Sebelum meletusnya peristiwa bersejarah tanggal 21 September 1953 yang terkenal dengan nama ''peristiwa Daud Beureueh'', pada bulan April 1953, bertempat di Istana Maimun Al-Rasyid, Medan, telah berlangsung Kongres Alim Ulama seluruh Indonesia yang dihadiri kurang lebih 540 orang ulama. Pada hajat besar itu, peserta kongres ada yang datang dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Ambon bahkan dari belahan timur Indonesia yaitu NTT turut hadir pula.

Adapun diadakannya kongres itu guna membicarakan seputar nasib umat Islam Indonesia yang baru lepas dari belenggu penjajahan Belanda yang ketika itu kekuasaan sedang dipegang oleh Soekarno-Hatta. Para ulama merasakan kegelisahan karena mereka melihat kurang terakomodasinya peran Islam dalam mempertahankan hasil kemerdekaan. Tidak jelas mau dibawa ke mana negeri ini oleh Soekarno.

Pada saat kongres berlangsung, dewan formatur yang telah dibentuk kemudian merasa kebingungan siapa yang akan dipilih untuk menjadi pimpinan karena sulitnya memilih pimpinan yang mampu serta penuh tanggung jawab. Tetapi, hasil keputusan musyawarah dewan formatur yang terdiri dari Al Ustadz Tuan Arsyad Talib Lubis (ulama besar Sumatra Utara), Kiyai Haji Zainal Arifin Abbas, Al Ustadz Abidin Nurdin, Al Ustadz Yahya Pintor dan Al Ustadz Ghazali Hasan telah menetapkan berdasarkan penelitian satu per satu secara teliti dan cermat berdasarkan kemampuan bahwa yang pantas menjadi Ketua Kongres adalah Teungku M. Daud Beureueh (seorang ulama besar dari Aceh). Padahal ketika itu ulama besar Aceh lainnya hadir seperti: Teungku Hasballah Indrapuri, Teungku Haji Krung Kali.

Setelah keputusan diambil, segera mereka berlima mendatangi tempat di mana Teungku M. Daud Beureueh menginap. Ketua delegasi, Al Ustadz Arsjad Talib Lubis menyampaikan hasil keputusan itu, namun kemudian mendapat sanggahan dari Teungku M. Daud Beureueh dengan mengatakan, ''Jangan, jangan saya yang menjadi ketua karena saya merasa sangat terbatas dalam ilmu, lebih baik Ustadz memilih orang lain yang lebih alim dan berpengaruh.'' Kemudian oleh Ustadz Talib dijawab, ''Kami melihat bahwa Teungkulah yang lebih pantas menjadi ketua, karena umur dan ilmu pengetahuan telah mencukupkan kami untuk memilih Teungku. Teungku adalah ulama revolusi dan reformis.'' Karena didesak terus pada akhirnya Teungku M. Daud Beureueh tidak ada jalan lain untuk menolaknya.

Kongres yang diadakan selama tiga hari tiga malam dengan rasa kekeluargaan itu telah mendapatkan beberapa keputusan penting yang di antaranya ialah mengajukan kepada pemerintah Republik Indonesia, Soekarno, untuk tidak perlu mengadakan pemilihan umum, sebab umat Islam Indonesia secara mayoritas sudah menang. Hendaknya pemerintah Republik Indonesia tinggal mengganti dan melaksanakannya menjadi negara Islam dan melaksanakan hukum Islam. Dan masalah biaya pemilu dapat dipergunakan ke sektor-sektor yang lain untuk kepentingan rakyat umum.

Sebelum keputusan kongres ini diambil, ketua terpilih, Tgk. M. Daud Beureueh, telah mengajukan beberapa pertanyaan kepada para peserta kongres di antaranya adalah, ''Bagaimana seandainya resolusi ini tidak diterima oleh pemerintah pusat, Soekarno, apakah saudara sekalian sudah siap untuk angkat senjata?'' Secara aklamasi peserta kongres menjawab, ''Setuju'' sambil mengumandang kalimat takbir. ''Seandainya resolusi kita ditolak oleh Soekarno apakah saudara sudah siap untuk berhijrah dan berjihad?'' Peserta menjawab, ''Setuju''. ''Apakah bila resolusi ditolak oleh pemerintah apakah kita pantas mengatakan pemerintah ini kafir?'' Peserta menjawab, ''Pantas''. Dan yang terakhir Tgk. M. Daud Beureueh bertanya, ''Seandainya usulan kita diterima, apakah saudara sudah siap untuk bekerja dan memimpin serta berkorban untuk Negara?'' Para hadirin menjawab, ''Siap''. ''Alhamdulillah,'' kata Teungku M. Daud Beureueh mengakhiri pertanyaannya.

