin Baz (w. 1420), Hammad al-Anshori (w.
1418), Hammud at-Tuwaijiri (w. 1413), Muhammad Aman al-Jami (w. 1416), Muhammad
Sholih al-Utsaimin (w. 1423), Muqbil bin Hadi (w. 1423), Shalih bin Fauzan
al-Fauzan, Abdul Muhsin al-Abbad, Rabi bin Hadi al-Madkholi, dan lain lain
Si Mudzabdzab ini memuntahkan
lagi muntaham busuknya dengan berkata :
Lalu
sekarang siapa yg akan percaya dg hasil pekerjaan si ‘Albani’, termasuk para
Ulama Salafi yg lainnya, yg mengklaim dirinya ahli hadis dan yg merasa dirinya
lebih hebat dari Imam Bukhari dan Imam Muslim dll !!! Maka sikap kita tatkala ada
hadis yg dinilai oleh Albani atau ulama Salafi yg lain adalah sebagaimana sikap
sebagian ulama dari Univ. Ummul Qurra Makkah dan sebagian ulama pakar hadis yg
lain (di berbagai negeri kaum muslimin lainnya !!!) yaitu berhati2 dan tdk
langsung menerima, kecuali ada pernyataan dari ulama hadis yang terpercaya
berkaitan dengan status hadis tersebut (ini diucapkan oleh DR. Sa’id Agil
Al-Munawar ketika (dlm acara di sebuah televisi swasta)) ditanya ttg status
hadis yang dinilai oleh Albani, beliau mengatakan : “Guru2 (para masyaikh) saya
menasehati supaya berhati2 dg penilaian Albani atas hadis, krn ia bukanlah
orang yang ahli dalam masalah ini !!?“) !!!? Alhamdulillah, terbukti apapun
tuduhan si Ikhwan atas status hadis dalam kitab2 mutabannat HT atau yg ditulis
oleh para syabnya atau kitab dari para ulama (selain ulama Salafi) atau harokah
Islam yg lain perlu ada klarifikasi dan tidak boleh langsung diterima kecuali
ada pernyataan para Ulama Ahli Hadis yg terpercaya tentang status hadis
tersebut !!!??
Sungguh busuk sekali
muntahanmu wahai jahil!!! Sungguh dirimu akan menjilat kembali muntahanmu yang
busuk tersebut. Sekali lagi dirimu main tuduh tanpa bukti dan bayan!!! Apakah
ini ciri khasmu dan kelompokmu wahai mubaddil?!! Siapakah yang mengklaim lebih
alim dibandingkan Imam Bukhari dan Muslim?!! Tidakkah dirimu berdusta untuk
kesekian kalinya... apakah manhajmu yang menghalalkan segala cara
memperbolehkan dirimu berdusta dan melemparkan iftira’ kepada ulama ahlul hadits?!!
Sungguh tidak layak ucapanmu
diterima, karena dirimu masih bodoh dan dungu namun merasa sok alim. Wahai
’Mubaddil’, ayo buktikan tuduhanmu, dan mari kita bertemu di dalam forum yang
engkau harus membuktikan tuduhanmu di atas.
Wahai pembela kesesatan,
sekali lagi kau tunjukkan zhahir kesesatan dirimu dan kelompokmu. Apakah Sa’id
Aqil al-Munawwar itu ahlul hadits atau orang yang perkataannya dianggap di
dalam Islam?!! Apakah orang yang ’tunduk patuh’ kepada ahlul bid’ah terbesar di
dunia saat ini, Gus Dur, engkau ambil sebagai hujjah. Tidak cukupkah
orang-orang di atas yang kau sebutkan di awal?!! Mengapa kau juga menukil
seorang pembela bid’ah yang khurofi quburi kau jadikan hujjah ucapannya yang
tak berdasar?!!
Siapa yang kau maksudkan
dengan ulama Univ. Ummul Quro’ yang meragukan kapasitas Albani dalam ilmu
hadits?!! Sebutkanlah satu saja!!! Dan siapakah yang dimaksudkan oleh
al-Munawwar ini sebagai guru-gurunya?! Apakah pembesar sufi Muhammad Alwi
al-Maliki rahimahullahu?!! Yang mengajarkan bersholawat bid’ah, bertawasul
dengan makhluk, bertabaruk dengan mayit, dan memperbolehkan kesyirikan serta
kebid’ahan lainnya?!! La hawla wa la quwwat illa billah!!!
