Menangkal Bahaya JIL
(Jaringan Islam Liberal) dan FLA (Fikih Lintas Agama)
Al-Ustadz Hartono Ahmad
Jaiz
Al-Ustadz Agus Hasan
Bashori
Dinukil dari Makalah Bedah Buku di Aula Perguruan Al-Irsyad Surabaya
Agama Islam dan Syir’ah
Setiap Umat
Oleh Hartono Ahmad Jaiz*
Di sini akan dibahas
tentang agama yang satu, yaitu Islam, dan setiap umat punya
syir’ah syari’at), minhaj (jalan), dan mansak (tatacara
ibadah). Tentang agama yang
satu, Islam, sejak nabi pertama
sampai nabi terakhir Muhammad saw agamanya tetap Islam, walaupun syari’atnya berbeda-beda. Tentang syari’at atau syir’atnya
berbeda-beda ini bahkan dalam Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad saw itu sendiri ada juga perbedaan-perbedaan
antara syari’at yang pertama dan kemudian
dihapus dengan syari’at yang kedua (baru), misalnya kiblat yang semula Baitul Maqdis kemudian
dihapus dan diganti dengan Ka’bah di Masjidil
Haram Makkah, namun agamanya tetap Islam. Jadi agama dari Allah tetap satu, Islam, walau syari’atnya bermacam-macam, diganti-ganti dengan syari’at yang baru.
Agama yang lama yang dibawa
oleh nabi terdahulu diganti dengan agama yang baru yang nabi berikutnya, walaupun masih sama-sama Islam, maka orang yang masih hidup wajib mengikuti
yang baru. Syari’at yang lama
diganti dengan yang baru, maka orang yang masih hidup wajib mengikuti yang
baru. Sehingga dengan datangnya Nabi Muhammad saw yang diutus membawa agama
Islam sebagai nabi terakhir, nabi yang paling utama, dan tidak ada nabi
sesudahnya, wajib diikuti oleh seluruh manusia sejak zamannya sampai kelak.
Diutusnya Nabi Muhammad saw ini berbeda dengan nabi-nabi lain, karena nabi-nabi
sebelum Nabi Muhammad saw itu masing-masing hanya untuk kaumnya. Sedang Nabi
Muhammad saw diutus untuk seluruh manusia sejak saat diutusnya (610M) sampai
hari kiamat kelak. Siapa yang tidak mengikutinya maka kafir, walaupun tadinya
beragama dengan agama nabi sebelum Nabi Muhammad saw.
Sedangkan orang yang mengikuti Nabi Muhammad saw pun kalau sudah ada syari’at
baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw pula, lalu pengikut itu
menolak dan ingkar, maka menjadi
kafir pula. Misalnya, orang Muslim yang mengikuti agama
Nabi Muhammad saw, sudah mendapat penjelasan bahwa kiblat yang baru adalah Ka’bah,
sedang sebelumnya kiblatnya adalah Baitul Maqdis; lalu si Muslim itu menolak kiblat
yang baru (Ka’bah), maka kafir pula, sebab menolak ayat-ayat
Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Apalagi yang mengikuti agama nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad saw, begitu datang Nabi Muhammad saw sebagai utusan dengan Islam yang baru, maka wajib mengikuti
Nabi Muhammad saw. Bila tidak, maka kafir.
Kelompok liberal dan juga tim
penulis Fiqih Lintas Agama dari Paramadina Jakarta mencari-cari jalan untuk mempropagandakan
faham yang melawan ketentuan Islam yaitu pluralisme agama, menganggap semua agama sama, sejajar, parallel, dan menuju kepada keselamatan
semua, hanya beda teknis. Mereka
mencari kilah-kilah, dan kadang sampai
membawa-bawa ulama terkemuka seperti Ibnu Taimiyah dikesankan
membela faham pluralisme agama itu. Untuk lebih jelasnya,
kami kutip bagian-bagian yang mereka cantumkan dalam buku mereka, Fiqih
Lintas Agama.
Kutipan:
“Mengenai
Taurat dan Injil, Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa sebagian besar ajaran kitab-kitab suci tersebut tetap
benar, dan hukum-hukum atau syari’atnya masih berlaku untuk kaum
Muslim, sepanjang tidak dengan jelas dinyatakan
telah di-nasakh atau diganti oleh
al-Qur’an.” (FLA, halaman 55, dalam sub judul Menegaskan Kesinambungan dan Kesamaan
Agama-agama). Dan atas dasar persamaan tersebut, al-Qur’an memuat perintah
Allah kepada Nabi saw agar berseru kepada semua penganut kitab suci untuk
berkumpul dalam titik kesamaan, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa (QS. 3: 64).
Bahkan kepada kaum Yahudi dan kaum
Nasrani pun diserukan untuk mentaati ajaran-ajaran yang ada dalam
kitab-kitab suci mereka, sebab mereka yang tidak menjalankan ajaran yang
diturunkan Allah adalah orang-orang kafir, orang-orang zalim (dialamatkan
kepada kaum Yahudi), dan mereka itu orang-orang fasik (dialamatkan kepada kaum
Nasrani) (QS. 5: 44-47). (FLA, halaman 56-57).
Tanggapan:
Ungkapan FLA:
“…al-Qur’an memuat perintah Allah… Bahkan kepada kaum Yahudi dan kaum Nasrani pun diserukan untuk mentaati
ajaran-ajaran yang ada dalam kitab-kitab suci mereka,…” ini adalah kata penutup
dan sebagai kunci dari “aqidah kaum pluralis” yang mereka sebut dalam sub
judul Menegaskan Kesinambungan dan
Kesamaan Agama-agama. Kalimat itu adalah ungkapan bikinan orang-orang berfaham
liberal, berkeyakinan semua agama sama, yang tergabung dalam kelompok penulis
FLA di Paramadina. Di situ mereka telah mengadakan pemlintiran dan pengecohan
yang sangat menyesatkan, sehingga al-Qur’an mereka tuduh terang-terangan
sebagai yang memuat perintah Allah swt agar orang-orang Yahudi dan Nasrani (sekarang pun cukup) mentaati kitab-kitab
mereka, (tanpa masuk Islam, sudah sah keimanan mereka, dan sama dengan
agama-agama lain, sama juga dengan Islam).
Secara susunan
kalimat, memang kalimat bikinan FLA Paramadina itu tidak salah. Tetapi secara
isi dan kontek kalimat-kalimat yang mereka kemukakan itu adalah sangat
bertentangan dengan Islam, sebab mereka telah menyembunyikan hal yang prinsip
yang dicantumkan dalam Al-Qur’an. Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, Tafsir
Al-Qur’anul ‘Adhiem, ketika menafsiri ayat 47 surat Al-Maaidah/5 itu menegaskan:
“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah di dalamnya.”
Maksudnya, agar mereka beriman kepada semua yang dikandungnya dan
menjalankan semua yang Allah perintahkan kepada mereka. Dan di antara yang terdapat
dalam Injil adalah berita gembira akan diutusnya Muhammad sebagai rasul, serta
perintah untuk mengikuti dan membenarkannya jika dia telah ada. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: Katakanlah:
"Hai Ahli Kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan
ajaran-ajaran Taurat, Injil dan Al Qur'an yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari
Tuhanmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka;
maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu. (QS
Al-Maaidah: 68).
Dan firman Allah
Ta’ala: (Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya)
mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang
menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan
yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan
bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS
Al-A’raaf: 157).
Oleh karena itu
Allah berfirman di sini: Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS
Al-Maaidah/ 5: 47). Yaitu orang-orang yang keluar dari ketaatan kepada Rabb
mereka, dan cenderung kepada kebatilan serta meninggalkan kebenaran, dan telah
berlalu bahwa ayat ini diturunkan mengenai orang-orang Nasrani dan itulah yang
tampak dari redaksionalnya. Dari penjelasan Imam Ibnu Katsir itu bisa
dibandingkan betapa jauhnya arah Al-Qur’anul Kariem dari faham pluralisme agama
yang menyamakan semua agama yang diusung oleh firqah liberal dan Fiqih Lintas
Agama produk Paramadina. Ternyata Yahudi dan Nasrani yang tidak mengikuti Nabi
Muhammad saw setelah beliau diutus, dan tidak mengikuti Al-Qur’an yang dibawa
Nabi Muhammad saw maka mereka adalah kafir, tidak dipandang beragama
sedikitpun.
