Sesuatu dalam diri kita, tetapi bukan asli dari diri kita, atau bukan seratus persen produk sendiri, bisa datang dari (para) malaikat. Ini masalah kepercayaan. Dan ini kalau kita, khususnya, orang-orang saleh. Sekelompok ayat Al-Quran dari surah Fushshilat (Ha Mim As-Sajdah) bisa diambil untuk menggambarkan tingkat paling tinggi dalam psikologi orang-orang yang demikian. Kita terjemahkan:

“Mereka yang berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian hidup konsisten (istiqomah), berduyun turun kepada mereka para malaikat: ‘Jangan khawatir, jangan bersedih. Gembirakanlah diri kalian dengan surga yang kepada kalian telah dijanjikan. Kamilah pelindung kalian dalam hidup duniawi dan di akhirat. Sedang untuk kalian di sana semua yang kalian gemari dan kalian idamkan: perjamuan dari Yang Maha Pengampun lagi Penyayang’.” (Q. 41:30-32).

Apakah kiranya dampak “bisikan-bisikan” malaikat ini? Sesuatu yang teguh pada jiwa, sudah tentu. Suatu penghiburan, suatu pengharapan yang penuh keyakinan. Dan bila ini mengendap, ini menjadi milik sendiri--menjadi pembentuk sebuah jiwa yang ber-istiqamah, alias hidup lurus dengan konsisten, tenang, dan mantap. Itulah orang-orang yang kemudian, sebagai hasilnya, digambarkan Allah di banyak tempat dalam Quran sebagai laa khaufun ‘alaihim walaahum yahzanuun, “tidak ada kekhawatiran mengenai mereka dan tidak pula mereka berduka” (Q. 2:38,62,112,262,274,277; 3:170; 5:69; 6:48; 7:35; 10:62; 46:13). Diasumsikan meninggal dalam status kejiwaan yang demikian, mereka adalah para penghuni surga yang “sudah ditunggu-tunggu”: “Masuklah kalian ke dalam surga, tidak ada kekhawatiran mengenai kalian dan tidak pula kalian berduka” (Q. 7:49). 

Kelebihan orang-orang saleh itu, kita tekankan, bukan terutama karena ikrar mereka bahwa ‘tuhan kami ialah Allah’. Melainkan karena keberhasilan mereka untuk ‘hidup konsisten’ berdasarkan ikrar itu. Karena itu kata hubung yang dipakai antara pernyataan tentang ikrar dan tentang konsistensi adalah kemudian, yang menurut Abul Qasim Az-Zamakhsyari dimaksudkan untuk menyatakan ketinggian martabat konsistensi itu atas ikrar. Bandingannya, dalam ayat lain: “Adapun orang-orang beriman tak lain mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu...” (Q. 49:15). (Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, III, 453). Atau, menurut pengarang Ruhul Bayan, kata kemudian itu dimaksudkan untuk penjauhan dalam hal zaman, di samping tingkat.

Dalam hal zaman, berarti: ada waktu antara pengucapan ikrar dan konsistensi, di samping konsistensi sendiri menunjuk pada waktu. Adapun dalam hal tingkat, “Konsistensi itu lebih tinggi dibanding prinsip (mabda’--juga berarti titik berangkat),” katanya, “sebab konsistensi itulah yang menjadi tujuan.” Setidak-tidaknya, ikrar saja belum berarti apa-apa, sampai terbukti seseorang konsisten pada prinsip yang diikrarkan. Konsistensi, seperti yang dimaksudkan kata istiqamah, adalah “ajeknya seseorang pada modus (manhaj) yang lurus”. Di dalamnya terkandung pelaksanaan seluruh ibadah dan seluruh butir akidah dengan sifat yang langgeng sampai saat kematian. Dan itu berat, kita pahami (Lihat Al-Burusawi, Tafsir Ruhul Bayan, VIII, 254). Karena itulah, mereka orang-orang pilihan, dan kepada mereka para malaikat turun. Tetapi, kapan, persisnya?