Dimanakah kau letakkan
kepalamu wahai mudzbdzab!! Apakah kepalamu telah kau pendam di dalam tanah
sehingga matamu tak dapat melihat?!! Lantas mengapa kelompokmu mengatakan bahwa
mempelajari kodifikasi ilmu hadits bukanlah manhaj perbaikan (taghyir) yang tepat, karena manhaj yang tepat hanyalah siyasah... kau dan
kelompokmu buang kemana ilmu kodifikasi hadits wahai mubaddil!!! Dan bagaimana
kau mensikapi bahwa Fathi Muhamamd Salim di dalam bukunya al-Istidlalu bizh zhon menolak keberadaan mutawatir lafzhi namun
Syamsudin Ramadhan di dalam ”Absahkah” mengatakan ada mutawatir lafzhi.
Sungguh, saya seumur-umur
belum pernah melihat kitab-kitab baik mutabanat maupun hanya artikel yang
bermanhaj haditsiyah di dalam tulisan-tulisan hizb. Saya belum pernah melihat
bahwa ada kitab yang ditulis oleh hizbut tahrir lengkap ditulis dengan takhrij
dan tarjihnya. Kenapa?! Karena kelompokmu wahai mubaddil, tidak punya
muhaddits, namun hanya muhandis yang berbicara masalah agama!!! Allahul
Musta’an, saya kawatir bahwa kelompokmu ini adalah sarang ruwaibidhoh dan ashoghir!!!
Ingin bukti lebih banyak,
tunggulah silsilah berikutnya, maka kau akan melihat kebobrokan yang lebih
dahsyat lagi, bahkan kedustaan demi kedustaan kelompokmu akan terbongkar semua.
Biidznillah!!!
Aduhai, sungguh indah apa yang
dilontarkan oleh Imam Ibnul Qoyyim dalam Qasidah Nuniyah-nya yang berjudul al-Kafiyah asy-Syafiyah fil Intishor lil Firqotin Najiyah yang berbunyi : (artinya)
Sungguh aku akan
menjadikan peperangan terhadap mereka ahlul ahwa’ dan bid’ah sebagai
kebiasaanku
Dan sungguh aku
akan membongkar kedok mereka di hadapan orang banyak
Memotong kulit mereka dengan lisanku
Akan
kusingkap rahasia-rahasia yang selama ini tersembunyi
Bagi orang yang lemah diantara makhluk-Mu, dari mereka
dengan penjelasan
Aku akan
selalu membidik mereka hingga dimanapun mereka berada
Hingga dikatakan hamba yang paling jauh
Sungguh
aku akan merajam mereka dengan bukti-bukti petunjuk
Sebagai rajam terhadap pembangkang dengan bintang yang
gemerlapan
Sungguh
aku akan menggagalkan tipu daya mereka
Dan aku akan mendatangi mereka di setiap tempat
Sungguh
aku akan buat daging-daging mereka menjadi darah mereka
Pada hari datangnya pertolongan-Mu adalah pengorbanan yang
sangat besar
Sungguh
aku akan datangkan pada mereka pasukan tentara
Yang takkan lari ketika dua pasukan telah saling
berhadapan
Dengan membawakan pasukan tentara pengikut wahyu dan hati
nurani
Memadukan logika dan nash-nash syariat dengan baik
Hingga
jelaslah bagi orang yang berakal
Siapa yang lebih utama menurut logika dan petunjuk
Sungguh aku akan menasehati mereka karena Allah kemudian
Rasul-Nya
Kitab-Nya dan syariat-syariat keimanan
Jika tuhanku
menghendaki dengan saya kekuatan-Nya
Jika tidak dikehendaki, maka perkara itu kembali kepada
Tuhan Yang Maha Pengasih.
Bersambung (Silsilah Bantahan
Ketiga : Pembelaan terhadap Imam al-Allamah Ibnu Bazz dari Tuduhan Keji si
Jahil al-Mudzabdzab Simpatisan Hizbut Tahrir).