Memlintir Ibnu Taimiyah
Sebelum memlintir
Al-Qur’an, kelompok FLA Paramadina itu juga memlintir Ibnu Taimiyah sebagaimana
tertera dalam kutipan di atas. Untuk membuktikan apakah Ibnu Taimiyah seperti
yang diklaim secara plintiran oleh Tim FLA Paramadina itu atau tidak, maka
berikut ini kami kutip penjelasan Imam Ibnu Taimiyah.
Masalah agama yang
satu (Islam) dan berbeda-bedanya syir’ah, minhaj, dan mansak bagi setiap umat
ini dijelaskan secara deteil oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya
As-Shofadiyah. (As-Shofadiyah, Ibnu Taimiyyah 661-728H, 2 juz, 1406 cetakan 2, Muhaqqiq Dr Muhammad Rasyad
Salim, juz 2, halaman 307 -313). Penjelasannya sebagai berikut:
Allah Ta’ala
berfirman: “Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan),
maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi
peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.
Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang
yang telah
didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi
petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus. (QS Al-Baqarah:
213).
Ibnu Abbas berkata,
Antara Adam dan Nuh adalah 10 kurun, semuanya di atas Islam. Firman-Nya kaanan
naasu ummatan wahidah (“Manusia itu adalah umat yang satu) artinya di atas
kebenaran yaitu agama Islam. Lalu mereka berselisih seperti disebutkan hal itu
dalam Surat Yunus , inilah pendapat jumhur (mayoritas ulama) dan itu yang
betul. Dikatakan, mereka adalah satu umat di atas kebatilan, itu termasuk
(pendapat) yang batil. Karena agama
Allah Ta’ala yang diridhoi bagi diriNya adalah agama yang satu di masa awalin
dan akhirin, yaitu peribadahan kepada Allah saja, tidak ada sekutu baginya. Dan
itulah agama Islam. Sedang bermacam-macamnya syari’at itu seperti
bermacam-macamnya syari’at yang satu untuk sesuatu yang satu. Nabi Muhammad saw
adalah penutup nabi-nabi dan seutama-utamanya para utusan, tidak ada nabi
sesudahnya.
Dan beliau diutus dengan agama Islam, masih Islam agamanya, sedangkan beliau diperintahkan pertama dengan menghadap kiblat ke Shokhroh
Baitul Makdis, kemudian diperintah yang kedua kalinya dengan
(kiblat baru, pen) menghadap Ka’bah, sedangkan agamanya itu satu walaupun
bermacam-macam syari’atnya.
Maka demikian pula firman Allah Ta’ala: “…;
maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah
datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan
jalan yang terang.” (QS Al-Maaidah: 48). Apa yang telah Allah jadikan bagi
setiap kitab berupa syir’ah, minhaj, dan mansak (syari’at, jalan, dan tatacara
ibadah) tidaklah mencegah bahwa agama itu satu. Orang-orang yang dulu berpegang dengan Taurat dan Injil
sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka mereka itu berada di atas agama
Islam, walaupun syari’at untuk mereka
itu hanya khusus bagi mereka. Demikian pula orang-orang yang berpegang pada Injil
sebelum dinasakh (dihapus) dan diganti, maka di atas agama Islam, walaupun
Al-Masih telah menghapus sebagian apa yang ada di Taurat dan menghalalkan untuk
mereka sebagian yang (tadinya) haram atas mereka.
Demikian pula
Muhammad saw diutus dengan agama Islam walaupun Allah menghapus apa yang Dia
hapuskan seperti kiblat (semula kiblatnya Baitul Maqdis di Palestina kemudian
Allah hapus dan diganti dengan berkiblat ke Ka’bah di Masjidil Haram Makkah,
pen). Dan siapa yang tidak mengikuti Muhammad maka dia tidak jadi Muslim tetapi
kafir, dan tidaklah bermanfaat baginya setelah sampai padanya da’wah Muhammad
(lalu masih) memegangi apa yang menyelisihi hal yang diperintahkan Muhammad
saw, karena yang demikian itu tidak diterima (keberagamaannya oleh Allah swt).
Oleh karerna itu
ketika Allah Ta’ala menurunkan ayat,
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah
akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi. (QS Ali Imran 85), lalu orang-orang Yahudi dan Nasrani berkata, kami
orang-orang Muslim (yang menyerahkan diri); maka Allah Ta’ala berfirman,
“…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah” (QS Ali Imran: 97), maka
mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, kami tidak berhaji. Lalu Allah Ta’ala
berfirman, “Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.” (QS Ali Imran: 97).
Dan telah diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi dan lainnya dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Barangsiapa
memiliki bekal atau unta/ kendaraan yang menyampaikannya ke Baitullah dan dia
tidak berhajji maka hendaklah ia mati kalau mau sebagai Yahudi dan kalau mau
sebagai Nasrani.” (HR At-Tirmidzi dan lainnya).
Allah Ta’ala
berfirman: “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang
berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS Ali Imran:
18). Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada
berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang
pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka.
Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat
cepat hisab-Nya. (QS Ali Imran: 19). Kemudian jika mereka mendebat kamu
(Muhammad, tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan
diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan
katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al Kitab dan kepada orang-orang
yang ummi: "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam,
sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka
kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayat-ayat Allah). Dan Allah Maha Melihat
akan hamba-hamba-Nya. (QS Ali Imran: 20). Maka Allah Swt telah mengabarkan
bahwa agama di sisinya itu adalah al-Islam awal dan akhir, dan dia itu agama
yang satu. Kemudian Dia menjelaskan bahwa Ahli Kitab sesungguhnya mereka
berselisih hanyalah setelah ilmu datang kepada mereka lalu kedengkian ada di
antara mereka dari sebagian atas sebagian mereka, bukan karena mencari
kebenaran. Dan ini seperti Firman Allah Ta’ala: “Dan tidaklah berpecah belah
orang-orang yang didatangkan Al Kitab (kepada mereka) melainkan sesudah datang
kepada mereka bukti yang nyata.” (QS Al-Bayyinah: 4). Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS Al-Bayyinah:
5).
Dan Allah berfirman
dalam ayat-ayat yang lain:Dan sesungguhnya telah Kami berikan kepada Bani
Israil Al Kitab (Taurat), kekuasaan dan kenabian dan Kami berikan kepada mereka
rezki-rezki yang baik dan Kami lebihkan mereka atas bangsa-bangsa (pada
masanya). (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 16). Dan Kami berikan kepada mereka
keterangan-keterangan yang nyata tentang
urusan (agama); maka
mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan
karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan
memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu
berselisih padanya. (QS 45: 17). Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas
suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu
dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. (QS 45:
18). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu
sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu
sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung
orang-orang yang bertakwa. (QS Al-Jaatsiyah/ 45: 19).
Perbedaan mutlak
yang dicela Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an adalah kalau setiap golongan
menciptakan perkataan baru yang di dalamnya tercampur haq dan batil, maka
setiap golongan/ kelompok saling berbeda dengan kelompok lain dan saling
bermusuhan, dan masing-masing menyelisihi agama Islam yang Allah utus para
utusan dengannya. Seperti Yahudi dan Nasrani saling berbeda mengenai Al-Masih
dan lainnya. Dan para pengikut hawa nafsu dari umat ini berbeda pula (dengan
kemurnian agama Islam, pen). Maka sesungguhnya Islam adalah tengah-tengah di dalam (kalangan)
agama-agama. Antara “ujung-ujung yang
saling tarik menarik” dan “sunnah dalam Islam” seperti Islam dalam agama-agama.
