| Buddhisme dan Homoseksualitas |


YM. Bhikkhu K. Sri. Dhammananda Mahathera 

Kepada Yang Terhormat Yang Mulia Bhikkhu

 Sebelum saya meminta petunjuk tentang beberapa hal, saya ingin mengucapkan selamat kepada Yang Mulia atas 50 tahun Pengadian pada Buddha Dhamma dan yang lebih penting adalah bagi kebaikan umat manusia. Beberapa tahun terakhir ini, saya diajukan pertanyaan oleh beberapa teman saya yang gay yang ingin tahu bagaimana pandangan agama Buddha tentang homoseksual. Pada saat itu, sangat sedih harus dikatakan bahwa homoseksual dipandang sebagai pukulan dalam masyarakat yang tidak mempunyai hal yang bisa dilakukan selain mempunyai nafsu seksual. Pandangan klise ini telah menyebabkan diskriminasi terhadap kaum homoseksual di tempat kerja bahkan lebih dari itu di negara-negara asia.

Sepengetahuan saya, dalam Agama seperti Islam dan Kristen mengutuk homoseksual tetapi saya bertanya pada diri sendiri bagaimana dengan agama Buddha? Sebagai seorang homoseksual yang mempraktekkan Agama Buddha saya tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal ini.

 Berikut ini adalah merupakan beberapa pertanyaan saya:

  1. Apakah Agama Buddha mengutuk Homoseksual?

  2. Apabila seorang umat Buddha yang mempratekkan Buddha Dhamma, tetapi juga merupakan seorang Homoseksual apakah beliau dapat dikatakan melanggar sila terutama sila tentang menghindari hubungan seksual yang salah?

  3. Jika dua orang pria saling jatuh cinta, apakah mereka bersalah?

Sebenarnya ada banyak pertanyaan saya tentang Homoseksual. Yang Mulia telah menulis banyak publikasi yang menjelaskan tentang rasionalitas dan kebijaksanaan dalam Buddhisme. Bila saya boleh memberi saran, kiranya Yang Mulia juga dapat menulis sebuah buku “Agama Buddha dan Homoseksualitas” karena saya merasakan banyak sekali orang yang bingung tentang hal ini. Ini juga dapat memperbaiki pandangan masyarakat tentang homoseksual.

 Surat ini saya akhiri disini dengan harapan agar Yang Mulia selalu dalam keadaan sehat dan baik, dan semoga Yang Mulia dapat terus membimbing kita dan menunjukkan kita pada jalan Dhamma.

Terima kasih atas email anda, saya senang bahwa anda mengangkat masalah ini dimana saya merasa begitu penting apa yang terjadi disekitar kita didunia ini. Kita tidak bisa berpura-pura bahwa aspek kebiasaan manusia ini memalukan dan jika kita mengabaikannya untuk waktu tertentu maka ia akan hilang begitu saja. Saya setuju bahwa itu harusnya dibahas lebih mendalam pada buku, tetapi itu memerlukan waktu. Untuk saat ini, saya berharap dengan penjelasan singkat ini kami dapat mengetahui sikap seorang umat Buddha terhadap homoseksualitas.

Dimulai dengan tingkah laku sekarang ini yang banyak dipengaruhi oleh Tudor – pendekatan kristen yang terdapat dalam Alkitab yang menentukan porsi oleh pemikiran yang terbatas era victoria diabad ke 19.

Di Asia, khususnya India dan China, seks tidak pernah dianggap sebagai sesuatu yang jorok saja, yang hanya akan yang diturunkan secara sembunyi-sembunyi dan hanya untuk alasan pendidikan saja. Ukiran batu pada dinding Pura Hindu di India banyak memberikan kesaksian pada fakta bahwasannya semua kebiasaan seksual (termasuk masturbasi) adalah ekspresi dari KAMA,  bahwa kesenangan nafsu keinginan dapat dituruti dalam batasan tertentu dalam Dhamma, yang hal ini adalah sesuatu yang baik. Sebagai makhluk hidup kita dilengkapi dengan jasmani yang sangat membutuhkan kesenangan akan berbagai hal (tidak hanya seks) – pada makanan, wangi yang menyenangkan, musik, dll. Jika kita menghindari hal ini untuk tidak menjadi penuh dosa, artinya kita menekan keinginan alami yang mana dapat mencelalakan kita. Mereka yang menjadi korban dari MAYA (ketidak-tahuan/kebodohan) melihat tubuh ini sebagai suatu yang nyata dan kemauan kuat untuk memenuhi keinginanya termasuk KAMA. Bila makhluk itu semakin dewasa secara spiritual maka MAYA akan digantikan dengan VIDYA (pengetahuan) dan PANNA (kebijaksanaan). Oleh sebab itu, ketika tubuh ini dilihat sebagai illusi, maka ia akan secara alami meninggalkan kemauan kuat tersebut. Disini dapat kita lihat bahwa makhluk yang mulia akan meninggalkan seks seiring dengan kedewasaannya seperti seorang anak yang berhenti bermain mainannya sejalan dengan pertumbuhan mereka. Pada hakekatnya tidak ada yang salah tentang Seks. Apa yang salah adalah terikat dan diperbudah olehnya, mempercayai bahwa kesukaan dalam seks dapat memberikan kebahagiaan sebenarnya. Ini adalah masalah industri media hiburan sekarang ini yang exploitasi seks dengan memberitakan bahwa seks dapat memberikan kebahagiaan yang tak berkesudahan

