b_atas.jpg (47700 bytes)
Islam is rahmatan lil aalamiin

Jihad sabiluna wa al mautu fii sabiilillaah asma' amanina

 

Mencermati Aksi Solidaritas
Oleh Daud Rasyid
Staf Pengajar Pascasarjana IAIN Jakarta dan Bandung

Setelah meletusnya tragedi Ambon pasca-Ramadhan tahun silam, acara-acara aksi solidaritas di tengah masyarakat demikian marak. Tujuan utamanya adalah menunjukkan rasa kesedihan yang menimpa para korban yang diwujudkan dengan penggalangan dana untuk korban dan pengungsi Ambon yang jumlahnya puluhan ribu orang. Dari aksi yang demikian banyak itu, yang cukup spektakular adalah aksi menyusul tragedi paling dahsyat selama masa reformasi yang terjadi di Tobelo, Halmahera Utara. Di mana korban yang dibantai dalam kasus Halmahera Utara, yang hanya dua pekan, jauh mengalahkan korban kekerasan Ambon yang sudah berlangsung selama satu tahun. Bayangkan korban Halmahera bisa mencapai ribuan orang. Perbuatan itu layak disebut sebagai perbuatan "paling biadab"; selama era reformasi dan catatan paling buruk dalam sejarah kerukunan umat beragama di Indonesia.

Kesadisannya melebihi kesadisan "Perang Salib" di Andalusia (1494 M) dan setara dengan kebiadaban Hulako di Baghdad yang membantai penduduk sipil dan membumihanguskan pu sat peradaban dunia waktu itu (1258 M). Mengingat demikian dahsyatnya pembantaian itu, apa pun alasan pihak penyerang, kesetiakawanannya dengan saudara-saudaranya di belahan Timur sana. Justru bila umat Islam adem-ayem saja -sebagaimana halnya sekelompok orang- dan tidak menampakkan responsnya pada perbuatan biadab itu, akan mengundang tanda tanya, masih adakah rasa ukhuwah yang menjadi karakteristik Islam yang digambarkan Nabi ibarat satu tubuh yang jika satu organ kesakitan, seluruh tubuh ikut merasakannya?

Namun demikian, pandangan yang muncul menanggapi "Aksi Sejuta Umat" yang digelar di Monas 7 Januari lalu itu beraneka ragam. Yang berpikir positif menanggapinya secara positif, bahwa spontanitas itu adalah sesuatu yang wajar dalam konteks keimanan dan rasa kemanusiaan. Namun, yang terbiasa berpikir negatif menanggapinya negatif pula. Ada yang meremehkan pertemuan itu dengan mengecilkan jumlah massa yang hadir. Mereka menyebutnya hanya dua puluh ribu orang saja. Dan, ada yang bilang sepuluh ribuan saja. Bagi orang yang melihat acara itu, pastilah ia katakan bahwa massa itu tidak dua puluh ribu orang. Dua ratus ribu pun pasti lebih. Perhitungan yang jujur memang tidak mencapai satu juta, tetapi mendekati satu juta orang.

Ala kulli hal, berapa pun jumlah yang hadir pada acara itu, sepantasnyalah suara mereka didengar, karena mereka adalah bagian dari rakyat Indonesia yang suaranya berhak didengar oleh pemimpin mereka. Tidak justru menuduh mereka yang bukan-bukan sehingga makin menambah rasa ketidaksimpatian pada figur pimpinan sekarang ini. Ada pula yang menuduhnya sebagai manuver politik untuk menjatuhkan Pemerintahan Gus Dur-Megawati. Dalam hal ini, ada yang mengait-ngaitkan nama Amien Rais sebagai orang di balik aksi sejuta umat itu.

Apakah kepentingan Amien Rais?
Bagi yang berprasangka negatif, perlu bertanya pada dirinya, seandainya acara seperti itu dirancang oleh Amien Rais dengan tujuan-tujuan politis dalam rangka menggoyang kepemimpinan duet Gus Dur-Megawati, apakah manuver itu logis? Wong naiknya Presiden Gus Dur ke kursi Presiden adalah karena dukungan kuat Poros Tengah yang dipelopori Amien sendiri, kenapa lantas baru seratus hari menjabat, Amien berusaha menggoyangnya? Bila itu terjadi, manuver itu jelas tidak logis dan pribadi Amien bukan tipe orang yang suka bertindak tidak logis. Jadi, bagaimanapun kecurigaan akan ketulusan niat Amien, jelas ini tergolong upaya adu domba dan memecah belah antarsesama elite politik dan siasat ini harus disadari betul oleh para elite agar mereka tidak terjebak dalam skenario musuh bangsa.