Maka orang-orang Muslim dalam hal (sikapnya tentang) sifat Allah Ta’ala adalah
tengah-tengah antara Yahudi dan Nasrani. Yahudi menyerupakan Pencipta dengan
makhluk, maka mereka (Yahudi) menyifati Maha Pencipta dengan sifat-sifat
tertentu pada makhluk yaitu sifat kurang (tak sempurna). Mereka berkata,
sesungguhnya Allah itu fakir, dan sesungguhnya Allah itu bakhil, dan Allah itu
lelah ketika menciptakan alam maka Dia beristirahat. Dan (lain lagi) Nasrani,
mereka menyerupakan makhluk dengan Khaliq, maka mereka menyifati makhluk dengan
sifat-sifat tertentu pada Khaliq. Mereka mengatakan, dia (Isa bin Maryam, pen)
adalah Allah. Sedangkan orang-orang Muslim menyifati Khaliq dengan sifat-sifat
yang sempurna dan mensucikannya dari sifat-sifat kurang. Dan Muslimin
mensucikanNya dari adanya tandingan bagiNya dalam hal sifat-sifat kesempurnaan,
maka Dia terbebas dari sifat-sifat kurang secara mutlak. Dan makhluk-makhluk
pun dibersihkan dari sifat-sifat kesempurnaan yang menyamai-Nya.
Demikian pula dalam
hal nabi-nabi, kaum Muslimin bersikap tengah-tengah. Orang Yahudi sebagaimana
Allah firmankan mengenai mereka: “Apakah
setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak
sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara
mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh?” (QS AlBaqarah: 87). Demikian pula mereka
(Yahudi) membunuh nabi-nabi dan membunuh orang yang memerintahkan keadilan di
antara manusia. Dan orang-orang nasrani bersikap ghuluw (ekstrim), maka mereka
menyekutukan Allah dengan mereka dan orang-orang selain mereka. Allah berfirman
mengenai mereka: Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka
sebagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera
Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan. (QS At-Taubah: 31).
Orang-orang Muslim
beriman kepada mereka (para nabi) secara keseluruhan dan tidak membeda-bedakan
antara salah satu dari mereka, karena mengimani seluruh nabi-nabi itu adalah
fardhu lagi wajib, dan barangsiapa kafir/ mengingkari satu nabi (saja) dari
mereka (para nabi itu) maka sungguh dia telah kafir kepada mereka (para nabi)
secara keseluruhan. Dan barangsiapa mencaci seorang nabi dari para nabi maka
dia telah kafir, wajib dibunuh dengan kesepakatan para ulama, dan mengenai
diminta tobatnya ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama). Firman Allah
Ta’ala: Katakanlah (hai orang-orang mu'min): "Kami beriman kepada Allah
dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim,
Ismail, Ishaq, Ya`qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan
Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak
membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh
kepada-Nya". (QS Al-Baqarah: 136).
Dan Firman Allah
Ta’ala: “…akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah,
hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi …” (QS Al-Baqarah:
177).
Dan FirmanNya: Rasul
telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah,
malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang
lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan
kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan
kepada Engkaulah tempat kembali". (QS Al-Baqarah: 285).
Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada
kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma`aflah kami; ampunilah kami;
dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir". (QS Al_Baqarah: 286).
Inti dari uraian
Imam Ibnu Taimiyah itu adalah kalimat beliau: “Dan siapa yang tidak mengikuti
Muhammad maka dia tidak jadi Muslim tetapi kafir, dan tidaklah bermanfaat
baginya setelah sampai padanya da’wah Muhammad (lalu masih) memegangi apa yang
menyelisihi hal yang diperintahkan Muhammad saw, karena yang demikian itu tidak
diterima (keberagamaannya oleh Allah swt).”
Maka pengutipan tim
penulis FLA dari Paramadina terhadap pernyataan Imam Ibnu Taimiyah tanpa
merujuk sumbernya dengan kalimat: “Mengenai Taurat dan Injil, Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa sebagian besar ajaran kitab-kitab suci tersebut tetap benar,…”
(FLA, halaman 55, dalam sub judul Menegaskan Kesinambungan dan Kesamaan
Agama-agama) itu jelas-jelas satu
pengelabuhan, entah itu dengan cara memotong-motong sebagian dari
kalimat-kalimat Imam Ibnu Taimiyah hingga konteksnya jadi lain, atau dengan
cara lainnya. Yang jelas, Imam Ibnu Taimiyah justru mengkafirkan siapa saja
yang tidak masuk Islam setelah sampai kepada mereka da’wah Nabi Muhammad saw.
Dan itu satu bukti nyata, bahwa faham pluralisme agama (menyamakan semua agama)
sama sekali tidak bisa dikait-kaitkan dengan Imam Ibnu Taimiyah. Adapun
orang-orang yang melandasi propagandanya tentang pluralisme agama dengan
mengutip-ngutip pernyataan Ibnu Taimiyah itu boleh dipertanyakan keilmiyahan
mereka secara metodologis, dan bahkan kejujurannya dalam pembahasan secara
akademis.
Pengutipan secara
panjang dari pendapat Ibnu Taimiyah yang saya lakukan ini memang dari segi
metodologi yang biasa dipakai dipandang kurang kena. Tetapi saya mohon maaf,
hal ini saya lakukan karena untuk mencari kejelasan, seperti apa pendapat Ibnu
Taimiyah dalam hal Islam dan agama-agama terutama Yahudi dan Nasrani. Sehingga
terjawablah secara tuntas apabila dengan mengutip secara runtut walaupun
panjang dari uraian Ibnu Taimiyah yang sebenarnya, bukan hanya dicomot-comot
secara semaunya model para penulis FLA, untuk kepentingan yang bertentangan
dengan Ibnu Taimiyah itu sendiri.
Selanjutnya Ibnu
Taimiyah mengemukakan: Islam sesungguhnya hanyalah penyembahan kepada Allah
satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan sesungguhnya Dia disembah hanya
dengan apa yang Dia perintahkan. Maka setiap yang Dia perintahkan, yaitu
ketika sesuatu itu diperintahkanNya maka
termasuk bagian dari agama Islam, dan ketika (perintah itu tadi) telah Dia
larang maka tidak termasuk lagi dari bagian agama Islam. Seperti dahulu
shokhroh (batu di Baitul Maqdis sebagai kiblat) pertama dulunya adalah termasuk
dari bagian agama Islam, kemudian Dia larang (berkiblat lagi) terhadapnya maka
tidak tersisa lagi bagiannya dari Islam.
Oleh karena itu yang
berpegang pada Hari Sabat (hari upacara Yahudi) dan lainnya dari
syari’at-syari’at yang telah dinasakh (dihapus) maka bukan termasuk agama
Islam, lalu bagaimana lagi dengan yang telah diganti. Allah Ta’ala sama sekali
tidak rela terhadap agama selain Islam, dan tidak satupun dari para rasulNya,
lebih-lebih Nabi Muhammad penutup para nabi, beliau tidak rela terhadap
seorangpun kecuali dengan agama Islam, tidak terhadap orang-orang musyrikin dan
tidak pula terhadap orang-orang yang telah diberi al-kitab (Ahli Kitab).
Para Filosuf dan Teolog
Setelah jelas
paparan Imam Ibnu Taimiyah tentang siapa saja yang telah kedatangan seruan
Islam namun tidak masuk Islam maka kafir, pada bagian selanjutnya diuraikan
pula kekafiran para filosuf yang tidak mengikuti agama Rasul. Lalu dikemukakan
pula jauhnya kesesatan filosuf yang berdalih Islam namun jauh dari Islam, dan
juga kesesatan para teolog/ ahli kalam.
Buku Fiqih Lintas
Agama adalah ditulis oleh tim Paramadina yang rata-rata menggeluti filsafat,
dan juga ilmu kalam. Bahkan di antara mereka tidak menggeluti ilmu fiqih secara
spesialistis. Ada yang tadinya belajar fiqih, namun akhirnya “lari” pula ke
filsafat. Oleh karena itu, sorotan Ibnu Taimiyah tentang para filosuf dan
teolog ini perlu kami kutip sebagai berikut: Apabila demikian, maka para
filosuf Yunani, filosuf Arab, Parsi, India dan semua bangsa yang tidak memiliki
kitab suci maka mereka dalam hal perkara-perkara ketuhanan bukanlah dalam
kedudukan ulama Ahli Kitab yaitu Yahudi dan Nasrani, tetapi mereka adalah lebih
tahu daripada mereka mengenai perkara-perkara ketuhanan. Kemudian mereka
semuanya itu di kala seorang rasul datang kepada mereka lalu mereka
mendusktakannya maka mereka kafir.