“Ketika mati,” jawab pengarang Kasysyaf itu. Atau, katanya, pada tiga kesempatan: saat mati, di alam kubur, dan ketika bangkit dari kubur. Ini lalu bisa menjadi sedikit “kacau”: kalau memang itu yang dimaksudkan ayat, turunnya malaikat itu lalu tidak ada hubungan apa-apa dengan psikologi orang saleh yang kita maksudkan; bahkan tidak juga turunnya malaikat di saat kematian yang bersangkutan. Hanya saja kalimat Zamakhsyari berikut ini justru tidak menunjukkan konsistensi. Katanya, sebagaimana setan-setan menjadi para pendamping (qariin) dan saudara-saudara para pembangkang (Q. 41:25;  50:23-29), “demikian pula malaikat-malaikat menjadi para pelindung dan kekasih orang-orang takwa di dua dunia.” Bukankah dua dunia itu mencakup dunia kita ini juga? Dan menjadi tidak pas bila ucapan malaikat dalam ayat, “Kamilah pelindung kalian dalam hidup duniawi dan di akhirat”, hanya dipahami, untuk bagian hidup duniawi, sebagai detik-detik menjelang ajal? (Lihat Zamakhsyari, loc. cit.).

Tetapi tidak hanya Zamakhsyari yang dari mazhab Mu’tazilah. Juga Thabathaba’i, pengarang tafsir Mizan yang andalan kaum Syi’ah Iran mutakhir. Ia menukil pendapat Mujahid, As-Suddi, dan satu riwayat dari Ja’far Ash-Shadiq, tentang bahwa para malaikat itu datang di saat ajal. Tapi terutama pendapatnya sendiri, bahwa itu “tidak lain sesudah hidup di dunia”. Dan itu, katanya, ditunjukkan oleh bagian ayat: “Gembirakanlah diri kalian dengan surga yang kepada kalian telah dijanjikan.” Tentunya, yang dimaksudkan, dijanjikan ketika mereka masih di dunia. (lihat M. Husain Thabathaba’i, Al-Mizan fi Tafsiril Quran, XVII, 415, 420). Tidak bisa dipahami mengapa harus demikian--sementara doa orang-orang mukmin yang tersebut dalam Q. 3:194 (“Tuhan kami, dan berilah kami apa yang sudah Engkau janjikan kepada para utusan-Mu, dan jangan hinakan kami di hari kiamat”) diucapkan di dunia, tentu saja, dan bukan di akhirat.

Seperti yang kelihatan dari nukilan Thabathaba’i, pemahaman tentang turunnya malaikat itu di akhirat, dan di saat ajal, semata-mata berdasarkan atsar (berita) dari para pendahulu. “Menjelang kematian” itu dahulu dipilih oleh Ibn Zaid dan Mujahid. Sementara menurut Muqatil dan Qatadah: “waktu bangkit dari kubur”. Sedangkan yang menambahinya dengan “saat kebangkitan”, menjadi tiga kesempatan, adalah Waki’, guru Imam Syafi’i. Adapun Muhammad Asy-Syaukani, tokoh Syi’ah Zaidiyah (Yaman) yang juga ulama besar Sunni, setelah mengutip pendapat-pendapat para pendahulu itu, menyebutkan bahwa kenyataan lahir tidak menunjukkan adanya pengkhususan turunnya para malaikat itu hanya pada waktu tertentu--seperti juga tidak adanya pengaitan tindakan malaikat, yang melenyapkan kekhawatiran dan kedukaan orang-orang saleh itu, dengan suatu keadaan khusus. (Asy-Syaukani, Fathul Qadir, IV, 515).

Tiadanya ikatan dengan waktu (dan keadaan) khusus itu dijabarkan, oleh pengarang Ruhul Ma’ani, dengan menafsirkan turunnya para malaikat itu sebagai “dari pihak-Nya (Allah Ta’ala, untuk) membantu mereka dalam perkara-perkara agama dan duniawi yang mereka hadapi, dengan hal-hal yang melapangkan dada mereka, dan melindungi mereka dari rasa khawatir dan kedukaan, dengan jalan ilham.” Tetapi, “Demikian juga mereka turun di saat maut tiba, dengan berita gembira, di dalam kubur, dan di saat kebangkitan...” (Al-Burusawi, op. cit., 255).             