Dalam pidato Pak Amien di Monas itu tak sepatah kata pun yang melecehkan  atau merendahkan kepemimpinan Gus Dur-Megawati. Karena, Amien juga tahu persis bahwa kasus Maluku secara umum telah merebak jauh sebelum Gus Dur menjadi Presiden. Bagaimana mungkin risiko itu ditimpakan hanya kepada Gus Dur? Bahkan, kepada Megawati pun- seandainya Amien dianggap sebagai "musuh bebuyutan" PDI-P - tak ada kata-kata Amien yang menyakiti perasaan Ibu Mega atau partai yang dipimpinnya. Yang disampaikan oleh Amien tidak lebih dari sekadar kritikan seorang reformis yang tidak betah dengan kinerja yang lamban. Dalam pemerintaha di era reformasi ini harus tampak jelas perubahan karakter dan kinerja birokrasi kita. Dan, semua orang paham bahwa yang namanya Amien sangat akrab dengan kritik yang diyakininya sebagai bagian dari Amar Maruf dan Nahi Munkar, dan ia berada dalam posisi yang dapat melaksanakan kewajiban itu secara efektif. Bahkan, kalau itu tidak dilaksanakan Amien, berarti ia telah berhenti menjadi seorang reformis dan kembali menghidupkan iklim politik Orde Baru yang serba manut dan tunduk pada kemauan Presiden. Jika Amien tutup mulut dalam kasus Maluku Utara sebagaimana elite-elite lainnya, berarti ia telah berhenti menjadi "Amien Rais" dan telah berubah menjadi "Amien Marus" (Amien yang dipimpin).

Dalam konteks amar maruf dan nahi munkar, sebuah hadis Nabi saw, yang sangat populer menjelaskan, "Barangsiapa yang melihat kemunkaran, maka haruslah ia mengubahnya dengan "tangan"-nya. Bila ia tidak sanggup, ia harus mengubahnya dengan lisan. Bila ia juga tidak sanggup maka ia harus mengubahnya dengan hatinya. Dan, ini adalah selemah-lemahnya Iman." Mengacu pada hadits tersebut, Amien berada dalam posisi yang memiliki "tangan" dan "suara", karenanya dia berkewajiban menyampaikan kritik yang bertujuan untuk meluruskan dan mengontrol jalannya roda pemerintahan. Sayangnya, biarpun kita sudah hidup di era baru, namun kesiapan untuk menghadapi pendapat yang berbeda masih relatif rendah. Pengakuan sebagai seorang "demokrat" hanya ada sebatas klaim, tetapi dalam praktek masih cenderung pada otoriterianisme. Banyak orang mengaku sebagai seorang "demokrat" dalam ucapan tetapi "otoriter" dalam tindakan.

Kalau dibanding-banding antara Gus Dur dan Habibie dalam kesiapan berbeda pendapat dan sikap demokrat, tampaknya belum ada Presiden RI yang mampu mengimbangi sikap demokratnya Habibie. Di tengah hujatan rival-rival politik yang tidak lagi merupakan kritik rasional, lebih tepat sebagai dendam, namun dia tetap mampu tampil menghargai suara orang yang berbeda dengannya. Tegasnya, ia tidak marah kalau dikritik. Betapa pedasnya hujatan AS Hikam pada era Habibie yang disiarkan oleh media elektronik, tetapi masyarakat dapat menilai apa yang dilakukan oleh AS Hikam sesudah ia duduk menjadi menteri menangani persoalan yang bukan bidangnya, dan ia sepertinya tidak siap untuk dikritik sebagaimana dulu ia mengkritik. Dalam kaitan ini, teringatlah kita pada suatu hadis yang mengatakan, "Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancuran."

Di saat-saat kita ingin bangkit dari krisis ini, sudah sepantasnyalah kita membuang jauh-jauh kecurigaan dan prasangka buruk terhadap sesama saudara sendiri, apalagi antarsesama elite politik. Apalagi baru saja kita menyelesaikan pelatihan mental dalam mengendalikan hawa nafsu di bulan Ramadhan. Kita semua melaksanakan puasa. Pak Amien berpuasa. Gus Dur berpuasa. Ibu Mega berpuasa, Akbar Tanjung berpuasa. Tak ada tokoh yang meragukan keislaman Ibu Mega. Beliau adalah seorang Muslimah. Hanya saja yang sering dikhawatirkan oleh tokoh-tokoh Islam di negeri ini adalah orang-orang yang berada di sekitar Ibu Mega yang menyimpan ambisi-ambisi politik dan ideologis yang sangat berseberangan dengan kepentingan Islam dan menjadikan partai yang dipimpin Ibu Mega sebagai kendaraan politik mereka.

Antara Maluku dan Mataram
Banyak kalangan menilai bahwa peristiwa pembakaran rumah ibadah di Mataram dalam rangkaian amuk massa adalah ekses dari tabligh akbar yang diselenggarakan di kota itu. Tetapi, asumsi ini masih perlu dibuktikan kebenarannya, apakah benar massa yang merusak gereja itu karena terbakar emosi oleh ceramah dalam tabligh akbar? Ini patut dipertanyakan, karena ada informasi yang menyebut bahwa pembakaran itu terjadi pada saat tabligh sedang berlangsung. Berarti tidak ada hubungan antara tabligh dan perusakan itu. Kemudian, aksi yang jauh berlipat kali jumlah pengunjungnya tidak menimbulkan amuk massa seperti yang terjadi di Mataram. Aksi sejuta umat berlangsung aman dan tertib. Tidak satu pun nyawa orang kristen terusik dan tak satu pun gereja yang dirusak. Setiap pengunjung kembali ke tempat asalnya. Padahal, waktunya lebih berdekatan dengan tragedi Halmahera dan potensi konflik di Ibu Kota lebih besar, karena ia sebagai pusat informasi.