Dan apabila mereka
berada di atas syari’at rasul dengan mengerjakan syari’at itu dengan tidak ada
penggantian maka mereka mukmin muslim termasuk ahli surga. Dan apabila mereka
tidak berada di atas syari’at dan tidak datang kepada mereka seorang rasul maka
mereka ahli jahiliyah seperti ahli fatrat (masa jeda tidak ada rasul). Dan
telah luas pembicaraan mengenai mereka di lain tempat. Para filosuf yang telah
kedatangan da’wah Nabi Muhammad saw sebagian mereka ada yang berpura-pura/
berdalih dengan Islam, sebagian ada yang dari Yahudi, dan sebagian mereka dari
Nasrani. Dan setiap orang yang menyelisihi apa (wahyu) yang dibawa oleh para
rasul maka dia sesat, dari golongan manapun dia berada. Karena Allah telah
mengutus para rasul itu dengan kebenaran, dan akal yang jelas senantiasa
menyepakati apa yang dibawa oleh para rasul, tidaklah akal yang jelas itu
menyelisihi sedikitpun dari apa yang dibawa oleh para rasul. Ini telah
dibentangkan dalam kitab Dar’u Ta’arudhil ‘Aql wan-Naql. Para filosof yang
berdalih dengan Islam, mereka berkata bahwa mereka mengikuti Rasul, tetapi
apabila disingkap hakekat apa yang mereka katakan mengenai Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitabNya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir, maka jelas bedanya bagi orang
yang mengetahui apa yang dibawa oleh Rasul dan apa yang mereka katakan, dalam
perkara yang sama, bahwa perkataan mereka bukanlah perkataan orang-orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan bukan perkataan Muslimin tetapi di
dalamnya ada perkataan-perkataan dari orang-orang kafir dan munafiqin serba
banyak.
Dan firqoh-firqoh
ahli Kalam (Teologi) beserta bid’ah dan kesesatan mereka lebih dekat kepada
Rasul dan kepada agama Islam (dibanding para filosuf tadi) baik firqoh
Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah maupun Karamiyah. Tetapi tokoh-tokoh mereka
(firqoh-firqoh ahli Kalam/ Teologi) bergumul dalam perdebatan yang rusak secara (dalil) sam’i dan akali. Mereka tidak tahu
agama Islam dalam banyak masalah yang mereka perselisihkan, bahkan mereka
menyandarkan kepada Islam apa-apa yang bukan dari Islam, dan mereka tidak
berkata dalam berdalil dan menjawab terhadap lawan mereka dengan hal yang benar,
tetapi mereka menolak kebatilan dengan kebatilan pula dan menghadapi bid’ah
dengan bid’ah pula.Tetapi kebatilan para filosuf lebih banyak dan mereka lebih
besar penyelisihannya terhadap kebenaran yang diketahui dengan dalil-dalil
syar’I dan akali dalam perkara-perkara ketuhanan dan agama dibanding para
mubtadi’in (ahli bid’ah) dari ahli Kalam (Teologi). Tetapi kelemahan
pengetahuan para Mutakallimin (Teolog) terhadap kebenaran dan dalil-dalilnya
telah menutupi mereka, sebagaimana tentara-tentara fasik (tidak taat aturan
Islam) apabila berperang melawan tentara kafir dalam suatu peperangan, mereka
tidak jadi orang sholehnya orang-orang taqwa dan bukan orang jahatnya
orang-orang kuat (yang membela Islam). Hal itu termasuk yang menyebabkan
orang-orang kafir menguasai mereka, dan kalau kafirin mengalahkan mereka dengan
kedurjanaan dan kedhaliman pun mereka (tentara fasik itu) merasa memperoleh
kemenangan, karena perbuatan jahat itu tempat bergumulnya adalah kejahatan
pula.
Demikianlah uraian
Ibnu Taimiyah, bukan hanya menegaskan kekafiran orang Yahudi dan Nasrani
setelah kedatangan Islam lalu mereka tidak mau masuk Islam, namun juga
kekafiran para filosuf yang tidak mau mengikuti Rasul. Lalu diuraikan pula
posisi filosuf yang berdalih dengan Islam namun sebenarnya jauh dari Islam,
dibandingkan dengan para ahli bid’ah dari ahli Kalam/ Teologi. Para filosuf
yang berdalih dengan Islam namun sebenarnya jauh dengan Islam itu kebatilannya
lebih jauh dibanding firqoh-firqoh ahli
kalam, baik itu Khawarij, Mu’tazlah, Syi’ah, dan Karamiyah. Meskipun demikian,
firqoh-firqoh itu ternyata mudah sekali dikalahkan oleh orang-orang kafir,
bahkan sudah dikalahkan pun masih merasa diri mereka menang.
Setelah melihat
uraian Ibnu Taimiyah yang semacam itu, dan kini tampak jelas gejala bahwa
orang-orang yang menggeluti filsafat dan Ilmu Kalam itu menyusunya kepada
kafirin orientalis di Barat, atau menetek kepada murid dari kafirin orientalis
Barat, maka bisa diperbandingkan. Kini pemandangannya jadi aneh. Bukannya
berperang melawan kafirin, namun mencari dana dari kafirin, lalu untuk merusak
Islam lewat karya-karya yang diatas-namakan ilmu Islam. Betapa jauhnya antara
generasi yang dibahas Imam Ibnu Taimiyah dengan generasi sekarang. Padahal, generasi yang dibahas Ibnu
Taimiyah itu saja dalam menghadapi orang kafir dan menegakkan Islam sudah tidak
ada sumbangan yang menguntungkan bagi Islam, bahkan merugikan. Apalagi generasi
yang sudah nyadong catu (minta jatah) kepada kafirin sekarang ini.
Keterangan :
* Hartono Ahmad Jaiz
adalah ketua Lajnah Ilmiyah LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) di Jakarta. Lahir di Boyolali Jawa
Tengah, 1-4 1953. Tamat Fakultas Adab/ Sastra Arab IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta 1980/1981. Alumni PKU
(Pendidikan Kader Ulama) angkatan III MUI (Mejelis Ulama Indonesia) DKI Jakarta
1997. Wartawan Harian Pelita di Jakarta 1982-1997. Pengisi rubrik Islamika di
Majalah Media Dakwah terbitan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia sejak 1997.
GELIAT
JARINGAN ISLAM LIBERAL, HASIL PERSELINGKUHAN
AGUS HASAN BASHORI, Lc, M. Ag
MUKADDIMAH
Rasul
saw bersabda: “Kamu pasti akan mengikuti jejak-jejak orang sebelum kamu,
sejengkal demi sejengkal, dan selengan demi selengan, hingga mereka masuk ke
dalam lubang Dhabb pasti kalian tetap mengikuti mereka. Kami bertanya: “Wahai
Rasul Allah, Yahudi dan Nasrani? Beliau menjawab: “Lalu siapa lagi (kalau bukan
mereka)?! (HR. Bukhari Muslim, Fath al-Bari’ 13/ 300, Muslim no.
2669).
Potensi jahat tetap ada pada makhluk
manusia termasuk dalam masyarakat muslim. Potensi jahat ini akan menimbulkan
fitnah dalam tubuh umat Islam, jika potensi jahat ini mendapat dukungan dari
pikiran-pikiran orang kafir maka gaungnya dan fitnahnya akan amat dahsyat.
Lebih-lebih bila mendapat dukungan riil dari orang-orang kafir tersebut baik
dari sisi fasilitas, pendidikan dan pelatihan, sarana informatika dan
perpustakaan, jaminan keamanan, dan proyek-proyek yang menjanjikan, maka fitnah
ini akan menggelegar hebat, membakar dan menghancurkan.
Di
antara potensi jahat yang dibesarkan oleh kaum kuffar adalah anak haram JIL
(Jaringan Islam Liberal).
LIBERALISASI
PEMIKIRAN DI DUNIA[i]
Di Amerika telah lama berkembang
pemikiran keagamaan yang mengarah kepada rekontekstualisasi doktrin agama,
pikiran tentang perlunya dialog antar agama, dialog intrareligius dan dialog
praktis. Sementara di EROPA telah pula berkembang pemikiran keagamaan yang
menuntut perlunya reaktualisasi pemikiran keagamaan khususnya di kalangan
Katolik dan Protestan. Bagi mereka abad pertengahan adalah jaman kegelapan (dark ages), maka abad XV dan XVI mereka sebut
sebagai jaman kelahiran kembali (renaissance) karena akal terbebas dari
Bible, lalu abad XVII hingga XIX sebagai jaman pencerahan EROPA yang ditandai
oleh semangat rasionalisasi, para filosof, teolog, psikolog, sejarawan,
politikus, dll menitik beratkan karya-karyanya pada aspek kemanusiaan,
kebebasan dan keadilan.
