Kepada
Yang Terhormat Yang Mulia Bhikkhu
Sebelum
saya meminta petunjuk tentang beberapa hal, saya ingin
mengucapkan selamat kepada Yang Mulia atas 50 tahun Pengadian
pada Buddha Dhamma dan yang lebih penting adalah bagi kebaikan
umat manusia. Beberapa tahun terakhir ini, saya diajukan
pertanyaan oleh beberapa teman saya yang gay yang ingin tahu
bagaimana pandangan agama Buddha tentang homoseksual. Pada saat
itu, sangat sedih harus dikatakan bahwa homoseksual dipandang
sebagai pukulan dalam masyarakat yang tidak mempunyai hal yang
bisa dilakukan selain mempunyai nafsu seksual. Pandangan klise
ini telah menyebabkan diskriminasi terhadap kaum homoseksual di
tempat kerja bahkan lebih dari itu di negara-negara asia.
Sepengetahuan
saya, dalam Agama seperti Islam dan Kristen mengutuk homoseksual
tetapi saya bertanya pada diri sendiri bagaimana dengan agama
Buddha? Sebagai seorang homoseksual yang mempraktekkan Agama
Buddha saya tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal
ini.
Sebenarnya
ada banyak pertanyaan saya tentang Homoseksual. Yang Mulia telah
menulis banyak publikasi yang menjelaskan tentang rasionalitas
dan kebijaksanaan dalam Buddhisme. Bila saya boleh memberi
saran, kiranya Yang Mulia juga dapat menulis sebuah buku
“Agama Buddha dan Homoseksualitas” karena saya merasakan
banyak sekali orang yang bingung tentang hal ini. Ini juga dapat
memperbaiki pandangan masyarakat tentang homoseksual.
Surat
ini saya akhiri disini dengan harapan agar Yang Mulia selalu
dalam keadaan sehat dan baik, dan semoga Yang Mulia dapat terus
membimbing kita dan menunjukkan kita pada jalan Dhamma.
Terima
kasih atas email anda, saya senang bahwa anda mengangkat masalah
ini dimana saya merasa begitu penting apa yang terjadi disekitar
kita didunia ini. Kita tidak bisa berpura-pura bahwa aspek
kebiasaan manusia ini memalukan dan jika kita mengabaikannya
untuk waktu tertentu maka ia akan hilang begitu saja. Saya
setuju bahwa itu harusnya dibahas lebih mendalam pada buku,
tetapi itu memerlukan waktu. Untuk saat ini, saya berharap
dengan penjelasan singkat ini kami dapat mengetahui sikap
seorang umat Buddha terhadap homoseksualitas.
Dimulai
dengan tingkah laku sekarang ini yang banyak dipengaruhi oleh
Tudor – pendekatan kristen yang terdapat dalam Alkitab yang
menentukan porsi oleh pemikiran yang terbatas era victoria
diabad ke 19.
Di
Asia, khususnya India dan China, seks tidak pernah dianggap
sebagai sesuatu yang jorok saja, yang hanya akan yang diturunkan
secara sembunyi-sembunyi dan hanya untuk alasan pendidikan saja.
Ukiran batu pada dinding Pura Hindu di India banyak memberikan
kesaksian pada fakta bahwasannya semua kebiasaan seksual (termasuk
masturbasi) adalah ekspresi dari KAMA,
bahwa kesenangan nafsu keinginan dapat dituruti dalam
batasan tertentu dalam Dhamma, yang hal ini adalah sesuatu yang
baik. Sebagai makhluk hidup kita dilengkapi dengan jasmani yang
sangat membutuhkan kesenangan akan berbagai hal (tidak hanya
seks) – pada makanan, wangi yang menyenangkan, musik, dll.
