Surabaya Post, 3 Maret 1997 opini:

UNIVERSITAS DI EROPA DALAM KRISIS

oleh Agus Sugianto

Karyasiswa Program S3 Universitas Montpellier II, Prancis

Dosen FMIPA Unair Surabaya

Oktober 1995 lalu, ribuan mahasiswa dari Fakultas Sain Universitas Rouen Prancis turun ke jalan menuntut pemerintahnya agar menambah jumlah dosen dan anggaran 2,4 juta dolar USA pada universitasnya. Alasannya banyak laboratorium tanpa suplai bahan penelitian, bahkan mesin fotokopinya tanpa kertas. Walaupun pemerintah memenuhi sebagian permintaannya, tetapi pada bulan Nopember dan Desember semua mahasiswa di Prancis berdemonstrasi menuntut kondisi universitas yang terlalu banyak jumlah mahasiswanya dan kekurangan dana.

Sementara hampir bersamaan waktunya, tetangganya mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Berlin melakukan hal serupa, menuntut perubahan kondisi karena kurangnya kursi untuk kuliah bersama materi pengantar yang diikuti lebih dari 1000 mahasiswa. Mahasiswa harus duduk di lantai atau mengikuti kuliah lewat televisi di ruang sebelahnya.

Universitas publik

Bagaimana ke dua negara "champion" ilmu ini bisa sampai ke kondisi ini? Akar permasalahannya dimulai tahun 1960an, saat terjadi reformasi universitas. Universitas bukan untuk elit tertentu, tetapi terbuka seluas-luasnya untuk masyarakat. Sejak saat itu kedua negara ini memberi jaminan bebas biaya untuk masuk universitas bagi lulusan SMA. Perubahan ini kemudian diikuti oleh peningkatan jumlah mahasiswa yang dramatis. Awalnya di kedua negara ini terjadi peningkatan jumlah fakultas dan pendanaannya, bahkan membangun kampus-kampus baru. Tetapi sekarang, karena resesi ekonomi yang serius, sumberdaya terbatas jauh dari yang dibutuhkan jumlah mahasiswa yang ada. Terlebih lagi Jerman, ia harus menginvestasikan jutaan dolar USA untuk membangun kembali Jerman Timur (bekas komunis).

Walaupun universitas di kedua negara ini bersifat publik, namun universitas di Prancis dalam pelaksanaannya masih mempertahankan "sistem elite" dengan pelaksanaan ujian yang sangat banyak dan pemberian ijasah setiap tahun. Tujuannya untuk menjaring mahasiswa-mahasiswa unggul dan cemerlang. Sebagai bukti: lebih 40% setiap tahun mahasiswa Prancis terpaksa drop out tanpa ijasah di dua tahun pertama Universitas (first cycle). Tahap first cycle ini tahap seleksi yang paling berat dan syarat untuk bisa meneruskan ke tahap second cycle (licence=sarjana muda, dan maitrise=sarjana). Konsensus di Prancis menerapkan persyaratan yang cukup tinggi untuk bisa terus belajar di universitas. Ini dilakukan untuk menjaga kualitas lulusan tingkat yang lebih tinggi DEA (S2) dan Docteur (Doktor/S3).

Sebaliknya di Jerman, sistem pendidikan tingginya didasarkan pada kesamaan. Semua mahasiswa mendapat perlakuan yang sama, sedikit/tanpa bimbingan selama studinya. Mahasiswa Jerman termasuk yang paling lama untuk menyelesaikan masa studi S1nya di Eropa, rata-rata 7 tahun. Pemerintah Jerman meminta untuk melakukan kontrol kualitas pengajaran di universitas dan memperpendek masa studi S1. Namun permintaan itu serasa menyakiti tradisi akademik Jerman Barat. Di negara ini universitas tidak mempunyai kepekaan tanggungjawab dalam pengajaran. Ini disebabkan karena pengajaran tidak diperhitungkan dalam karir di universitas. Profesor/dosen diupah, dipromosikan dan dinaikkan pangkatnya menurut kesuksesannya dalam penelitian bukan dalam pengajaran yang baik. Sistem kenaikan pangkat seperti ini juga berlaku di Prancis. Di dua negara ini Profesor diperlakukan sebagai pelayan masyarakat/abdi negara dengan masa kerja yang lama, tidak ada hukuman bagi cara pengajaran yang buruk, dan evaluasi pengajaran sangat jarang. Tradisi pengajaran masih lebih baik di universitas bekas Jerman Timur.