Secara aklamasi para peserta kongres telah bersumpah (berbai'ah) bersama-sama bila pemerintah RI tidak bersedia mengumumkan RI ini sebagai negara Islam berarti para ulama bersiap sedia mengangkat senjata. Keputusan ini ditandatangani oleh semua peserta kongres bahkan ada yang menandatanganinya dengan cap jari darah sebagai tanda bahwa mereka telah bulat dan sepakat untuk memberlakukan hukum Islam di Indonesia.

Selanjutnya hasil dari kongres itu, membentuk tim delegasi yang akan mengantarkan resolusi dan keputusan Muktamar Medan ini kepada Soekarno baik lisan maupun tulisan yang menyatakan bahwa hasil kongres ulama di Medan berjalan dengan lancar serta memberikan salam dari ketua, Teungku M. Daud Beureueh, untuk Soekarno. Setelah mendengarkan laporan yang disampaikan oleh tim delegasi itu, Soekarno dapat memahami dan memaklumi seraya meminta kembali kepada para delegasi untuk kembali ke tempatnya masing-masing. Lebih lanjut Soekarno mengatakan, ''Saya akan mengutus utusan resmi untuk menjumpai kakanda Teungku M. Daud Beureueh.''

Dua minggu kemudian, diutuslah Mohammad Hatta bersama rombongan menjumpai Teungku M. Daud Beureueh di Aceh. Mohammad Hatta secara diplomatis menyampaikan kepada Teungku M. Daud Beureueh bahwa apa yang dihasilkan dari kongres ulama di Medan telah dipahami oleh Soekarno dan memohon kepada kakanda (Teungku M. Daud Beureueh - red) untuk menunda dulu maksudnya, karena menunggu hasil pemilu nanti. Mendengar ucapan Hatta itu, Teungku M. Daud Beureueh menjawab, ''Bung Hatta, kami para ulama pantang menjilat kembali air ludah yang telah kami keluarkan, bila keinginan dan hasil kongres di Medan ditolak oleh pemerintah RI, kami telah siap untuk angkat senjata berjihad fisabilillah. Bung Hatta, silakan malam ini juga tinggalkan Kutaraja, karena saya tidak dapat menjamin keamanan saudara.'' Pada malam itu juga setelah berpamitan dengan Teungku M. Daud Beureueh, Mohammad Hatta bersama rombongan terpaksa berangkat meninggalkan Kutaraja tanpa hasil.

Dua minggu kemudian Teungku M. Daud Beureueh melalui pidato di radio di Kutaraja, menyerukan kepada seluruh ulama yang ikut bermusyawarah di Medan agar bersiap-siap untuk mengangkat senjata dan berjihad bila tuntutan ditolak oleh Soekarno. Pada tanggal 21 September 1953, Teungku M. Daud Beureueh memproklamasikan Darul Islam Aceh dan bergabung dengan Darul Islam NII Jawa Barat di bawah pimpinan Imam Sekarmadji Marijan Kartosoewirjo. Adapun ulama-ulama hasil kongres di Medan yang turut dengan Teungku M. Daud Beureueh hijrah ke hutan hanya sedikit, di antara mereka adalah Teungku Haji Hasballah Indra Puri, Teungku Sulaiman Daud dan Teungku Syech Abdul Hamid Samalaga. Yang lainnya satu pun tidak ikut sampai Teungku M. Daud Beureueh kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.

Ketika Teungku M. Daud Beureueh berdamai kembali dengan pemerintah RI dengan iming-iming akan diberlakukan hukum syarikat Islam di Serambi Mekkah, beliau berdiam diri di Masjid Beureun sambil sesekali mengadakan bakti sosial membuat irigasi, jalan-jalan desa dan sebagainya.

Bila datang murid-murid belajar ilmu agama ke masjid yang beliau miliki, Teungku M. Daud Beureueh sering menanyakan kepada murid tersebut dengan kalimat, ''Apakah saudara pernah datang ke Jawa, ke Padang, ke Sulawesi, ke Kalimantan?'' Selanjutnya ditanyakan kembali kepada mereka, ''Apakah saudara kenal dengan 'ulama kura-kura'?'' Beliau memberikan penjelasan bahwa yang disebut 'ulama kura-kura' adalah ulama-ulama yang ikut kongres di Medan tahun 1953. Mereka seperti air, menghafal ayat-ayat jihad, pidato berapi-api di rapat umum, seminar-seminar Islam dan sebagainya. Tapi bila diajak pegang senjata dan hijrah di jalan Allah masuk ke tempurung.

http://www.republika.co.id/9909/25/25xulama.06x.html
Maaf, link ini sudah out of date. 1