Karena
arus modernisasi begitu kuat hingga para teolog Barat menafsirkan Bible dengan
tafsiran baru. Oleh karena itu mulailah bergulir gagasan sekularisasi. Sekali
lagi para teolog menegaskan bahwa untuk menghadapi sekularisasi ini, ajaran
Kristiani harus disesuaikan dengan pandangan hidup sains modern. Jadi, doktrin
tentang Tuhan harus diubah menjadi doktrin tentang manusia. Kebahagiaan abadi
yang bermula dari tranformasi kerajaan langit kini harus berubah menjadi
republik bumi.
Awal mulanya mereka mendekonstruksi
agama Nasrani yang memang telah berubah, tidak asli dan tidak dapat memenuhi
hajat mereka. Namun seiring dengan kolonialisme yang mereka lakukan atas dunia
Islam maka kaum imperialis itu menyiapkan sekelompok orang yang bertugas
mempelajari Islam dan segala hal yang berkaitan dengannya demi kepentingan
eksploitasi dan kolonialisasi. Mereka ini dikenal dengan nama kaum Orientalis.
Mereka memperlakukan Islam sama dengan Kristen dan al-Qur’an sama dengan Bible.
Sementara itu di pihak lain kaum salibis menyebarkan misi Kristen di tengah
umat Islam yang tengah mereka kuasai secara politik dan ekonomi.
Maka apa yang kini disebut sebagai era
Globalisasi (abad XX dan XXI) tidak lain adalah proyek bagi tiga musuh umat
Islam yaitu Imperialis, Orientalis dan Missionaris, terutama Amerika.
Hegemoni pengetahuan Barat terlihat
nyata ketika kaum terdidik di negara berkembang (tertinggal, tertindas) dengan
setia dan sadar (ataupun tidak sadar) menyebarkan dan membela nilai-nilai dan
institusi Barat seperti Demokrasi, Civil Society, Hak Asasi Manusia. Semua yang
datang dari Barat diterima sebagai nilai Universal dan merupakan produk terbaik
yang harus diikuti[ii].
Tentu
saja orang-orang muslim yang berpotensi jahat dan terperanjat dengan kemajuan
(dunia materi) Bangsa Barat bersemangat untuk berguru kepada Barat. Namun
sayang, yang mereka pelajari dari Barat bukanlah kekuatan sains yang membuat
mereka maju, melainkan pemikiran keagamaan liberal yang membuat mereka
terjungkal dalam budaya amoral.
Orang-orang
Timur yang telah dididik oleh kaum Orientalis dan telah terbaratkan ini biasa
disebut dengan kaum Oksidentalis (Mustaqhribin), melalui mereka inilah
pikiran-pikiran liberal tersebut tersebar dan berkembang di dunia Islam melalui
tulisan-tulisan mereka atau pengajaran mereka di lembaga-lembaga pendidikan.
Di
antara mereka adalah Fazlur Rahman (asal Pakistan) guru besar di Chicago, yang
terkenal dengan pemikiran Neo Modernisme Islam, yang tertuang dalam
bukunya Islam and Modernity, 1980; Islam, 1884; dan Pintu
Ijtihad 1988.
Mohammed Arkoun asal al-Jazair yang
pindah ke Sorbonne University Prancis dikenal dengan pemikirannya tentang Re-Thinking
Islam dalam ucapannya bahwa al-Qur’an adalah wahyu edisi dunia.
Hasan
Hanafi asal Mesir yang dikenal dengan bukunya al-Yasar al-Islami (Islam
Kiri) dan sebagai seorang pemikir post modernis.
Nasr
Hamid Abu Zaid, asal Sudan yang menggugat kesucian al-Qur’an dan mengatakan
bahwa al-Qur'an adalah produk budaya, bukunya Mafhum al-Nash Dirasah Fi Ilm
al-Qur'an, telah diterjemah dalam bahasa Indonesia oleh Khoiron Nahdiyin, Tekstualitas
al-Qur'an: Kritik terhadap Ulumul - Qur’an, LKIS, Yogyakarta, 2001.
Abdullah
Ahmed An-Naim, asal Sudan, bukunya yang berjudul Toward and Islamic
Reformation Civil Leberties, Human Rights ang International Law (1990) juga
telah diterjemah ke bahasa Indonesia dengan judul Dekonstruksi Syariah,
LKIS, Yogyakarta, 1994.
Muhammad
Abid al-Jabiri, asal Maroko, bukunya Post – Tradisionalisme Islam, juga
telah diterjemahkan dan diterbitkan oleh LKIS, Yogyakarta, 2001.
Farid
Esack di Afrika Selatan, salah satu bukunya diterbitkan oleh Mizan, Bandung,
2000 dengan judul Membebaskan Yang Tertindas: al-Qur’an, Liberalisme,
Pluralisme.
LIBERALISASI ISLAM DI INDONESIA[iii]
Virus pemikiran-pemikiran keagamaan
yang liberal ini sebelum berevolusi menjadi monster JIL agaknya menetas dan
diternakkan dalam dua inkubator, yaitu: Ciputat dan Sapen. Berikut ini sedikit
informasi tentang dua inkubator ini.
a.
Inkubator Ciputat, Jakarta
Yang
dimaksud dengan inkubator Ciputat ini adalah IAIN Syarif Hidayatullah yang kini
menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Embrio
pemikir-pemikir liberal Ciputat identik dengan HMI (KAHMI) yang dimotori oleh
Nurkholish Madjid era 70-an, terus berlanjut ke era 80-an, setelah bergelar
Doktor dari Chicago bersama inkubator Paramadina yang didirikannya tahun 1986,
selain di program Pasca Sarjana IAIN Syahid.
Embrio-embrio yang lain pada era 80-an
hingga 90-an bergabung dalam wadah diskusi yang bernama FORMACI (Forum
Mahasiswa Ciputat). Tokoh-tokoh FORMACI antara lain: Budi Munawar Rachman,
Saiful Muzani, Ihsan Ali Fauzi, Ahmad Sahal, Fachri Ali, dan sebagainya.
Sementara
yang menjadi grand master dari pemuda-pemuda yang liberal ini adalah
Rektor IAIN sendiri yaitu Prof. Harun Nasution, Mu’tazilahnya Indonesia, kader
terkemuka Mc. Gill University, Canada[iv]. Dan yang menjadi Founding Fathers-nya adalah Prof. Munawir
Sadjzali, mantan Menteri Agama RI era Soeharto, yang berperan dalam melakukan
pertukaran dosen dan pengiriman Mahasiswa/Dosen IAIN ke negara-negara barat,
khususnya ke Mc. Gill University di Canada. Pada masanya saja (1983-1993) lebih
dari 200 dosen belajar Islam ke Barat.
Selanjutnya
pada tahun-tahun 90-an, doctor-doktor baru pulang dari Amerika, EROPA dan
sedikit dari Timur Tengah seperti Azumardi Azra (sekarang Rektor UIN),
Komaruddin Hidayat (Yayasan Paramadina), Kautsar Azhari Noer (Paramadina),
Bachtiar Effendy (PP Muhammadiyah), Sa’id Aqil al-Munawwar (Menag), Said Aqiel
Siradj (PBNU), dll. Orang-orang baru ini semakin menguatkan barisan Ciputat.
b.
Inkubator Sapen, Yogyakarta
Tepatnya inkubator ini terletak di desa
Sapen di komplek IAIN SUKA (Sunan Kalijaga) dengan Rektornya Prof. Mukhti Ali
yang pernah menjadi Menteri Agama. Mukhti Ali merupakan seorang tokoh pendiri
gerakan antar agama di Indonesia, dengan mendirikan jurusan perbandingan agama
dalam Fakultas Ushuluddin IAIN. Mukhti Ali juga memiliki kelompok diskusi yang
dikenal dengan Limited Groups Discussion, yang beranggotakan: Djohan Effendy,
Masdar F. Mas’udi, Ahmad Wahib, M. Dawam Raharjo, M. Amien Rais, Kuntowijoyo,
Syafi’i Ma’arif, dll.
