OPINI Kamis, 24 Oktober 1996 Surabaya Post Keberhasilan Transfer Iptek dari Luar Negeri ----------------------------------------------------------------------- oleh Udisubakti Ciptomulyono [Image] [Image]Pemerintah pada akhirnya menyadari juga, ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) memegang peran penting dalam pembangunan nasional, bahkan masa depan bangsa dipertaruhkan dan digantungkan padanya. Ini terlihat sebagai misal, dengan dicanangkannya Hari Kebangkitan Teknologi Nasional Pertama pada 10 Agustus lalu. [Image]Sejalan dengan itu, kesepakatan kita untuk komitmen pada GBHN menetapkan, sumber daya manusia (SDM) adalah sentral dari pembangunan nasional. SDM yang berkualitas dan bangsa yang menguasai Iptek adalah bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa terpisahkan. [Image]Di paparan lain kita juga mengakui, sumber Iptek berada di luar negeri, negeri maju. Ketertinggalan Iptek nasional ini tak terlepas dari koinsidensi sejarah saat perkembangan awal Iptek di zaman revolusi industri terjadi, pada negara-negara yang sekarang menjadi sumber Iptek --negara-negara maju, dengan konsolidasi kapitalisme dan pembagian kerja tata dunia pada negara penghasil bahan baku (negara kolonial), sekarang negara berkembang. [Image]Bahkan Iptek sudah menjadi aset negara maju yang tak mudah begitu saja secara gratis dan terbuka dilakukan transfer ke negara berkembang. Lebih tegas lagi, Iptek menjadi faktor kompetitif suatu bangsa. [Image] Tolok Ukur [Image] Pemerintah Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini banyak memberikan beasiswa ke luar negeri untuk studi lanjut, jenjang pendidikan S2 maupun S3, serta berbagai pelatihan di lembaga pendidikan tinggi dan pusat riset di luar negeri (negara maju). [Image]Tentu saja salah satu tujuan dan sasaran akhir yang diharapkan, adanya transfer Iptek lewat para lulusannya yang memperoleh proses pendidikan di luar negeri. [Image]Tapi masalahnya, apakah itu efektif bila tanpa ada perencanaan pengembangan Iptek, skala prioritas, program terpadu dengan pendidikan nasional, tolok ukur dan pengawasan yang memadai serta bargaining position yang kuat dari pemerintah menghadapi institusi pendidikan di luar negeri? [Image]Tentu mengartikan keberhasilan transfer Iptek tak hanya dengan sekadar menghitung jumlah karya siswa (penerima beasiswa) yang tugas belajar ke luar negeri, pulang ke tanah air membawa ijazah. Karena sangat banyak juga kualitas perguruan tinggi (PT) di luar negeri tak lebih baik dibanding PT di dalam negeri. [Image]Kalau misalnya para mahasiswa itu bisa berhasil mendapatkan tempat belajar di lembaga PT yang bereputasi akademis baik, penulis skeptis mereka (para pembimbing/personel akademis dan laboratorium) bersedia ikhlas melakukan transfer state of the art-nya dari Iptek itu kecuali yang sudah "kedaluwarsa" kepada para mahasiswanya. [Image]Sebab saat ini Iptek bagi suatu bangsa adalah aset. Iptek diperlakukan sebagai political goods, dan trading goods antarbangsa. [Image]Tentu terlebih dulu mereka akan melihat nilai "imbalan" yang mereka pandang seimbang, sehingga tak aneh bila meski sudah diterima di PT yang baik, dibimbing oleh profesor yang kompeten, masih sering gagal memasuki/melakukan penelitian di pusat-pusat riset mereka yang tercanggih. [Image]Sungguh perkembangan yang paradoksal, berbagai perlakuan protektif yang lazim kita temui di Eropa, bahkan di dunia akademis yang seharusnya mengedepankan kebebasan, keterbukaan demi kebenaran ilmiah yang objektif dan universal. [Image]Sebaliknya kalau berhasil melakukannya, maka muncul pertanyaan, apakah kemudian Iptek yang dipelajari itu relevan dan kontekstual dengan permasalahan lokal dan lingkungan kita? [Image]Kita sering lupa, agenda penelitiannya itu tak lain "tema" riset untuk kepentingan mereka sendiri, sehingga kalau diimplementasikan di tanah air tak kontekstual dengan persoalan lokal. [Image]Bagaimanapun Iptek itu utilitarian, tak bisa berkembang dalam sistem nilai yang kosong. Kita membutuhkan transfer Iptek yang cocok dengan nilai-nilai dan tujuan jangka panjang pembangunan nasional. [Image]Sayangnya kita masih samar mendiskripsikan Iptek jangka panjang yang kita kehendaki, program pengembangan Iptek juga keperluan sumber SDM-nya serta bidang Iptek yang mesti kita transfer dari luar. [Image]Bahkan program prioritas pengembangan Iptek nasional, dikaitkan dengan pengembangan SDM-nya, penulis meragukan apakah kita pernah memilikinya atau tidak. Kalau sudah memiliki, apakah kita cukup konsekuen melaksanakan programnya? [Image]Keadaan di lapangan ternyata memang masih tambal sulam. Hasil angket pendidikan program penempatan karya siswa Indonesia pada jenjang S2 dan S3 di lembaga pendidikan tinggi Prancis yang dilakukan oleh PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) (Djuhaeni, 1992), memberi kesimpulan menarik. [Image]Dari total 344 karya siswa Indonesia yang belajar di Prancis 46,5% merasa ditempatkan oleh pihak