Jika kita menghindari hal ini untuk tidak menjadi penuh dosa,
artinya kita menekan keinginan alami yang mana dapat
mencelalakan kita. Mereka yang menjadi korban dari MAYA (ketidak-tahuan/kebodohan)
melihat tubuh ini sebagai suatu yang nyata dan kemauan kuat
untuk memenuhi keinginanya termasuk KAMA. Bila makhluk itu
semakin dewasa secara spiritual maka MAYA akan digantikan dengan
VIDYA (pengetahuan) dan PANNA (kebijaksanaan). Oleh sebab itu,
ketika tubuh ini dilihat sebagai illusi, maka ia akan secara
alami meninggalkan kemauan kuat tersebut. Disini dapat kita
lihat bahwa makhluk yang mulia akan meninggalkan seks seiring
dengan kedewasaannya seperti seorang anak yang berhenti bermain
mainannya sejalan dengan pertumbuhan mereka. Pada hakekatnya
tidak ada yang salah tentang Seks. Apa yang salah adalah terikat
dan diperbudah olehnya, mempercayai bahwa kesukaan dalam seks
dapat memberikan kebahagiaan sebenarnya. Ini adalah masalah
industri media hiburan sekarang ini yang exploitasi seks dengan
memberitakan bahwa seks dapat memberikan kebahagiaan yang tak
berkesudahan
Sila
ketiga dari Pancasila Buddhis yang kita lafalkan pada setiap
hari kebaktian adalah: berusaha untuk melatih diri menghindari
perbuatan seksual yang salah. Pertama, yang harus kita
perhatikan bahwa tidak ada paksaan – tidak ada ketakutan akan
hukuman atas pelanggar peraturan tuhan, tetapi ketika kita
menyadari bahaya akan kemelekatan pada seks, kita dengan bebas
dapat mengambil langkah (aturan pelatihan) untuk berkembang
bersama itu contohnya “saya berusaha”
Selanjutnya
kita akan melihat istilah “hubuganan seks yang salah” –
dalam hal ini yang kita bicarakan adalah hubungan seks yang
salah bukan semua kebiasaan seksual. Seks tidak dilarang bagi
mereka yang tidak memilih untuk hidup selibat. Yang terakhir ini
dengan sukarela mereka menjalankannya untuk menghindari seks
agar dapat memfokuskan diri pada
perkembangan spiritual mereka. “yang salah” dalam hal
ini diartikan sebagai kebiasaan yang merugikan mereka yang
melakukan perbuatan itu atau lawannya. Ini dapat dikatakan
apabila kedua belah pihak dikategorikan sebagai orang dewasa
maka tidak ada “kerugian” yang ditimbulkan. Dalam Agama
Buddha kita tidak menganggap sebuah perbuatan “penuh dosa”
dalam arti apabila kita melanggar perintah tuhan. Kita melakukan
kesalahan karena ketidaktahuan yang akan mengakibatkan
Akusala-kamma (perbuatan yang tidak bermutu) yang akan
memperlambat atau menganggu perkembangan spiritual kita. Karena
ketidak-tahuan kita tentang sifat alami dari segala sesuatu (dalam
hal ini tubuh kita) kita melakukan hal yang merugikan kita
sendiri dari sudut pandang spiritual. Kebijaksanaan dan
pengetahuan akan membantu kita untuk menghindari perbuatan yang
merugikan, baik bagi tubuh maupun mental.
Dalam
hal ini, Agama Buddha tidak mengakui bahwa pernikahan sebagai
suatu institusi yang berkuasa untuk mensahkan sesuatu sehingga
dengan seketika seks dianggap OK. Seks adalah suatu kegiatan
manusia yang tidak ada hubungannya dengan surga dan neraka. Kamu
akan menyadari bahwa menahan diri dari hubungan seksual hanya
merupakan satu dari Pancasila Buddhis. Membunuh lebih serius
karena kamu dapat melukai makhluk lain dengan kejam. Seks
disebabkan oleh keinginan seperti ketagihan pada makanan,
minuman keras, obat-obatan, kekayaan dan kekuasaan. Keterikatan
akan hal-hal ini akan membuat kita melakukan Akusala-kamma.
Agama Buddha membuat kita untuk meringankan keterikatan kita
pada ketergatungan-ketergantungan seperti itu karena itu akan
dapat membuat kita semakin terperosok dalam Samsara. Suka
melakukan seks dapat membuat kita melakukan hal-hal buruk yang
lain.
Dari ini kami dapat melihat bahwa
Agama Buddha tidak melihat Homoseksual sebagai sesuatu
yang salah dan Heteroseksual sebagai suatu yang betul. Keduanya
adalah kegiatan seksual yang menggunakan tubuh, keduanya adalah
ekspresi yang kuat akan nafsu yang akan meningkatkan keinginan
akan kehidupan dan kita akan terperangkap lebih lama dalam
Samsara. Apakah dua orang atau satu pasangan jatuh cinta, itu
merupakan ungkapan atas keterbatasan manusia bahwa tidak melihat
tubuh ini sebagai ketiadaan dari kenyataan sebenarnya . Agama
Buddha tidak mengutuk Homoseksualitas seperti halnya tidak
mengutuk perbuatan jahat yang lain. Kita melakukan sesuatu
karena ketidak-tahuan tentang sifat alami dari segala sesuatu,
oleh sebab itu kita hanya bersalah pada Akusala-kamma (perbuatan
yang tidak bermanfaat). Kita tidak mempunyai hak untuk mengutuk
yang lain. Kewajiban kita adalah untuk membantu yang lain agar
mereka dapat melihat bahwa mereka melakukan kebodohan, dan
menunjukkan bagaimana kebahagiaan sebenarnya dapat digapai. Kita
tidak mempunyai hak untuk mengutuk mereka yang berpikir atau
melakukan sesuatu yang berbeda dengan kita apalagi bila kita
sendiri masih diperbudak oleh kesenangan hawa-nafsu dalam bentuk
yang lain. Kita tahu bahwa ketika kita menunjukkan satu jari
pada orang lain, tiga yang lain menunjuk diri kita sendiri.
Sebagai
rangkumannya, homoseksualitas seperti heteroseksual muncul dari
ketidaktahuan, dan dapat dipastikan bukan penuh dosa seperti
dalam pengertian Kristen. Semua bentuk seks akan meningkatkan
nafsu, keinginan dan ketertarikan pada tubuh. Dengan
kebijaksanaan, kita belajar untuk melepaskan semua keterikatan.
Kita tidak mengutuk Homoseksualitas sebagai sesuatu yang buruk
atau penuh dosa, tetapi kita juga tidak mentolerir hal itu
karena itu juga seperti bentuk sex yang lain, memperlambat
pembebasan kita dari Samsara.
.