 |
Medan, 10 Oktober 2000
“Beli tabloid Bintang Indonesia, ada Anggun”, bukan’nya nanya kabar…tetapi justru itu kalimat pertama kakakku waktu menelepon interlokal dari Jakarta ke Medan siang bolong.
Dan sesudah mengucapkan kalimat itu, telepon langsung ditutup. Huh, tidak sopan! Padahal aku masih ingin tanya-tanya sekalian mau minta uang untuk beli CD Chrysalis. Aku baru punya kasetnya saja, dan tidak punya uang lagi untuk beli CD’nya.
Tabloid Bintang Indonesia sudah ditangan, setelah dibolak-balik…kok tidak ada artikel Anggun?
Setelah membolak-balik halaman tabloid sampai kira-kira 15 kali (sambil mulai menghafal kata-kata yang akan aku ucapkan untuk bertengkar dengan kakakku nanti), akhirnya tiba-tiba mataku menemukan sebuah kolom kecil disudut bawah.
Ada tulisan :
“Pengen ketemu Anggun? Pengen ngobrol sama Anggun?Pengen nonton pentas’nya Anggun?Ikuti saja kuis Anggun!”
“Wahhh, aku mau!!!!!!!!!”. Spontan aku berteriak kegirangan.
“Saya juga mau, Mas”.
Ternyata abang penjual majalahnya termasuk tipe kabel…nyambung saja. Salahku sendiri juga, bersorak kegirangan kok tidak pilih-pilih tempat. Hanya orang gila yang berteriak-teriak kegirangan dikawasan persimpangan lampu merah seperti yang baru saja aku lakukan.
“Emang mau apa’an sich, mas?”, tanya dia lagi. Yeeee….kira’in sudah mengerti. Jadi yang tadi itu asal nyambung atau latah ya?
Tetapi hatiku langsung nelangsa, karena salah satu persyaratan peserta kuis adalah harus yang berdomisili di Jakarta.
Setelah putar otak, aku mengirim kartu pos kuis Anggun dengan memanipulasi alamat. Aku mencantumkan alamat rumah kakakku yang di Jakarta, bukan alamatku yang di Medan. Tuhan, ampunilah dosa hambamu ini.
|
Medan, 14 Oktober 2000
“Tadi kamu ditelepon tabloid Bintang Indonesia. Katanya kamu boleh ketemu Anggun hari Senin”. Hari ini kembali kakakku telepon interlokal lagi dari Jakarta ke Medan siang bolong. Habis bicara begitu, tumben telepon’nya tidak langsung ditutup seperti biasa untuk menghemat pulsa.
“Oh, yang itu…” , aku memberi respon seolah baru mendapat kabar yang biasa-biasa saja.
“Lho, udah tau ya?”, kakakku sedikit kesal karena gagal memberi kejutan.
“Belum sich”. Kali ini aku yang langsung menutup telepon setelah nyengir penuh kemenangan.
Skor sementara untuk saat ini adalah satu sama.
Selanjutnya aku meloncat-loncat diatas tempat tidurku hingga aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh kesamping menimpa meja belajar.
Bunyi gaduhpun langsung terdengar karena lampu baca jatuh tersungkur.
“Apa itu yang jatuh?”, tanya Mama dari dapur sambil berteriak.
“KTP, Ma!”, jawabku takut-takut dengan pengucapan yang disengaja tidak jelas supaya Mama tidak bertanya lagi.
“Apa?”, ternyata telinga Mamaku tidak bisa dibohingin.
“Eh ini Ma, lampu baca’nya jatuh”.
“Kenapa bisa jatuh?”.
Ya ampun, aku jadi curiga. Ini beneran Mama atau Polisi Intel yang menyamar jadi Mama? Pertanyaannya kok lanjut terus seperti satpam menginterogasi maling jemuran.
“Loncat sendiri, Ma!”.
“Apa…?”.
Ya ampun Ma, pura-pura cuek saja dong. Sekali ini saja.
“Maaf Ma, tadi kena senggol waktu aku loncat-loncat. Jadi jatuh”, akhirnya aku jujur.
“Bagus!”
“Iya Ma, memang bagus”.
Sebuah jeweran yang cukup mematikan langsung mendarat dikupingku. Ternyata Mama sudah ada dibelakangku.
Ketemu Anggun hari Senin? Sekarang hari Sabtu malam. Acaranya di Jakarta, sementara saat ini aku masih ada di Medan. Kondisi keuangan yang morat-marit tidak bisa membuat aku bermimpi terbang ke Jakarta malam ini juga untuk bertemu Anggun.