Itu, jatuhnya, semacam kompromi. Dan kompromi memang belum tentu bagus, jika salah satu elemennya semata-mata hanya penghargaan kepada pendapat para pendahulu--dengan menyingkirkan pemakaian persepsi yang polos, yang “tanpa prakonsepsi”, ketika menangkap kesan yang disediakan ayat-ayat yang sebenarnya, seperti dikatakan Syaukani, tidak menunjuk kepada ikatan waktu itu.

Kecuali jika diingat suasana kejiwaan umum umat muslimin ketika ayat-ayat itu diturunkan, yang akhirnya juga berarti pengaitan, yakni dengan masa hidup di dunia, bagi turunnya para malaikat itu. Seperti dilakukan Muhammad Ali, dalam The Holy Quran, yang menyatakan bahwa justru penghiburan dari para malaikat itu diperlukan para sahabat Nabi s.a.w. dalam hidup mereka--ketika para mukmin pertama itu dianiaya dan disia-siakan, ketika para penguasa jahat kelihatan akan mencapai kemenangan. Kalau penghiburan itu dilakukan di akhirat, kata tokoh Ahmadiyah Lahore itu, “itu tidak ada artinya”. (Maulvi Muhammad Ali, Quran Suci Jarwa Jawi dalah Tafsiripun, II, 1306-1307). 

Padahal, tentu saja ada artinya. Saat kebangkitan, di akhirat, adalah saat yang genting. Juga detik-detik menjelang ajal, kalau bukan juga alam kubur. Muhammad Ali  terlalu kuat memakukan ayat-ayat ini pada latar masa turunnya, tanpa membawanya ke dimensi kesalehan yang lintas zaman: penghiburan para malaikat adalah penghiburan kepada para orang saleh, baik para sahabat Nabi maupun para umat jauh di belakang, mereka yang konsisten, yang ber-istiqamah, yang karena itu mencapai derajat yang bahkan, dalam ayat lain, menyebabkan mereka diberi penghormatan Allah sendiri dengan sebutan “para wali”-Nya: “Lihatlah: para wali Allah, tidak ada kekhawatiran mengenai mereka dan tidak pula mereka berduka. Mereka yang beriman, dan benar-benar bertakwa. Bagi mereka berita gembira dalam hidup di dunia dan di akhirat...” (Q. 10:62-64).          

Di segi lain, bukankah berita gembira yang disebut ayat terahir itu identik dengan penghiburan para malaikat dalam ayat yang kita bahas ini? Pemilihan makna dari Thabathaba’i, tentang turunnya malaikat hanya di akhirat, lebih-lebih lagi tidak bisa dipahami sebagai sinkron jika disandingkan dengan penghormatan Allah kepada para “wali” ini--dalam hidup mereka.

Dan dalam hidup mereka, “Allah tidak menakdirkan untuk mereka para pendamping jahat dari antara jin dan manusia. Melainkan menugasi untuk mereka itu para malaikat yang melimpahkan ke hati mereka rasa aman dan thuma’ninah (ketenteraman), memberi mereka berita gembira dengan surga, dan melindungi mereka dalam hidup di dunia dan di akhirat.” (Saiyid Muhammad Quthb, Fi Zhilaalil Qur’an, V, 3120). Allahumma amin.           

Kesimpulan:
(1) Kelebihan orang-orang saleh itu, kita tekankan, bukan terutama karena ikrar mereka bahwa ‘tuhan kami ialah Allah’, melainkan karena keberhasilan mereka untuk ‘hidup konsisten’ berdasarkan ikrar itu.
(2) Penghiburan oleh para malaikat, di akhirat, penting. Ia memasuki dimensi kesalehan lintas zaman, bahwa penghiburan para malaikat adalah penghiburan kepada para orang saleh, baik para sahabat Nabi maupun para umat jauh di belakang, kepada  mereka yang ber-istiqamah. 1