Karena terbatasnya anggaran, bagaimanapun sekarang kedua "pabrik ilmuan" di Eropa ini harus berjuang untuk melawan terhentinya spiral sistem universitas publik yang dibanggakan. Di kedua negara ini, masalah meledaknya jumlah mahasiswa dan menurunnya anggaran universitas merupakan agenda setiap tahunnya. Sehingga sekarang Prancis dan Jerman merupakan negara yang paling kecil mengalokasikan dana bagi mahasiswanya dibandingkan dengan negara-negara industri lainnya (OECD, 1995).

Banyak profesor pesismis bahwa perubahan, kerja baik bisa dilakukan dengan dana yang terbatas. Sementara yang lain berpendapat bahwa perlu dilakukan diskriminasi (seleksi) untuk masuk universitas, mengingat anggaran yang terbatas. Namun pertanyaan akan muncul bila ingin mereformasi universitas menuju otonomi, bagaimana keputusan dibuat dan siapa yang membuatnya? Ini tidak mudah, beberapa profesor mengusulkan mengurangi peran komite universitas dan menggantinya dengan rektor atau dekan dalam mengambil keputusan. Kalaupun bisa dilakukan tetap akan dihadang oleh kuatnya peran pemerintah. Semua keputusan universitas harus diketahui oleh pemerintah walaupun hanya merubah aturan ujian.

Untuk mereformasi sistem yang sudah " pecah " ini (demikian julukan mereka), kedua negara memang dihadapkan pada penghalang yang besar: semua keputusan tentang dana, staf dan gelar yang dibutuhkan dilakukan oleh pemerintah (menteri pendidikan nasionalnya). Universitas tidak punya otoritas untuk memenuhi sendiri cara penyelesaiannya. Pemerintah menginginkan semua fungsi universitas sama dan melarang/menghentikan universitas yang coba-coba melakukan eksperimen.

Mahasiswa Belanda paling santai

Di Belanda dan Inggris, kondisinya tidak jauh berbeda. Mahasiswa Belanda yang terkenal paling santai di Eropa, kini harus dapat menyelesaikan insinyurnya (S1) dalam waktu 4 tahun. Padahal sebelum tahun 1970 rata-rata ditempuh dalam 8 tahun. Ini terjadi karena mulai tahun 1970an pemerintah dihadapkan dengan ledakan jumlah mahasiswa, sementara anggaran terbatas. Pemerintah menekan universitas agar mahasiswa dapat menyelesaikan S1 dalam 4 tahun seperti yang dilakukan oleh banyak negara maju lainnya. Pendidikan tinggi harus terbuka seluas-luasnya bagi masyarakat. Sejak saat itu universitas mulai melaksanakan kurikulum yang sama dengan kualitas lulusan yang sama pula.

Situasi ekonomi yang keras, pada tahun 1994, menuntut pemerintah Belanda kembali melakukan reformasi pendidikan tinggi melalui program yang diberi nama HOOP (Rencana Penelitian dan Pendidikan Tinggi). Program ini memotong anggaran pendidikan tinggi sebesar 125 juta dollar USA. Menurut pemerintah pemotongan itu sangat beralasan dengan pertimbangan bahwa jumlah mahasiswa mulai berkurang (akibat menurunnya laju kelahiran), mengurangi lamanya waktu belajar untuk mendapat gelar S1 (karena rata-rata masih ditempuh dalam 5,2 tahun) dan mengurangi jumlah mahasiswa yang dropout. Tapi yang paling menarik dari program ini adalah ditariknya kebijaksanaan uniformitas. Dengan demikian kini universitas-universitas tidak lagi menyelengarakan kurikulum yang sama. Setiap universitas diberi hak melakukan spesialisasi agar lebih kompetitif.

Sementara di Inggris, jika 10 tahun lalu hanya 1 dari 7 lulusan SMA yang masuk ke Perguruan Tinggi, maka sekarang (sampai akhir abad ini) ditargetkan 1/3 lulusan SMA akan melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Seperti halnya negara Eropa lain yaitu terbatasnya anggaran, pemerintah Inggris melakukan reformasi besar-besaran sistem pendidikan tinginya. Mungkin Inggris merupakan negara yang paling radikal melakukan perubahan di Eropa, dalam usahanya untuk bisa berakses lebih luas lagi untuk menjadi satu sistem universitas elit di era industrialisasi ini. Pemerintah mengubah status semua college menjadi universitas, meningkatkan penelitian dan pengajaran pada semua institusi, dan menekan universitas agar berkompetisi satu sama lainnya untuk menarik dan menahan mahasiswa bila ingin mendapat dana dari pemerintah. Bila target ini tidak tercapai universitas akan mendapat sangsi yaitu dikuranginya anggaran operasional. Sekarang semua universitas di Inggris harus berjuang dan berkompetisi untuk "survive".