Setelah
itu alumni Limited Groups ini aktif di LSM-LSM di Jakarta, Masdar di LP3M dan
kini menggantikan posisi Hasyim Muzadi di PBNU, Dawam pernah di LP3ES, LESFI
dan pernah menjadi Rektor UNISMA Bekasi, sementara Djohan pernah di Litbang
Depag, penah menjadi Mensesneg era Gus Dur dan sekarang menjadi Ketua di
Indonesian Conference Religion and Peace (ICRP) (Dia anggota aliran sesat
Ahmadiyyah), sementara Syafi’i kini menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyyah dan
Pendiri Ma’arif Institute yang menjadi inkubator bagi virus JIMM (Jaringan
Intelektual Muda Muhammadiyyah).
Sejak
2002 inkubator Sapen dipimpin oleh Prof. Amin Abdullah (Ketua Majlis Tarjih PP
Muhammadiyyah) dan didukung oleh Abdul Munir Mulkhan (Ketua Program Studi Agama
dan Filsafat PPs IAIN, Sosiolog), Musa Asy’arie (Derektur PPs IAIN SUKA), dll.
MONSTER JIL – ISLIB
Secara ruhani dan substansi Islam liberal
ini telah digagas oleh Nurkholish Madjid, Djohan Effendi, Abdur Rahman Wahid[v] dan mendiang Ahmad Wahib, namun secara formal makhluk ini lahir sebagai
bentuk evolusi dari pemikiran-pemikiran era 90-an, tepatnya di Jl. Utan Kayu 68
H Jakarta. Bermula dari diskusi maya di mailing list yang didirikan 8 Maret
2001. Pemrakarsanya, sejumlah peneliti atau jurnalis, anak-anak muda. Mereka
aktif di Paramadina, NU, IAIN Ciputat, dll, semisal Ulil Abshar Abdallah dari
Lakpesdam NU dan ISAI (Institut Studi Arus Informasi – KUK Kajian Utan Kayu)
Jakarta, Budi Munawar Rachman (Paramadina), Nasruddin Umar (Rahima), Rizal
Malaranggeng (Freedom Institute), Saiful Muzani (Ohio Unversity), Ihsan Ali
Fauzi (Jerman), Deny JA (Ohio University), Ichan Loulemba, AE. Priyono, Luthfie
Asysaukanie, A. Rumadi, Sugeng, A. Bakir Ikhsan, Nirwan Akhmad Arsuka, Goenawan
Muhammad (Majalah Tempo Jakarta).
Latar belakang berdirinya, karena kecemasan
berlebihan atas maraknya gerakan Islam militan. Seperti tertulis dalam
"Profile" www.Islamlib.com, dinyatakan bahwa lahirnya JIL sebagai
reaksi atas bangkitnya apa yang ia namakan "ekstrimisme, fundamentalisme,
Radikalisme dan Revivalisme; yaitu kelompok umat Islam yang anti Barat dan
masih memegang teguh ajaran dakwah dan jihad".
Meletakkan
istilah “Liberal” terhadap Islam adalah perang tendensius secara Teologis,
Idiologis maupun Metodologis. Sebab Liberalisme sendiri muncul pada masa
Renaisance yang menjadi pemicu terjadinya revolusi Perancis dan Amerika. Yang
menjadi focus dalam Liberalisme adalah kebebasan individual. Kekuasaan negara
harus dipisahkan dari intervensi agama Nashrani (Gereja). Liberalisme
mencetuskan Liberalisasi Politik (John Locke), ekonomi (Adam Smith, David
Ricardo), dan pemikiran (Jeremy Bentham, John Stuart Mill dan Thomas Paine).
Pada kutub yang sama kebebasan beragama (Liberal religius) mendudukkan para
pemeluk dan individu-individunya sebagai pemegang otoritas final dalam menilai
teks-teks sumber suci agama[vi].
Oleh
karena itu Deni JA, kolumnis yang juga anggota JIL menulis, "secara
sengaja, kita harus menempelkan kata Liberal di samping Islam, karena yang kita
perjuangkan bukan interpretasi Islam yang lain, tapi interpretasi Islam yang
Liberal, yang sesuai dengan dasar Negara modern seperti yang berkembang di
Negara maju". Ia juga berkata,
"Islam Liberal adalah interpretasi
Islam yang mendukung atau paralel dengan civic kultur (pro pluralisme, equal
oportuniti, modernisasi,
trust dan tolerance, memiliki
sence of community yang nasional)".
Luthfi juga menulis, "…kalau kita ingin
bebas, bebas dari apa dan bebas untuk apa. Saya kira jawabannya jelas: Liberating
(pembebasan) yaitu bebas dari otoritas masa silam dan Being Liberal (kebebasan)
yaitu bebas untuk menafsirkan dan
mengkritisi otoritas tersebut".
Menurut Greg Barton, prinsip sentral "Islam
Liberal" atau Neo Modernisme: "suatu komitmen pada rasionalitas dan
pembaruan, keyakinan akan pentingnya kontekstualisasi ijtihad, penerimaan
terhadap pluralisme sosial dan pluralisme dalam ajaran agama, serta pemisahan
agama dari partai-partai dan posisi non sectarian Negara". Ringkasnya,
tema-tema besar yang menjadi agenda JIL adalah: Rasionalitas, kontekstualisasi
ijtihad, pluralisme dan sekularisme.[vii]
Pembahasan
yang diusung oleh JIL-ISLIB sebenarnya adalah tema-tema klasik dalam sejarah
firqah-firqah Munharifah. Tetapi mereka menampilkannya secara lebih
vulgar dan berani. Tema itu seperti Islam dan Negara, Islam dan Demokrasi,
Kebebasan Perempuan, Pluralisme
Agama, Toleransi Agama, Kontekstualisasi al-Qur'an, Rekonstruksi Hadits, Sunnah
dan Syari’ah, dan Pemisahan Agam dan Politik.
Untuk
menularkan virus-virus pemikirannya ini JIL memiliki jaringan di seluruh
Nusantara dengan media Koran (Radar) Jawa Pos setiap Minggu, Talk Show Radio 68
H yang disiarkan di seluruh jarigan Islam liberal, Mailist ISLIB,
diskusi-diskusi rutin di KUK – ISAI Jakarta. Selain itu mereka juga menerbitkan
buku-buku seperti buku Wajah Liberal Islam di Indonesia (2002, yang
disunting oleh Luthfi Syaukanie), buku Kekerasan: Agama Tanpa Agama (2002,
Thomas Santoso, ed) yang diterbitkan oleh Pustaka Utan Kayu[viii].
HAKEKAT
ISLAM LIBERAL[ix]
Untuk memahami Islam liberal secara
detail dan adil perlu kiranya kita mengetahui 6 prinsip atau wawasan yang
mereka muat dalam situs mereka Islamlib.com yang diambil pada 7 Oktober
2002, yaitu sebagai berikut:
a. Keterbukaan pintu ijtihad
pada semua bidang
Islam
liberal percaya bahwa “ijtihad” atau penalaran rasional atas teks-teks
keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan
dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara
keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam
akan mengalami pembusukan. IL percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam
hampir semua segi, baik segi ilahiyyat (teologi), ubudiyyat (ritual),
atau –apalagi- mu’amalat (interaksi sosial). Ruang ijtihad dalam bidang ubudiyyat
memang lebih sempit disbanding dengan ijtihad di dua bidang yang lain.
b. Penekanan pada semangat
religio-etik, bukan pada makna literal sebuah teks
Ijtihad
yang dikembangkan oleh IL adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat
religio-etik al-Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata
berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan
“membunuh” Islam. Hanya dengan penafsiran yang mendasarkan diri pada semangat
religio-etik, Islam akan dapat hidup dan berkembang secara kreatif menjadi
bagian dari “peradaban kemanusiaan” universal.
c. Kebenaran yang relatif, terbukan
dan plural
Islam
liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang “kebenaran” (dalam penafsiran
agama) sebagai sesuatu yang “relatif”, sebab sebuah penafsiran adalah “kegiatan
manusiawi” yang terkungkung oleh konteks tertentu; “terbuka”, sebab setiap bentuk
panafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; “plural”,
sebab sebuah penafsiran keagamaan dalam satu akan lain cara, adalah cermin dari
kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
d. Pemihakan pada yang minoritas
dan tertindas
Islam
liberal mendasarkan diri pada suatu penafsiran keislaman yang memihak kepada
“yang kecil”, minoritas, tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur
sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidak-adilan atas yang minoritas
adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam
maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, budaya, politik,
ekonomi, orientasi seksual, dll. Keadilan gender adalah satu masalah yang kami
anggap penting, sebab struktur sosial kita masih didasarkan pada gagasan
patriarkal yang berlawanan dengan ide keadilan dalam Islam.
