![]() |
||
|
Republika Online Edisi : 24 Februari 2000
12 Tewas dan 30 Terluka dalam Pertikaian di Pulau Bacan
Menurut kantor berita Antara, kemarin, konfirmasi tentang pertikaian tersebut diperoleh dari Posko Kewaspadaan Kodim 1501 Maluku Utara. Dikabarkan, selain korban tewas dan luka-luka, bentrokan itu juga mengakibatkan ratusan rumah milik warga rusak dan terbakar termasuk satu rumah ibadah.
Menurut Posko Kewaspadaan Kodim 1501 Maluku Utara, situasi di desa tersebut kini dalam keadaan terkendali. Itu setelah diterjunkan satu kompi aparat keamanan dari Batalyon 511 Brawijaya ke lokasi kejadian.
Bentrok fisik yang juga terjadi di Daruba, ibu kota Kecamatan Morotai Selatan pada Senin (21/2), juga telah terkendali. Namun, aparat keamanan -- baik dari TNI maupun Polri -- masih berjaga-jaga di perbatasan, antara Desa Daruba dan Desa Darume.
Camat Morotai Selatan, Salim Ali BA, mengatakan bentrok fisik antara warga di daerah bekas pertahanan tentara Sekutu dalam Perang Dunia II itu membuat aktivitas perekonomian dan perdagangan lumpuh. ''Baik aparat maupun Muspika setempat telah mengimbau kedua pihak yang bertikai untuk segera mengakhiri pertikaian, sebab tidak ada artinya kita saling bertikai,'' katanya.
Sementara itu, beberapa desa di kawasan Pulau Halmahera Utara terlihat mulai kesulitan mendapatkan kebutuhan pokok sehari-hari. Di Kecamatan Kao harga gula pasir Rp 5.000/kg, minyak tanah Rp 200/liter, sementara harga beras masih stabil. Namun, di Galela harga Sembako lebih tinggi.
Selain itu, di Tobelo yang dikenal sebagai kota perdagangan menjadi kota sepi. Aktivitas perekonomian dan pemerintahan di daerah itu sejak 28 Desember 1999 lumpuh total. Pusat-pusat pertokoan maupun fasilitas pemerintah telah musnah terbakar. Keadaan ini diperparah dengan adanya sejumlah pengusaha swasta yang eksodus ke luar daerah, dan berupaya memindahkan investasinya ke daerah lain yang dianggap relatif lebih aman.
Berkaitan dengan nasib pengungsi, Gubernur Maluku Utara, Surasmin, minta lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan badan-badan kemanusiaan dunia harus benar-benar netral dalam mengemban misinya. Terutama LSM dan badan-badan dunia yang berniat memberikan bantuan kemanusiaan kepada pengungsi korban pertikaian di Pulau Halmahera.
Menurut gubernur, pemerintah daerah tak menghendaki lembaga kemanusiaan tersebut menjadikan bakti sosialnya dalam membantu pengungsi di Maluku Utara sebagai kedok belaka. Karena itu, tandas gubernur, LSM dan badan-badan sosial tersebut harus mengadakan koordinasi dengan instansi terkait --termasuk salah satunya dengan aparat keamanan.
Surasmin menyampaikan pernyataan itu ketika menerima Tim LMS Medicins Sans Frontieres (MSF) asal Belanda dan LSM Foods Secury Coordinator (FSC) di Ternate, kemarin. Gubernur menegaskan hal itu karena beberapa waktu lalu tiga warga negara asing (WNA) yang tergabung dalam Medicins Sans Frontieres (MSF) yang membawa bantuan obat untuk pengungsi kerusuhan Halmahera, tidak mau diperiksa Depkes dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) di Maluku Utara.
Ketiga WNA itu, yang menggunakan kapal pesiar Ratulina adalah Johanson Kerstian Irena dari Belanda, Jagouid Manual Charles (Prancis), dan Moens Serge KM dari Belgia. ''Jadi kalau mau membantu harus mengikuti ketentuan yang berlaku di Indonesia, antara lain harus koordinasi dengan Menko Kesra dan Taskin di Jakarta,'' tegas Surasmin.
Gubermur mengakui masyarakat Maluku Utara memang membutuhkan bantuan. Tapi, kalau bantuan itu diselipkan dengan kepentingan lain, sebaiknya ditangguhkan saja. Tiga WNA yang datang sebelumnya di Maluku Utara itu, kata gubernur, belum melapor kepada Menko Kesra dan akhirnya bantuan obat itu ditolak oleh pemda setempat.
''Saya tekankan harus netral karena LSM yang datang sebelumnya itu bantuannya diberikan kepada pengungsi asal Ternate di Bitung, dengan alasan di Ternate aparat tidak memberikan jaminan,'' ucap Surasmin.
Dalam acara penyerahan bantuan kemarin, tampak dua warga negara asing dari lembaga kemanusiaan dunia yang didampingi tim dari Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Maluku Utara. Sebelum memberikan bantuan, kedua warga asing itu melakukan observasi ke kamp-kamp pengungsi di Ternate, Tidore, Jailolo, Tobelo, Kao, dan Galela.
Surasmin menyarankan pula, jika MSF dan FSC berkeinginan untuk membantu pengungsi di Maluku Utara yang kini berjumlah 111.242 jiwa, agar tak lupa mendistribusikan makanan khusus bagi bayi dan balita. Pengungsi yang menempati 70 lokasi penampungan di kota madya Ternate, pada saat ini dalam kondisi yang memprihatinkan, terutama kesehatan dan kesejahteraan.