Naik bis ke Jakarta, bisa makan waktu berhari-hari.
Naik pesawat, uang untuk beli tiketnya darimana? Malam-malam begini tidak ada bank yang buka untuk dirampok.
Malam itu aku dengan wajah nelangsa sempat hampir menangis curhat kepada Mamaku. Mama hanya bisa ikut prihatin, tidak bisa berbuat apa-apa.
Yang aku ingat, Mama hanya bilang…
“Nggak apa-apa. Mungkin memang belum saatnya kamu bertemu Anggun. Tetapi pasti akan ada waktunya, waktu yang lebih baik dan tepat”.
Dan kata-kata Mama itu cukup membuatku sedikit terhibur.
Tetapi malam itu ketika hendak tidur, setelah berdoa…tanpa sadar ada sungai kecil mengalir dari sudut mataku. Untunglah aku sendirian malam ini, sebab apa nanti kata dunia kalau mereka melihat aku menangis. Pasti langsung dibilang airmata buaya.
|
Medan, 15 Juni 2000
Minggu pagi, sepulang dari gereja…tiba-tiba aku seperti mendapat keajaiban dari Tuhan. Kakakku bersedia membayar tiket pesawat ke Jakarta dengan catatan pulang ke Medan aku harus naik bis karena sudah tidak ada uang untuk naik pesawat satu kali lagi.
Selain merasa gembira, terbersit juga rasa haru karena kebaikan hati kakakku.
Aku tau kalau keuangan kakakku waktu itu juga sedang tidak ‘sehat’. Dan siang itu, aku terbang ke Jakarta naik Garuda yang harga tiketnya mahalnya minta ampun.
Didalam pesawat sempat ditanya-tanya sesama penumpang dan pramugari, “Orangtua’nya dimana, Dik? Kok sendirian saja?”,
Hellooooooooooo….I’m already twenty!!!!!!!!!!!
Mendarat di bandara Sukarno Hatta, aku langsung bertingkah sok orang Jakarta biar tidak diusili orang-orang jahat yang katanya kerap mengincar pendatang dari luar Jakarta.
Saking sok jadi orang Jakarta, aku sampai keliru naik Bus Damri sehingga sempat salah jurusan sampai kemana-mana.
Dengan mengandalkan insting sok tau dan naluri kucing yang kumiliki, akhirnya aku berhasil sampai dirumah kakakku di daerah Ciputat - Jakarta Selatan dengan selamat.
Bayangkan, aku sebenarnya sudah sampai di Jakarta jam 4 sore…tetapi baru sampai dirumah jam 9 malam karena pakai acara kesasar kemana-mana dulu.
|
Jakarta, 16 Oktober 2000
Pagi ini aku diantar kakakku ke kantor Bintang Indonesia dan langsung ditinggal disana karena kakakku juga harus balik arah menuju kekantor’nya dibilangan Cilandak, Jakarta Selatan.
Bersama 3 orang pemenang kuis lain’nya dari Jakarta, kami diantar oleh salah satu perwakilan Bintang Indonesia kekantor Sony Music Indonesia di Menteng.
Ternyata disana udah ngumpul para pemenang kuis dari kota lain seperti Bandung, Jogya dan Semarang.
Aku langsung sibuk nanya-nanya ke mereka, sejak kapan suka Anggun dan rentetan pertanyaan standar lainnya. I hope they didn't hate me for that.
Di Sony Music sempat di-briefing oleh pihak Sony Music tentang jadwal acara bersama Anggun dan juga mendapat beberapa merchandise Anggun seperti CD,kaset, poster dan T Shirt.
Pssst...., diam-diam aku sempat menculik platinum album 'Snow On The Sahara' yang dipajang didinding kantor Sony Music agar aku bisa berpose seolah-olah aku yang dapat platinumnya. Pokoknya norak banget deh!
Sony Music Indonesia, terima kasih ya!!!!!!!!!!!!!!!
Selanjutnya kami dibawa ke Hotel Regent tempat Anggun menginap dan mengadakan konferensi pers siang itu.
Dari jauh kira-kira dengan jarak 50 meter, aku melihat Anggun memasuki ruangan di’iringi riuh tepuk tangan para wartawan yang memadati ruangan. Lho, kok rambutnya pendek?
Sepanjang acara konferensi pers, aku hanya bisa mendengar suara Anggun berbicara lewat microphone, karena pandanganku terhalang oleh tubuh-tubuh besar para wartawan dan photographer yang rata-rata berpostur algojo. Bisa remuk body’ku yang mungil ini kalo disuruh desak-desakan dengan mereka demi bisa melihat Anggun secara langsung.
|
 |