Penafsiran-penafsiran keagamaan yang tidak memperhatikan soal keadilan gender,
kami anggap tidak sesuai dengan prinsip keadilan Islam.
e. Kebebasan beragama dan
berkepercayaan
Islam
liberal menganggap bahwa urusan “beragama” dan “tidak beragama” adalah hak
perorangan yang harus dilindungi. IL tidak bisa membenarkan prosekusi atas
dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
f. Pemisahan otoritas duniawi
dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam
liberal percaya pada keniscayaan pemisahan antara kekuasaan keagamaan dan
politik. IL tidak membenarkan gagasan tentang negara agama di mana otoritas
seorang ulama atau kiai dipandang sebagai kekuasaan tertinggi yang tidak bisa
salah. Bentuk negara yang sehat untuk pertumbuhan agama dan politik adalah
suatu negara di mana dua wewenang itu dipisahkan. Agama adalah sumber inspirasi
yang dapat mempengaruhi kebijakan pubik, tetapi agama tidak serta merta mempunyai
“privelese transedental” yang tidak bisa disangkal untuk menentukan segala
bentuk kebijakan publik. Pada akhirnya, agama adalah bekerja pada ruang privat
dan perorangan. Urusan publik haruslah diselenggarakan melalui proses “ijtihad
kolektif”, di mana pelbagai pihak boleh saling menyangkal, di mana kebenaran
ditentukan secara “induktif” melalui adu dan uji pendapat.
PERSELINGKUHAN JIL – ISLIB DENGAN MUSUH-MUSUH ISLAM DAN
SUNNAH
JIL dan ISLIB adalah anak haram, hasil
perselingkuhan dan pelacuran yang dilakukan oleh sebagian orang muslim dengan
orang-orang kafir dan ahli bid’ah. Perbuatan amoral ini bukan melahirkan
manusia, melainkan melahirkan seekor monster pemakan manusia dan perusak alam
semesta.
Tanda-tanda
perselingkuhan dan pengkhianatan akad syahadah ini tercecer di
mana-mana, terlihat jelas oleh setiap orang yang berakal waras. Di antara
indikator-indikator itu adalah:
1.
Nama aliran dan nama jaringan: “Islam Liberal”.
Bila kita telusuri, maka Islam Liberal
ini adalah bermarga Kristen.
Liberal
dijadikan sebagai nama sebuah aliran keagamaan pertama kali dilakukan oleh
pendeta Jerman Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834). Dia adalah
pendiri sekte Kristen Protestan liberal dan sekaligus dijuluki sebagai Bapak
Hermeneutika modern[x].
Pada
tahun 1950-an Asaf Ali Asghar Fyzzee (1899-1981) intelektual muslim India
menggulirkan istilah Islam Liberal sebagai reaksi dari kejumudan intelektual
Islam di India[xi].
Pada tahun
1988, Charles Kurzman (Asisten
Profesori Sosiologi pada University of North Carolina, Chapel Hill) mengedit sebuah buku yang berisi tulisan 32 tokoh muslim berjudul Liberal Islam:
A Sourcebook (Oxford University Press, New York).
Pada tahun 1999, Paramadina bekerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi dan The Ford Foundation dalam menerbitkan buku “Gagasan Islam Liberal di
Indonesia”, terjemahan dari
karya disertasi Greg
Barton, Ph. D dari Departement
of Asia Studies and Lenguages, Monash
University, Australia.
Pada bulan
Juni 2001, Paramadina dengan Yayasan Adikarya dan The Ford Foundation kembali menerbitkan buku yang berjudul Wacana Islam Liberal, terjemahan dari buku Charles Kurzman (Penerjemahan dilakukan sebelum bulan Juni, pengantar
penerbit ditulis pada April 2001)[xii].
Pada
waktu yang hampir bersamaan yaitu 8 Maret 2001, lahirlah sebuah organisasi para
virus yang bernama Jaringan Islam Liberal (JIL).
Allah I
berfirman:
كَذَلِكَ
قَالَ
الَّذِينَ
مِنْ
قَبْلِهِمْ
مِثْلَ
قَوْلِهِمْ
تَشَابَهَتْ
قُلُوبُهُمْ
قَدْ
بَيَّنَّا
الْآيَاتِ
لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ(118)
“Demikian pula orang-orang yang sebelum mereka telah
mengatakan seperti ucapan mereka itu; hati mereka serupa. Sesungguhnya Kami
telah menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Kami kepada kaum yang yakin.”[xiii]
2.
Pendekatan dalam memahami al-Qur’an
Protestan Liberal, agar dapat keluar dari kungkungan
Bibel, menawarkan cara baca baru yaitu Hermeneutik. Rumus teori Hermeneutik
Schliermacher ini didasarkan pada analisis terhadap pengertian tata bahasa dan
kondisi sos – bud – kejiwaan pengarangnya dan kondisi lingkungannya, ini sangat
penting untuk memahami makna suatu teks. Oleh karena itu Schliermacher dijuluki
sebagai Bapak pendiri Hermeneutika umum / modern.
Wacana
Hermeneutik terus dikembangkan oleh para sarjana Barat dan para orientalis
Yahudi dan Kristen sampai Islam Liberal menjadikan Hermeneutik sebagai andalan
dalam membaca al-Qur’an.
Maka
tidak heran jika di Indonesia terbit puluhan buku tentang Hermeneutik seperti:
1.
Bongkar Tafsir: Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik
2.
Hermeneutika al-Qur’an
3.
Hermeneutika Transendental
4.
al-Qur’an, Hermeneutika
dan Kekuasaan
5.
Hermeneutika pembebasan
Buku ini ditulis Ilham B. Saenong. Dalam pengantarnya Prof.
Dr. Amin Abdullah, Ketua Majelis Tarjih MD (Rektor IAIN SUKA) menulis:
“Terlepas dari tafsir-tafsir klasik al-Qur’an tidak lagi memberi makna dan
fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam”, hal. xxv – xxvi (Media Dakwah,
Juli 2003, h. 24).
Maka
tidak heran jika aktivis JIMM pada pertemuannya ke-2 di Malang 18 Nopember 2003
menurunkan tulisan:
1. al-Ruju’ Ila al-Qur’an, Dari Kebebalan Foundationalisme menuju Pencerahan
Hermeneutik (Zakiyuddin Baidhawi, Ketua)
2. Hermeneutika teoritis dan praktis, Khasanah kritis dan Liberal dalam
penafsiran kitab suci al-Qur’an (Hilman Latief)
3. Kembali ke al-Qur’an perspektif Hermeneutika pembebasan (M. Hilaly Basya)
Sementara
koordinator JIL, Ulil menyebut bahwa tafsir al-Qur’an selama ini adalah
tekstualis –ini adalah Bibliolatri (Huxley) atau Watsaniyyah menurut Fahmi
Huwaidi– Jika tidak dibongkar maka
lingkaran setan pemahaman keagamaan yang al-Kitabiyyah atau Skipturalistik
tidak bisa diatasi[xiv].
3.
Teologi Inklusif - Pluralis
Ulil
mengatakan: “Semua agama sama, semua agama menuju jalan kebenaran. Jadi Islam
bukan yang paling benar. Pemahaman serupa terjadi di Kristen selama
berabad-abad. Tidak ada jalan keselamatan di luar Gereja. Baru pada tahun 1965
M. Gereja katolik di Vatikan merevisi paham ini, sedangkan Islam yang berusia
1.423 tahun dari Hijrah Nabi, belum memiliki kedewasaan yang sama seperti
Katolik”[xv]. Coba perhatikan: nama ikut Protestan, kedewasaan ikut Katolik???