Lingkungan yang kompetitif ini akhirnya memaksa universitas harus melakukan perubahan manajemen terhadap gaya organisasi jurusan-jurusan (tradisional). Universitas Manchester misalnya, ia menggabungkan semua jurusan ilmu-ilmu biologi (mikrobiologi, genetika, fisiologi dll) ke dalam satu unit yang diberi nama School of Biological Sciences. Hampir 10% staf universitas bekerja di school ini. Dengan membuat 4 komite pengajaran dan 6 divisi penelitian, school dapat mengawinkan kebutuhan mahasiswa dengan keahlian staf menjadi lebih efisien bila dibandingkan dalam bentuk jurusan-jurusan. Turunnya anggaran juga merangsang universitas ini untuk berinovasi, yaitu memanfaatkan penggunaan komputer dalam pengajaran "the computer as lab assistant". Sistem universitas tua/elit seperti Cambridge dan Oxford tidak tersentuh oleh reformasi. Mereka mempunyai sumber dana spesial (struktur kolegial federal) dan tidak ada kesulitan dalam menarik mahasiswa berkualitas tinggi.

Program pascasarjana

Bagaimana dengan program pasca sarjana (PS)? Program PS juga terpengaruh, walau tidak separah program S1. Di Prancis bagi semua mahasiswa yang ingin masuk program Doctorat (Doktor/S3) harus melewati tahun pertamanya (tahun evaluasi) di program DEA (setara S2). Walaupun tingkat kelulusan program DEA cukup tinggi 80%, namun banyak laboratorium atau pusat-pusat riset tidak mau menerima lulusan DEA ke program S3 jika mereka tidak memiliki beasiswa (baik dari pemerintah Prancis atau sumber lain). Karena terbatasnya beasiswa hanya 20% lulusan DEA bisa terus ke program S3. Di program DEA inilah para mahasiswa Prancis berkompetisi untuk merebut beasiswa yang terbatas itu. Sepuluh tahun yang lalu, memang banyak laboratorium dan pusat riset yang memberikan beasiswa kepada mahasiswa program S3, tapi kini anggaran yang ada hanya cukup untuk pengembangan risetnya sendiri. Perlu diketahui sebagian besar " karyasiswa " Indonesia yang belajar di Prancis (juga di Inggris, Belanda dan Jerman) mendapat beasiswa dari Pemerintah Indonesia.

Di Inggris pendidikan program PS tidak terlalu terkena imbas pengetatan anggaran. Mahasiswa PS membawa uang (yang berasal dari berbagai sumber: lembaga riset, tempat kerjanya atau uangnya sendiri) untuk membiaya studinya. Sekarang dengan 20% lulusan universitas masuk ke program PS, merupakan sumber lain bagi universitas untuk mendapatkan dana. Tercatat tidak kurang dari 40 ribu mahasiswa PS dari luar Uni Eropa belajar di Inggris. Ini membuktikan bahwa standar kualitas pendidikan PS di negara ini tetap terjaga dengan baik.

Secara umum supervisi dan bimbingan terhadap mahasiswa program Doktor di Eropa masih dilakukan dengan baik. Ini bisa dipahami karena hasilnya memang menyangkut kredibilitas para supervisornya. Hasil riset harus bisa dipublikasikan di jurnal ilmiah internasional atau dipresentasikan di forum seminar internasional. Ada dua pendapat yang masih dipertentangkan berkenaan dengan fokus penelitian thesis program S3. Satu pihak menginginkan penelitian difokuskan dengan kebutuhan pasar (industri) namun dipihak lain masih menginginkan pendekatan tradisional (ilmu untuk ilmu).

Sementara keputusan belum juga ditetapkan, dan reformasi sendiri masih dalam state of flux. Akhirnya sambil terus bergelut dengan reformasi, para profesor percaya terlalu awal untuk mengatakan apakah sistem ini baik atau tidak bagi negaranya, karena sulit memprediksi dampaknya. Belum lagi masih dihadapkan dengan tingkat pengangguran yang sangat tinggi, sekarang ini. Semakin kompleks lagi memikirkannya. Itulah realita yang ada. Bagi kita, kenyataan di atas barangkali cukup baik digunakan sebagai bahan renungan. (Agus Sugianto, Montpellier, Prancis)*** 1