Sila ketiga dari Pancasila Buddhis yang kita lafalkan pada setiap hari kebaktian adalah: berusaha untuk melatih diri menghindari perbuatan seksual yang salah. Pertama, yang harus kita perhatikan bahwa tidak ada paksaan – tidak ada ketakutan akan hukuman atas pelanggar peraturan tuhan, tetapi ketika kita menyadari bahaya akan kemelekatan pada seks, kita dengan bebas dapat mengambil langkah (aturan pelatihan) untuk berkembang bersama itu contohnya “saya berusaha”

Selanjutnya kita akan melihat istilah “hubuganan seks yang salah” – dalam hal ini yang kita bicarakan adalah hubungan seks yang salah bukan semua kebiasaan seksual. Seks tidak dilarang bagi mereka yang tidak memilih untuk hidup selibat. Yang terakhir ini dengan sukarela mereka menjalankannya untuk menghindari seks agar dapat memfokuskan diri pada  perkembangan spiritual mereka. “yang salah” dalam hal ini diartikan sebagai kebiasaan yang merugikan mereka yang melakukan perbuatan itu atau lawannya. Ini dapat dikatakan apabila kedua belah pihak dikategorikan sebagai orang dewasa maka tidak ada “kerugian” yang ditimbulkan. Dalam Agama Buddha kita tidak menganggap sebuah perbuatan “penuh dosa” dalam arti apabila kita melanggar perintah tuhan. Kita melakukan kesalahan karena ketidaktahuan yang akan mengakibatkan Akusala-kamma (perbuatan yang tidak bermutu) yang akan memperlambat atau menganggu perkembangan spiritual kita. Karena ketidak-tahuan kita tentang sifat alami dari segala sesuatu (dalam hal ini tubuh kita) kita melakukan hal yang merugikan kita sendiri dari sudut pandang spiritual. Kebijaksanaan dan pengetahuan akan membantu kita untuk menghindari perbuatan yang merugikan, baik bagi tubuh maupun mental.

 Dalam hal ini, Agama Buddha tidak mengakui bahwa pernikahan sebagai suatu institusi yang berkuasa untuk mensahkan sesuatu sehingga dengan seketika seks dianggap OK. Seks adalah suatu kegiatan manusia yang tidak ada hubungannya dengan surga dan neraka. Kamu akan menyadari bahwa menahan diri dari hubungan seksual hanya merupakan satu dari Pancasila Buddhis. Membunuh lebih serius karena kamu dapat melukai makhluk lain dengan kejam. Seks disebabkan oleh keinginan seperti ketagihan pada makanan, minuman keras, obat-obatan, kekayaan dan kekuasaan. Keterikatan akan hal-hal ini akan membuat kita melakukan Akusala-kamma. Agama Buddha membuat kita untuk meringankan keterikatan kita pada ketergatungan-ketergantungan seperti itu karena itu akan dapat membuat kita semakin terperosok dalam Samsara. Suka melakukan seks dapat membuat kita melakukan hal-hal buruk yang lain.  Dari ini kami dapat melihat bahwa  Agama Buddha tidak melihat Homoseksual sebagai sesuatu yang salah dan Heteroseksual sebagai suatu yang betul. Keduanya adalah kegiatan seksual yang menggunakan tubuh, keduanya adalah ekspresi yang kuat akan nafsu yang akan meningkatkan keinginan akan kehidupan dan kita akan terperangkap lebih lama dalam Samsara. Apakah dua orang atau satu pasangan jatuh cinta, itu merupakan ungkapan atas keterbatasan manusia bahwa tidak melihat tubuh ini sebagai ketiadaan dari kenyataan sebenarnya . Agama Buddha tidak mengutuk Homoseksualitas seperti halnya tidak mengutuk perbuatan jahat yang lain. Kita melakukan sesuatu karena ketidak-tahuan tentang sifat alami dari segala sesuatu, oleh sebab itu kita hanya bersalah pada Akusala-kamma (perbuatan yang tidak bermanfaat). Kita tidak mempunyai hak untuk mengutuk yang lain. Kewajiban kita adalah untuk membantu yang lain agar mereka dapat melihat bahwa mereka melakukan kebodohan, dan menunjukkan bagaimana kebahagiaan sebenarnya dapat digapai. Kita tidak mempunyai hak untuk mengutuk mereka yang berpikir atau melakukan sesuatu yang berbeda dengan kita apalagi bila kita sendiri masih diperbudak oleh kesenangan hawa-nafsu dalam bentuk yang lain. Kita tahu bahwa ketika kita menunjukkan satu jari pada orang lain, tiga yang lain menunjuk diri kita sendiri.

Sebagai rangkumannya, homoseksualitas seperti heteroseksual muncul dari ketidaktahuan, dan dapat dipastikan bukan penuh dosa seperti dalam pengertian Kristen. Semua bentuk seks akan meningkatkan nafsu, keinginan dan ketertarikan pada tubuh. Dengan kebijaksanaan, kita belajar untuk melepaskan semua keterikatan. Kita tidak mengutuk Homoseksualitas sebagai sesuatu yang buruk atau penuh dosa, tetapi kita juga tidak mentolerir hal itu karena itu juga seperti bentuk sex yang lain, memperlambat pembebasan kita dari Samsara.

 

 

 

 

   

 

 

.

 Home | Tentang Kami | Apa Itu Gay |Gay & BuddhismeBuddha Dhamma | Diskusi Milis | Links

1