pengelola beasiswa/konsultan (pihak ketiga) pada bidang Iptek yang tak sesuai programnya. [Image]Program di sini diartikan sebagai bidang atau pengetahuan yang ingin atau direncanakan untuk ditekuni mahasiswa Indonesia itu di PT Prancis, karena keinginan pribadi maupun pengarahan institusinya. [Image]Sedang 45,9%, meski bukan pilihan sendiri tapi merasa ditempatkan pada bidang yang sesuai programnya. Tapi sekitar 50% dari mereka, saat melakukan topik penelitian ditentukan oleh profesornya. Hanya 7,6% dari total karya siswa yang memperoleh penempatan program studi yang disetujui pihak Prancis (pihak ketiga) juga sekaligus yang sesuai usulan sendiri dan program yang diemban oleh institusinya. [Image]Karenanya wajar, dan bisa dipahami pengalaman belajar di luar negeri bagi 49,5% dari mereka menyatakan hanya menambah wawasan, 7,89% merasakan ada penyerapan dan pengembangan Iptek, dan sisanya 42,81% dari mereka mengatakan Iptek yang didapat hanya pengulangan dari yang sudah mereka dapat sebelumnya. [Image] Pesimistis [Image] Kalau saja hasil angket itu benar (penulis tak memiliki data tahun terakhir) juga program pendidikan, manajemen pengelolaan beasiswa di negara lain sama yang dipaparkan, maka beberapa kesimpulan pesimistis dapat diungkapkan. [Image]Pertama, jelas akan banyak doktor/master sepulang dari luar negeri tak bisa melanjutkan dan mengembangkan kemampuan Iptek-nya, terutama bagi kelompok yang salah program, juga bagi mereka yang topik-risetnya ditetapkan oleh profesornya. Sebab melakukan studi dan pengembangan riset bukan karena didorong batin dan nuraninya, tapi karena "keterpaksaan". [Image]Program riset yang dipilihkan juga bisa diragukan, apakah memiliki kontekstualitas dengan permasalahan lokal dan relevansi kebutuhan riil pengembangan Iptek nasional jangka panjang. Apalagi banyak dijumpai para calon doktor ini hanya sekadar melaksanakan proyek profesor di laboratoriumnya. [Image]Kedua, kemungkinan memang pemerintah tak memiliki skala prioritas pengembangan dan rincian Iptek mana saja yang harus ditransfer (baca "dicuri") dari luar negeri demi untuk pengembangan Iptek secara terpadu. [Image]Ini terbukti dari kenyataan, sudah banyak mahasiswa salah program, pemerintah tak bertindak dan mengoreksi atau meminta pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga (pengelola beasiswa). [Image]Ketiga, dimungkinkan hanya sebagian kecil saja dari para ahli Iptek jebolan dari luar negeri yang memang benar-benar terus bisa mengembangkan dan mentransfer kemampuan Iptek di dalam negeri. [Image]Ini yang bisa diharap dari mereka yang berasal dari kelompok 7,6%, dari mereka yang menerima Iptek "tak salah jalur". Itu pun kalau semua persyarat infrastruktur pengembangan Iptek seperti peralatan riset, jurnal ilmiah, dana, dan sebagainya tersedia seperti saat para sarjana ini melakukannya di luar negeri. [Image]Untuk menjadi unggul memang tak ada kata quick yielding process, lebih-lebih lagi dalam Iptek. Penguasaan Iptek dalam konteks kapasitas pribadi seorang pakar Iptek harus melalui suatu proses elaborasi rasa curiosity yang tinggi, akumulasi sistematis, pemahaman yang apresiatif dan evolutif dari satu bidang Iptek yang memang sudah, sedang, dan akan ditekuni dan dikembangkan. [Image]Transfer Iptek dari negara pemiliknya dengan cara mengirim langsung agent of transfer-nya yaitu para mahasiswa Indonesia ke luar negeri, memang salah satu cara efektif, tapi kalau memiliki program yang terarah, terencana, terpadu, dan terkendali dengan ketat dan transparan sesuai prioritas pengembangan dan kebutuhan Iptek nasional. [Image]Kalau tidak, dalam satu sisi mungkin kita nanti akan berhasil dalam program "doktorisasi", tapi dalam segi kualitas perlu dipertanyakan. [Image]Era globalisasi adalah era kompetisi, juga dalam hal Iptek. Karena industri sebagai tulang punggung aktivitas ekonomi terutama sangat mengandalkan Iptek dan manusia yang menguasainya. Mempersiapkan pendidikan untuk mengatasi globalisasi tak mungkin hanya mengejar kuantitas produksi elite masyarakat pemegang ijazah S2 atau S3 "made in luar negeri", tanpa melihat faktor kualitas dan kecocokannya pada strategi pengembangan Iptek menjawab kebutuhan pembangunan. [Image]Faktor-faktor yang disebut terakhir ini justru menjadi faktor kompetitif yang decisif. Kalau kita abaikan pada gilirannya akan menimbulkan biaya sosial yang menjadi beban masyarakat di kemudian hari. [Image]Sasaran peningkatan kuantitas orang yang berkesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi harus dibarengi peningkatan kualitas pendidikan. Pada kesempatan pertama adanya pengarahan yang tajam, sasaran dan prioritas pengambilalihan Iptek dari negara maju dan didukung oleh strategi yang jitu, terkoordinasi dan terpadu dengan sektor pembangunan lain, menjadi syarat penting yang perlu dikedepankan dalam program transfer Iptek. [Image] Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana di Universite d'Aix Marseille-III Prancis.