Paramadina
menulis buku “FLA membangun masyarakat inklusif pluralis”
4. Mendukung Kristenisasi
a. Pendeta Dr. Josias L. Lengkong, M. Div, M.Th, Ph.D menulis buku “Jihad
Kristen –Adakah kesamaan jihad Islam dan jihad Kristen” (2003)?. Di dalamnya
Lengkong mengajak umat Islam untuk memahami al-Qur’an dengan prinsip umum
Hermeneutik, umat Islam dan Kristen perlu menyatukan persepsi untuk menggalang
potensi yang ada dalam semangat jihad …… membentuk wadah ……. yang bisa disebut
jihad Pancasila – jihad Nusantara.
Kitab ini diberi kata pengantar oleh Prof. Dr. Ahmad
Syafi’i Ma’arif Putra Sumpur Kudus Sumbar, dia mengatakan: “Saya menganjurkan
baik umat Kristen maupun umat Islam untuk membaca buku ini demi memperluas
wawasan kita terhadap kekayaan ajaran dan budaya yang terdapat di dalam
al-Kitab dan al-Qur’an[xvi]. Hanya dengan cara inilah masa depan kita sebagai bangsa dapat
diselamatkan[xvii]”.
PM Israel Jitzak Shamir, di pembukaan Konferensi Madrid
menuntut orang Arab menghapus kata Jihad[xviii].
b.
Sebelumnya Pendeta Bambang Noorsena,
pendiri KOS: Kanisah Ortodok Syiria menulis buku “Menuju
Dialog Teologi Kristen – Islam”. Pada hal.
167 dicantumkan Qonun al-Iman al-Muqaddas (syahadat iman) KOS:
قانون
الايمان
المقدس نؤمن
برب واحد عيسى
المسيح ابن
الله الواحد،
المولود من
الاب قبل كل
الظهور، نور
من نور، إله
حق من إله حق،
مولود غير
مخلوق، واحد
مع الاب في
الذات، الذي
به كان كل شىء.
هذا الذى من
أحلبنا نحن
البشر ومن أجل
خلاصنا، نزل
من السماء...
ومن مر يم
العرراء
البتول واله ة
الاله
Diberi kata penutup oleh Prof. Dr. KH. Said Aqiel Siradj
MA: “Dari ketiga macam tauhid di atas (Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Tauhid
Asma’ wa Sifat) maka Tauhid KOS tidak memiliki perbedaan yang berarti dengan
Islam[xix].
c. Tahun 2000, pendeta Wienete Sairin M.Th., pernah jadi Sekretaris Umum
Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) menulis buku dengan judul “Tempat
dan Peran Yesus di Hari Kiamat menurut Ajaran Islam”. Di dalamnya
dinyatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an tentang kematian Yesus sangat kontradiktif
sekali.
Buku
ini diberi pengantar Prof. Dawam Raharjo, mengatakan:
“Buku
ini cukup mewakili pandangan Islam”.
“Buku
ini cukup fair bagi orang Islam”.
“Trinitas itu memberi makna yang fungsionalis dalam
kehidupan konkrit umat Kristen, keyakinan bahwa Yesus itu anak Allah atau
penjelmaan Tuhan dalam diri seorang manusia memang sulit dipahami oleh orang
Islam. Hal ini dikarenakan orang Islam tidak hidup dalam tradisi keyakinan ini”[xx].
d. Natalan 25 Desember adalah bid’ah Kristen, yang pada hakekatnya adalah
menyembah Dewa matahari.
MUI dengan penuh amanah telah memutuskan fatwa haram bagi
umat Islam menghadiri Natal dan mengucapkan selamat Natal.
Tapi orang-orang sekuler dan liberal malah membolehkan /
menghalalkan. Mereka adalah: Dr. Alwi Shihab, Mr. Moeslim Abd. Rahman, Gus Dur,
M. Quraisy Syihab,TIM Penulis buku FLA (Nur Kholis Majid, Kautsar Azhari Noer,
Komaruddin Hidayat, Masdar F. Mas’udi, Zainun Kamal, Zuhairi Misrawi, Budhy
Munawar Rahman, Ahmad Gaus AF dan Mun’im A. Sirry).
5. Paradigma berpikir
a.
Tentang agama /evolusi agama[xxi]
Ulil di Kompas
18 Nopember 2002 mengatakan:
“Saya meletakkan Islam pertama-tama sebagai sebuah organisasi yang hidup, sebuah agama yang berkembang sesuai dengan denyut nadi
perkembangan manusia”.
Gagasan ini disebutnya sebagai Graduality / wahyu
progresif, ini berakar pada filsafat “evolusi masyarakat”. (agama = fenomena sosial).
1.
Bermula dari Charles Robert Darwin yang
pada Nopember 1859 menerbitkan buku The Origin of Species . teori evolusi
Darwin yang menggunakan pendekatan biologis ini telah mempengaruhi para
sosiolog Barat. Jadi ilmu alam
(biologi) jadi dasar ilmu sosial.
2. Auguste Comte dengan teori Positivismenya: Agama itu bermula dari agama
pagan, kemudian Monotheis.
3. Herbert Spencer = agama bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di
dunia kemudian dimodifikasi menjadi kepercayaan kepada kekuatan nenek moyang,
kemudian muncul Tuhan-Tuhan.
4.
Emile Durkheim
5.
Max Weber
Jadi Islam juga berevolusi supaya tidak
ahistoris, tidak arkhaik (membeku dan memfosil). Jadi Islam progresif
adalah Islam Liberal.
b.
Tentang al-Qur’an
c.
Kebebasan individu dalam menafsiri agama
d.
Skularisme
e.
HAM, Gender, dll
6. Keanggotaan
1.
Djohan Effendi (Deakin University Australia = anggota
resmi aliran sesat Ahmadiyyah di Yogyakarta. Pada masa Soeharto
ia memimpim rombongan ke Israel bersama Gus Dur, dan dia juga
penyunting buku Catatan Harian Ahmad Wahib (1981) ketika di Depag dan
di Sekneg jaman Presiden Gus Dur, dia melindungi
aliran-aliran sesat termasuk LDII (Bahaya aliran 78).
2.
Dr. Kautsar Azhari
Noer, anggota Asosiasi Pecinta ibn Arabi Internasional
(Tauhid ibn Arabi – Tertinggi jika bukan satu-satunya
Tauhid yang benar).
3.
Jalaluddin Rahmat, Yayasan Muthahar
Bandung. (Syi’ah).
4. Haidar Baqir (Dirut Penerbit Mizan, Bandung (dikenal Syi’ah))
5. Gus Dur, dikenal sebagai anggota Laskar Kristus dan Institut Simon Peres
Israel?!
7. Pendidikan
1.
Ahmad Wahib (Qur’an
bukan wahyu tapi produk budaya,
Bid’ah harus diperbanyak, Islamnya gabungan dari Nasionalis,
Katolik, Budha, Protestan, Komunis dan Humanis. Karl Marx dan Frederich Engels
– Penghuni surga tingkat pertama.
Dia
kuliah di UGM / FIPIA Yogyakarta, terus ke Perguruan tinggi Nasrani Sekolah
Tinggi Teologi dan Filsafat Driarkara di Jakarta.
2. Ulil Abshar – tadinya di LIPIA, tahun terakhir –rapor merah- ke STTF
Driarkara Jakarta berguru kepada Frans Magnis Suseno.
3. Ismet Natsir, penyunting buku Ahmad Wahib: Alumni Kampus Katolik STTF
Driarkara Jakarta
4. Profesor dan Doktor Jebolan Barat (Nur Kholis, Syafi’i Ma’arif, Kautsar
Azhari Noer. dll)[xxii].
8. Pendanaan:
-
The Ford Foundation
-
The Asia Foundation yang berkedudukan
di Amerika Serikat. Dr. Utang Ranuwijaya (Wakil Ketua Komisi Pengkajian
MUI) menyebutnya sebagai Yayasan yang berhati belang.
9. Pembelaan:
FLA ditulis untuk membela Syi’ah,
Mu’tazilah, dan orang-orang kafir yang –menurut mereka- telah diperlakukan secara diskriminatif oleh Islam dan oleh ulama Islam[xxiii].
10. Fasilitas
11. Perlindungan
12. Dll.
Demikianlah makalah yang belum
rampung dan amat singkat ini semoga bermanfaat. Amien.