Oleh karena itu, ada sesuatu yang patut diselidiki dalam kasus Mataram.Karena, bisa jadi tindakan itu dilakukan justru oleh orang-orang yang tidak suka pada Islam dan umatnya. Sasarannya adalah mengalihkan perhatian publik dari kasus teramat penting, yakni Halmahera ke kasus parsial seperti Mataram. Kasus Halmahera dan Ambon adalah kasus besar dan tidak boleh dilupakan sampai kapan pun, kalau perlu diabadikan dalam buku sejarah seperti Andalusia, Palestina, dan Baghdad. Memang, sekarang terlihat adanya indikasi ke arah pengalihan perhatian itu. Masalah Mataram diangkat sebesar-besarnya oleh media massa dan mendapat penanganan aparat secara serius, seperti perintah tembak di tempat. Mudah-mudahan hal serupa juga diterapkan untuk kasus di Halmahera dan Ambon yang terbengkalai sejak satu tahun lamanya. Sebab, jika penanganan kedua kasus itu tidak seimbang, akan menimbulkan kesan diskriminasi dalam penegakan hukum.

Maluku, awal kebangkitan Islam
Sudah lazim dalam sejarah perjuangan dakwah Islam, kejayaan harus didahului dengan pengalaman pahit yang menelan korban dan penderitaan. Dan, ini terulang berkali-kali dalam sejarah. Pada periode dakwah di Mekah, para sahabat Nabi yang mulia mendapat tekanan yang luar biasa dalam menyampaikan dakwahnya. Sehingga, ada Yasir dan Sumayyah (orang tua Ammar) yang dibunuh secara sadis. Ada Bilal ibn Rabbah yang dianiaya. Tetapi setelah itu Islam menyebar ke seluruh penjuru dan berdirilah negara Madinah. Perang Salib yang menelan korban puluhan ribu nyawa di Palestina juga mengawali kebangkitan Islam yang dipelopori oleh Salahuddin al-Ayyubi dengan negara Ayyubiah-nya dan kembalinya kota Qudus ke pangkuan Islam. Pembantaian yang dilakukan Hulako di Baghdad dan Syam mengawali bangkitnya Islam di bawah kepemimpinan Raja Qutuz dan Beibres dengan negaranya Al Mamalik yang berpusat di Mesir. Pembantaian di Andalusia menyulut semangat juang umat Islam di Turki, sehingga perluasan wilayah Usmaniyah sampai ke perbatasan Hongaria dan Austria. Siapa tahu, Allah SWT memberikan al-Nashr (kemenangan) atas umat Islam melalui Ambon dan Maluku di ujung timur, dan Chechnya di Eropa Timur, Palestina di Timur Tengah.  

Format kerukunan beragama
Konflik bernuansa agama belakangan ini makin kerap terjadi, sementara pertemuan antartokoh dan pimpinan umat beragama juga sering dilaksanakan. Hal ini membuat kita menjadi bertanya-tanya, sejauhmana efektivitas pertemuan dan seminar bagi menunjang ketenteraman hidup beragama kita. jangan-jangan yang mereka bicarakan lain, sedangkan yang terjadi di lapangan lain lagi. Inilah sekarang yang perlu dievaluasi oleh pihak-pihak terkait. Dalam seminar-seminar ilmiah, masing-masing akan berbicara normatif dan ideal, tetapi di lapangan konsep-konsep itu menjadi tidak berlaku. Yang ada adalah ambisi dan egoisme. Baru-baru ini ada yang menyarankan agar pertemuan itu ditingkatkan frekuensinya. Tapi menurut hemat penulis, pertemuan basa-basi seperti yang terlaksana selama ini tidak bakal menuntaskan persoalan. Yang membantu terwujudnya kenyamanan hidup beragama adalah saling terbuka dan kemauan menjaga diri dari unsur-unsur egoisme tadi. Jangan sekali-kali diteruskan program menyebarkan agama di tengah masyarakat yang sudah terikat dalam sebuah agama tertentu. Inilah kuncinya. Bila program mengagamakan orang yang sudah beragama berjalan terus, baik dengan cara kasar seperti pemaksaan- contoh kasus di Padang dan Jakarta- ataupun dengan cara-cara licik dan murahan seperti memberi bantuan dengan maksud tertentu kepada orang-orang yang sedang terdesak -seperti yang dialami oleh hampir seluruh wilayah di Indonesia - dapat dipastikan kapan pun kerukunan beragama di bumi Indonesia ini tidak akan aman. Jadi, sudah saatnyalah pimpinan umat beragama di Indonesia mengevaluasi program dakwah dan penyebaran agamanya masing-masing. Dan, pemerintah dalam hal ini Departemen Agama dan penegak hukum, harus aktif memantau kondisi di masyarakat agar penyimpangan-penyimpangan seperti itu dapat dicegah untuk menghindari bentrokan yang lebih luas.(*)

1