Dari Yazid bin Abi Sufyan ia berkata, ketika Abu Bakar menugaskanku ke Syam ia berpesan: Wahai Yazid sesungguhnya engkau punya kerabat (di Syam) barangkali engkau akan mengistimewakan mereka dengan jabatanmu, maka itulah sesungguhnya yang aku sangat khawatirkan padamu, sebab RasuluLlah SAS telah bersabda: Barang siapa menduduki suatu jabatan pada (pemerintahannya) umat Islam lalu memberi seseorang suatu kekuasaan atas mereka secara pilih kasih maka baginya adalah laknat Allah, Ia tidak bakal menerima taubatnya dan tidak bakal menerima tebusannya sampai Ia memasukkannya ke Jahannam. Dan barang siapa memberi seseorang hal-hal yang diharamkan oleh Allah maka sesungguhnya ia sendiri telah menerjang larangan Allah dengan cara yang tidak benar maka baginya adalah laknat Allah. (HR Ahmad nomer 21)
Apa yang dikhawatirkan oleh Abu Bakar RA terhadap Yazid RA adalah hal yang sudah lumrah terjadi di negeri kita Indonesia, yaitu apabila seseorang telah memegang jabatan 'kepala negara' ataupun sekedar 'kepala desa' seraya berlaku pilih kasih, memilih orang untuk menduduki jabatan bukan didasarkan pada professionalitas dan ketaqwaan melainkan pada hubungan kekerabatan. Kekuasaan yang diberikan kepada seseorang pengertiannya tidaklah terbatas pada jabatan-jabatan struktural dan fungsional di pemerintahan, akan tetapi termasuk juga kekuasaan-kekuasaan khusus dan terbatas di bidang tertentu. Misalnya kekuasaan untuk membangun jalan raya, jembatan, gedung, kekuasaan untuk menebang hutan, kekuasaan untuk mensortir dan mengangkat pegawai tinggi ataupun rendah dsb.
Penyalahgunaan jabatan yang terjadi di zaman ini bahkan jauh lebih buruk, sebab yang terjadi sekarang tidak hanya karena hubungan kerabat saja akan tetapi karena bermacam-macam penyebab, terutama karena persamaan kepentingan yaitu 'untuk bisa cepat kaya raya', meskipun secara tidak halal. Untuk ini orang lain meskipun bukan kerabat bisa saja diberi kekuasaan penting, selama dia mampu memberikan keuntungan yang lebih kepada sang penguasa atau kepada keluarga dekatnya.
Resiko di dunia dengan mudah memang bisa diabaikan, sebab bagi penguasa-penguasa itu kesengsaraan rakyat dan kehancuran negara adalah hal yang tidak perlu dirisaukan, asal diri, keluarga dekat dan kroni-kroninya bisa makmur, toch kalau hidup di negeri sendiri tidak nyaman dengan bekal kekayaannya ia bisa pilih untuk hidup di negara manapun yang ia sukai. Begitu pula resiko terkena hukuman apabila masa jabatannya telah berakhir juga tidak perlu dikhawatirkan, sebab dengan mudah ia bisa berbaik sangka bahwa penguasa berikutnya pasti akan memberi amnesti kepadanya meskipun kejahatan yang pernah dilakukannya tidak ada taranya atau minimal penggantinya akan mengupayakan agar ia tidak terkena jeratan hukum, sebab sang penguasa yang baru itupun juga berharap apabila dirinya kelak jatuh dari singgasana akan diperlakukan sama oleh penguasa berikutnya. Maka tanpa disadari muncullah budaya baru yang sangat potensi untuk menghancurkan umat, baik secara alami ataupun karena murka Allah, yaitu budaya: "Apabila orang terhormat mencuri tidak dihukum, akan tetapi kalau orang lemah mencuri dijatuhi hukuman" (Al-Bukhari/ 3216).
Resiko di dunia memang bisa dipandang sebelah mata, apalagi fakta menunjukkan banyaknya penjahat kaliber internasional yang hidup aman sampai akhir hayat. Akan tetapi resiko di akhirat akan teruskah dilupakan? Dilupakan memang bisa, namun untuk melepaskan diri dari padanya, sebagaimana membebaskan diri dari resiko dunia, tidaklah mungkin. Maka tidakkah orang-orang yang menyalahgunakan jabatannya itu takut kepada laknat Allah, takut kepada ancaman bahwa Allah tidak bakal menerima taubatnya dan tidak bakal menerima tebusannya sampai Ia memasukkannya ke Jahannam terlebih dahulu?
Bahagian kedua dari hadis itu menggambarkan kedurhakaan lain dari para pejabat yang banyak terjadi di zaman ini, yaitu berupa pemberian hak kepada seseorang ataupun membiarkan orang yang di dalam kekuasaannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang jelas-jelas diharamkan oleh Allah. Sebagai contoh adalah mengizinkan produksi minuman keras, perjudian, pelacuran dsb., membiarkan berlangsungnya budaya suap dan korupsi, membiarkan militer bertindak sewenang-wenang kepada rakyat, membiarkan pembunuhan secara tidak hak terus berlangsung tanpa menindak fihak yang bersalah yang telah memulai kekacauan dsb. Ini semua mengakibatkan sang penguasa masuk dalam kategori orang yang "menerjang larangan Allah dengan cara yang tidak benar", meskipun sang pejabat sendiri tidak pernah ikut minum bir, main judi, main perempuan, tidak pernah menerima suap, melakukan korupsi dan juga tidak pernah membunuh rakyat. Kemudian pada bagian terakhir hadis tersebut menjelaskan bahwa penguasa yang seperti itu adalah penguasa yang dilaknat oleh Allah.
Demikianlah, semoga bermanfa'at dan semoga Allah menjauhkan negeri kita dari pemimpin-pemimpin yang dilaknat dan memberi pemimpin yang bisa membawa rakyat dan negara Indonesia pada keridlaan-Nya.
WaLlahu a'lam bish-shawwab.